Sabtu, 25 Juni 2011

Hukum Pancung TKI di Arab Saudi

Darsem binti Dawud Tawar adalah TKI perempuan di Arab Saudi yang juga terancam hukuman pancung. Dia bisa bebas dari hukuman itu jika membayar denda Rp 4,7 miliar. Pemerintah sudah menyanggupi akan membayar denda itu. Meski demikian, keluarga Darsem di Subang tetap saja deg-degan. Takut pemerintah kecolongan lagi.


MAMAN SUPARMAN, Subang

RUMAH tempat tinggal keluarga Darsem terletak di Kampung Trungtum, RT09/03 Desa Patimban, Kecamatan Pusakanegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sudah dua kali Pasundan Ekspres (JPNN Group) datang ke rumah itu. Pertama, Februari lalu. Saat itu kondisi rumah tersebut tampak kumuh dan berdinding dari bilik bambu.
   
Tapi, ketika didatangi kemarin (23/6), kondisinya berubah. Dinding rumah tak lagi terbuat dari bambu, tapi sudah ditembok dan diperluas. Perubahan juga terjadi pada lantai. Jika sebelumnya lantai rumah hanya dari semen, kini sudah dikeramik. Bahkan, kini sudah dipasang sumur pompa air.

Ketika Pasundan Ekspres datang ke rumah Darsem kemarin, ayahnya, Dawud bin Tawar, sedang pergi ke Jakarta. Kata yang di rumah, Dawud memenuhi undangan beberapa pihak yang ingin tahu perkembangan terbaru nasib Darsem.

Seperti diberitakan, Darsem adalah TKI perempuan di Arab Saudi yang menjadi terdakwa pembunuh majikannya yang berkebangsaan Yaman. Dalam persidangan Darsem mengaku terpaksa membunuh karena akan diperkosa majikannya. Kisah pilu perempuan 25 tahun itu mencuat pada 6 Mei 2009. Ketika itu pengadilan di Riyadh, Arab Saudi, langsung menjatuhkan vonis mati bagi Darsem. Hukuman yang bakal dijatuhkan adalah pancung. Begitu vonis itu turun, pemerintah menggandeng Lajna Al Afwu (lembaga mediasi, Red) untuk mendapatkan maaf dari keluarga korban.
   
Hukum pancung memang bisa dibatalkan jika ahli waris korban memberikan maaf bagi pembunuh. Beruntung bagi Darsem, keluarga tersebut bersedia memaafkannya. Syaratnya, Darsem harus membayar denda atau diyat SR 2 juta atau setara dengan Rp 4,7 miliar.

Uang sebesar itu harus disiapkan keluarga Darsem maksimal enam bulan dari rencana pelaksanaan hukum pancung. Jika tidak, perempuan itu harus merelakan nyawanya kepada algojo. Rencananya, eksekusi dilakukan pada 7 Juli mendatang.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar pada kesempatan lain mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan anggaran untuk membayar denda tersebut. Bahkan, kata Muhaimin, dana itu sudah disetujui DPR.

Meski demikian, pernyataan pemerintah melalui Muhaimin itu tak otomatis melegakan keluarga Darsem. Mereka tetap saja khawatir. Apalagi, dalam kasus Ruyati (TKI perempuan yang dihukum pancung), pemerintah disebut kecolongan. "Kami tetap khawatir dengan nasib Darsem," kata Sawinah, ibu kandung Darsem.

Ketika diberi tahu bahwa pemerintah akan membayar denda untuk Darsem, wajah perempuan 55 tahun itu biasa saja. "Saya tetap belum percaya, karena sampai sekarang belum ada (wakil dari pemerintah) yang datang ke sini untuk memberi tahu," paparnya. "Tapi, kalau memang betul pemerintah mau membebaskan Darsem, saya ucapkan terima kasih," lanjutnya.

Tak lama berselang dia memanggil seorang bocah berumur lima tahun yang bermain di pekarangan rumah. Dialah Syafi"i, anak kandung Darsem. Bocah itu lantas duduk di pangkuan Sawinah. "Kasihan anak ini. Dia terus bertanya kapan ibunya pulang," ujarnya. Diceritakan, ketika ditinggal pergi Darsem ke Arab Saudi, Syafi?i baru berumur 9 bulan. "Jadi, dia tak tahu wajah ibunya. Kalau ditanya, dia ingin dicium ibunya," paparnya.

Sifat Syafi"i, menurut Sawinah, persis dengan ibunya, pemalu dan penurut. Bahkan, dia tidak pernah bermacam-macam. Kali pertama Syafi"i berbicara dengan ibunya melalui telepon. Ketika itu Darsem meminta berbicara dengan anaknya. Sontak Syafi"i langsung menyatakan keinginannya untuk bertemu ibunya dan menanyakan kapan ibu pulang. Saat itu juga Darsem menjawab bahwa sebentar lagi pulang.
   
Kini, yang bisa dilakukan Sawinah hanyalah berdoa dan berdoa agar kasus yang dialami Darsem segera selesai dan dia secepatnya pulang ke kampung halaman. "Kalau benar-benar dia pulang, saya akan mengkhitankan Syafi?i," katanya.

Sawinah mengaku, kasus Ruyati yang telah dihukum pancung membuatnya resah. Dia sangat khawatir hal itu juga terjadi pada Darsem. "Karena itu, sejak kasus Ruyati ramai, tiap malam saya menangisi anak saya. Saya pun sampai tak berani nonton TV," paparnya sambil terisak.

Di mata Sawinah, Darsem adalah anak yang sangat berbakti. Darsem hanyalah tamatan kelas 5 SD. Ketika orang tuanya tak mampu menyekolahkannya, dia tak protes, tapi langsung mencari pekerjaan. Darsem lalu menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Jakarta. Namun, karena alasan tidak betah, dia memutuskan kembali ke kampung halaman dan bekerja seadanya.

Hari-hari Darsem dihabiskan untuk membantu membelah ikan yang dibuat ikan asin. Upahnya Rp 1.000 per kilogram dari pengepul ikan. Biasanya, dalam sehari Darsem hanya mampu menyelesaikan 10 kilogram.

Karena melihat perekonomian keluarga yang sangat jauh dari cukup, Darsem memberanikan diri untuk berangkat ke Arab Saudi menjadi TKI. Padahal, ketika itu anaknya masih berumur sembilan bulan. Keberangkatan Darsem ke Arab Saudi ini merupakan kali kedua setelah sebelumya hanya bertahan tujuh bulan.

Namun, alih-alih dapat membahagiakan keluarga dengan hasil jerih payahnya, keluarga Darsem malah mendapat kabar dari rekan Darsem asal Karawang yang berhasil pulang. Dia mengabarkan bahwa Darsem saat itu menghadapi masalah hukum di Arab Saudi.

Sawinah berjanji, ketika Darsem benar-benar bisa pulang, dia akan melarang anaknya pergi lagi ke Arab Saudi. "Lebih baik dia mengurus anaknya saja di rumah," katanya.


Sumber : JPNN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.