Kamis, 11 November 2010

Panduan Seks Islam

Saudara-saudara seiman yang saya cintai karena Alloh! Berikut ini adalah beberapa jawaban dari pertanyaan salah seorang saudara kita seiman, tentang masalah sex pasutri.

berikut ini beberapa hal umum yang di larang, menginggat maslahat dan madorotnya, semoga dengan penjelasan di bawah ini, Anda lebih mengerti  dalam berhubungan ranjang sesuai syar'i.



1. Menonton Video Porno

Sebagian orang dari kalangan masyarakat awam –yang di antaranya adalah sebagian pakar seksologi nasional– beranggapan bahwa menonton video porno dengan tujuan agar gairah seks terhadap isteri meningkat itu sah-sah saja, dan bahkan bagus untuk kebahagiaan pasutri. Pendapat ini jelas-jelas keliru. Tidak ada kebaikan yang hanya bisa dicapai dengan cara haram, dan cara haram tak akan pernah memberi kemaslahatan, kecuali sedikit kemaslahatan yang akan ditumpangtindihi dengan berbagai kemudaratan lain yang jauh lebih menyiksa, dunia dan akhirat.
Memandang aurat lawan jenis yang bukan muhrim apalagi hingga bagian vitalnya adalah haram. Karena Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Setiap Bani Adam mempunyai bagian dari zina, maka kedua mata pun berzina, dan zinanya adalah melalui penglihatan, dan kedua tangan berzina, zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, zinanya adalah melangkah –menuju perzinaan. Mulut berzina, zinanya adalah mencium. Hati dengan berkeinginan dan berangan-angan. Dan kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan-nya.” (Diriwayatkan oleh Muslim IV : 2047)
Anggapan bahwa itu dapat meningkatkan gairah seks, kalaupun itu benar, tak bisa menjadi penghalal dari hal yang sudah jelas keharamannya. Seperti anggapan bahwa minuman keras bisa menjadi obat, tak bisa menghalalkan minuman keras yang jelas-jelas haram.
Selain itu, anggapan itu bisa memberi manfaat sebuah suntikan gairah seks agar berguna dalam hubungan seks dengan isteri juga merupakan kesimpulan yang mandul.

Pertama,
 karena bila itu benar, pasti menimbulkan ketagihan. Dan ia hanya bisa mencapai puncak gairahnya, bila terlebih dahulu menonton video tersebut. Ketergantungan ini amat berbahaya. Bagaimana dalam kondisi tak ada video? Pasti ia akan berusaha menggunakan imajinasinya. Dapatkan dibayangkan, saat menyetubuhi isteri seseorang justru membayangkan wanita lain dalam benaknya? Secara logika saja hal itu sungguh tak pantas.
Kedua, realitas membuktikan, bahwa banyak mereka yang biasa menonton video porno, mungkin dalam tahap awal untuk membangkitkan gairah berhubungan intim dengan isteri, kemudian meningkat menjadi kebiasaan menonton sebagai sebuah hobi baru. Setelah itu, mulai menjurus pada perselingkuhan karena tak mampu menahan libidonya, sementara isteri sedang haid misalnya, atau sedang bepergian jauh misalnya.
Ketiga, mereka yang menikmati melihat kecantikan dan kemolekan tubuh wanita lain, demikian juga wanita yang menikmati ketampanan dan keindahan tubuh pria lain dalam video porno tersebut, apalagi terkait dengan organ-organ vital pria maupun wanita, pasti akan membanding-bandingkan dengan isteri atau suaminya. Setelah mendapatkan bahwa selain isteri atau suaminya banyak yang lebih menarik, maka akan muncul hasrat melakukan petualangan seks dengan selain pasangan resminya. Terjadilah perselingkuhan. Meski tak terjadi pada setiap orang yang gemar menonon video porno, tapi banyaknya orang yang melakukan itu akibat kebiasaan menikmati sajian-sajian syahwat itu sudah cukup membuktikan bahwa mudarat dari kebiasaan itu jauh lebih banyak dan lebih berbahaya ketimbang manfaat yang didapat, yang itupun belum tentu hadir seutuhnya. Wallaahu A’lam.
2. Bolehkah Pasutri Merekam Adegam Persetubuhan Mereka dalam HP, Handy Cam dan sejenisnya? 
Kaidah syariat menegaskan bahwa segala yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain hukumnya adalah haram. Sementara, merekam adegan persetubuhan dalam media-media tertentu yang berpotensi hilang, tercecer, lalu ditemukan orang lain –dan kemungkian itu sangatlah besar, terbukti nyaris setiap pemilik HP di tanah air pernah mengalami kehilangan hpnya– adalah bahaya yang tak dapat dipungkiri.
Hukum pornografi nasional sendiri menegaskan menyimpan tayangan porno dalam media yang sangat mungkin tercecer sehingga akhirnya menjadi konsumsi publik dapat terjerat pidana kriminalitas!
Maka, kebiasaan itu tergolong kebiasaan haram, atau minimal syubhat dalam katagori syubhat berat, meski dengan tujuan untuk dibawa suami bepergian dan ia tonton sendiri demi memuaskan hasrat seksualnya.
Nah, bila itu dilakukan seorang suami, maka ia telah terjebak dalam perbuatan haram lain, yaitu onani. Karena tak ada gunanya ia menonton video senggamanya dengan isterinya tersebut yang berujuan memuaskan nafsu seksnya, namun tidak dituntaskan dengan onani. Kalau itu ia lakukan, yakni menonton tanpa beronani, maka libido seks tertahan dan tak terpuaskan, yang timbul adalah hasrat lain untuk berselingkuh, yakni memuaskan nafsu seksnya dengan wanita lain yang belum sah menjadi isterinya!
3. Bagaimana Hukum Mengunakan Kata-kata Jorok dengan Istri Sebelum Berhubungan Badan?
Kalau kata-kata jorok itu bukan yang berarti membicarakan seks yang terkait dengan selain suami isteri tersebut, misalnya membicarakan tubuh wanita lain atau pria lain, tapi semata-mata kata-kata jorok secara umum demi menciptakan suasana hangat sebelum berhubungan seks, maka hukumnya adalah mubah, bahkan dianjurkan demi optimalisasi hubungan seks yang berarti bisa membantu menjaga iffah atau kesucian diri. Contohnya, suami menyebut-nyebut –maaf– kiasan dari bagian vital isterinya, atau isteri menyebut-nyebut kiasan dari alat vital suaminya. Yakni dengan hanya didengar oleh mereka berdua. Dianjurkan dengan kiasan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua, dikhawatirkan akan terdengar tanpa sengaja oleh orang lain, dan dapat menimbulkan godaan syahwat yang diharamkan.
Dalam Al-Quran dan hadits-hadits Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –, kata-kata jorok itu disebut rofats. Kata rafats kadang diartikan sebagai jimak atau bersetubuh, kadang diartikan sebagai kata-kata jorok untuk membangkitkan gairah seks pasutri. Allah berfirman,
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata jorok), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal….” (Al-Baqarah : 197)
Para ulama menjelaskan, bahwa rafats itu dilarang dilakukan pasutri terhadap pasangan masing-masing saat berhaji, namun itu diperbolehkan di luar haji. Wallaahu A’lam.
4. Bagaimana Hukum menambah “Ukuran”?
Benar, bahwa bagi sebagian orang, size doesn’t matter, yakni bahwa ukuran bukanlah masalah. Tapi bagi sebagian orang, itu bisa menjadi masalah.
Artinya, sebagian orang bisa mengelola sebagian kekurangannya dengan kelebihan lain. Baik suami maupun isteri, bisa melakukan trik-trik tertentu demi kepuasan seks, meski seorang suami –maaf– memiliki kekurangan dalam soal ukuran alat vitalnya. Tapi, banyak orang yang kurang mampu dalam mengelola potensi seksnya, atau sering tak punya waktu cukup buat memikirkan trik-trik demi kepuasan seks, sementara dengan ukuran yang lebih besar ia mampu memberikan kepuasan seks buat dirinya dan buat isterinya. Maka, dalam hal ini, boleh saja menggunakan obat-obatan yang dapat membantu memperbesar ukuran alat vital, dengan catatan, obat itu halal, obat itu tak memberi efek samping yang berbahaya baik bagi organ-organ tubuh tertentu, atau malah terhadap alat vital itu sendiri di kemudian hari.
Artinya, bila obat itu bersifat membangun, memberi perbaikan, dan dibuat dari bahan-bahan yang diyakini kehalalannya, maka hukumnya mubah saja, bahkan bisa saja dianjurkan atau diperintahkan bila tanpa itu hubungan seks menjadi kacau. Membesarkan alat vital dalam konteks yang wajar melalui herbal dan terapi-terapi alternatif tertentu, nyaris sama dengan upaya membesarkan otot-otot tubuh, baik itu bisep, trisep otot dada, otot perut dan yang lainnya. Kesemuanya diperbolehkan asalkan bermanfaat dan tidak menimbulkan kerusakan pada tubuh orang tersebut, sehingga tak sebanding antara manfaat yang diperoleh dengan bahaya yang didapatkan. Wallaahu A’lamu bishshawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.