BBM dan Keberpihakan PDF Print
Wednesday, 23 May 2012
Dua pekan terakhir ini saya disibukkan oleh pertemuan dengan kalangan
kampus negeri maupun swasta dan lingkungan pebisnis. Kalangan kampus
ingin mengetahui lebih dalam argumen akademik kenapa saya menolak
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sementara dengan pebisnis yang muncul adalah bagaimana mengantisipasi
ketidakpastian harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga-harga.
Secara proporsional, saya mengajukan tiga argumentasi: Pertama,
bagaimana ekonomi konstitusi mengamanatkan soal energi.Kedua, bagaimana
energi merupakan hajat hidup orang banyak. Ketiga, bagaimana kondisi
APBN-P yang sebenarnya.
Secara umum orang mengetahui bahwa Pasal 33 mengamanatkan agar
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya bagi
kemakmuran rakyat. Dari amanat ekonomi konstitusi ini,mustahil melepas
harga energi merujuk pada mekanisme pasar.
Kendati demikian,Perpres 5/2006, Blueprint BPH Migas 2004-2020,
Blueprint BP Migas 2006-2025,dan permintaan Sekjen OECD Angel Guria pada
1 November 2010 menunjukkan bahwa Indonesia patut memenuhi komitmennya
mencabut subsidi BBM.Pencabutan subsidi BBM ini sama dengan
memberlakukan mekanisme pasar pada sektor energi. Komitmen ini tentu
saja juga sudah dituangkan lebih dulu dalam Letter of Intent 1998-1999
saat IMF mengarahkan reformasi ekonomi Indonesia.
Selanjutnya USAID, Bank Dunia, dan ADB mengaplikasikan lebih lanjut
jalan menuju liberalisasi sektor energi yang dituangkan dalam UU No
22/2001 tentang Migas. Dalam gugatan judicial review, Mahkamah
Konstitusi kemudian antara lain membatalkan Pasal 28 ayat (2): Harga
bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Persoalannya, mana yang lebih realistis dan memiliki daya desak untuk
berlaku,ekonomi konstitusi atau anjuran kuat (strong recommendation)
pihak asing yang menghendaki berlakunya mekanisme pasar di sektor energi
? Sikap saya adalah menegakkan ekonomi konstitusi.
Soal kedua, energi sebagai hajat hidup orang banyak berhadapan dengan
fakta: di satu sisi produksi minyak mentah dan minyak olahan yang tidak
mencukupi kebutuhan domestik, di sisi lain harga minyak internasional
selalu berfluktuasi di tengah Indonesia membutuhkan impor minyak dan
menganut rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).
Sebagai hajat hidup orang banyak, energi disediakan negara kepada warga
negaranya tanpa membedakan kaya dan miskin,serta jauh dan dekat dengan
pusat produksi dengan harga terjangkau. Di era Soeharto,kesamaan harga
energi dan sembako di seluruh wilayah Nusantara adalah alat politik
untuk menyatukan Indonesia.
Di Era Reformasi dengan prinsip mekanisme pasar bebasnya, harga
komoditas apa pun bergantung pada hukum penawaran dan permintaan.
Pemerintah dilarang mendistorsi pasar.Kebijakan yang mendistorsi pasar
akan mengakibatkan pasar tidak efisien, kata pendekar-pendekar mekanisme
pasar bebas.
Public Goods
Menghadapi fakta seperti ini, saya menjawab undangan pemerintah dengan
argumen tentang kebutuhan perhitungan secara logis, rasional, dapat
diandalkan dan diaudit berapa biaya perkiraan sendiri (owner estimate
cost) atas produksi minyak Indonesia.Juga berapa biaya perkiraan impor
atas minyak yang diimpor. Dua perhitungan akan menghasilkan harga
campuran (mixing price).
Konsep ini saya sampaikan pula kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI
pada 12 Maret 2012 saat saya diundang menjadi narasumber.Anggota DPR
yang di Banggar pun menanyakan hal itu kepada pemerintah.
Menyedihkannya, pemerintah tidak pernah menjawab dengan baik. Pemerintah
hanya menyandarkan diri pada harga MOPS ditambah Alpha (sebagai margin
keuntungan yang hendak dicapai).
Padahal argumen dan analisis saya bermaksud mengubah pemahaman bahwa
energi tidak lagi sepenuhnya sebagai hajat hidup orang banyak (public
goods), lalu dengan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan nasional
justru menjadi kuasi hajat hidup orang banyak (quasi public
goods).Perubahan pemahaman ini tentu sepenuhnya tidak membenarkan bahwa
energi harus tunduk pada mekanisme pasar karena sudah menjadi commercial
goods.
Perubahan pemahaman ini pun harus diikuti dengan strategi menghentikan
dikte kartel industri minyak sehingga kedaulatan energi nasional
terwujud. Menyangkut soal APBN yang akan jebol dan pentingnya
menyelamatkan ekonomi nasional, saya mempunyai tiga alasan yakni subsidi
BBM sebesar Rp138 triliun (dibulatkan) sama dengan 1,85% terhadap
PDB.Jika termasuk subsidi untuk listrik Rp93,05 triliun, jumlahnya
menjadi 3,17% terhadap PDB.
Angka 3,17% terhadap PDB inilah yang ditakutkan oleh pemerintah karena
melanggar UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi defisit
hanya sampai 3%. Dalam APBNP 2012 dengan subsidi BBM sebesar 1,85%
terhadap PDB pernah dialami pada 2006, bahkan lebih kecil dibanding APBN
2007 (2,1% terhadap PDB) dan APBN 2008 (2,8% terhadap PDB).
Karena menjadi 3,17% terhadap PDB saat ditambah dengan subsidi listrik,
perlu ada penggunaan energi primer unggulan pada satu daerah untuk
pembangkit listrik sekaligus merupakan aplikasi diversifikasi energi.
Pulau Jawa yang kaya dengan panas bumi harus menggunakan panas bumi.
Sumatera yang kaya dengan gas, patut menggunakan gas untuk pembangkit
listriknya.
Demikian juga dengan pulau-pulau lainnya. Bersamaan dengan itu,konversi
penggunaan premium ke gas disiapkan secara sungguh. Janji-janji
pemerintah yang pernah disampaikan saat kenaikan BBM pada 2005 dan 2008
diwujudkan. Lalu pemerintah dengan tegas menyatakan, harga BBM tidak
naik karena harga minyak dunia pun sudah turun. Sementara pengelolaan
energi nasional terus ditingkatkan dengan mengurangi ketergantungan pada
investasi asing.
Sedangkan dilihat dari sudut penerimaan dan belanja migas, APBN-P 2012
menunjukkan sekitar surplus Rp40,71 triliun. Karena ingin memenuhi
komitmen, sinyal yang dikirim ke masyarakat pun adalah kenaikan harga
BBM.Inilah yang membuat produsen mengambil keputusan sendiri yakni
menaikkan harga hingga 10–25%.
Kondisi ini menggambarkan rendahnya kualitas kebijakan pemerintah dan
rusaknya suasana saling percaya. Kini kebutuhannya adalah sikap tegas,
kepada siapa pemerintah berpihak? ● DR ICHSANUDDIN NOORSY Ekonom
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/497158/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.