Sepekan lalu, nilai tukar rupiah sedikit bergejolak atas dolar AS.
Rupiah melemah hingga 9.300-an per dolar AS dari sebe lumnya 9.100,
sebelumnya menguat kembali pada penutupan perdagangan Selasa (22/5).
Indeks saham juga sempat goyah dari turbulensi yang terjadi di Yunani
dan Zona Eropa akibat beban utang yang menggunung.
Kita punya pengalaman tidak enak atas pelemahan rupiah pada 1998. Krisis
moneter di Thailand dan regional bergelayut juga ke Indonesia yang
ternyata jauh lebih parah. Rupiah terjun bebas dari level 3.000-an per
dolar AS, sempat menyentuh angka Rp 17 ribu, kemudian bertengger di
angka Rp 6.000-Rp 8.000 per dolar AS.
Rezim Soeharto runtuh, berganti era reformasi dengan kebijakan ekonomi
dan politik yang berbeda dari sebelumnya.
Rupiah kembali mengalami depresiasi cukup tinggi hingga 200 poin saat
ini. Krisis Yunani yang berdampak pada keutuhan ekonomi Eropa, berimbas
ke Indonesia. Euro yang melemah menjadi tidak menarik lagi bagi para
investor, yang kemudian memborong dolar AS sebagai portofolio investasi
mereka. Pun di Indonesia. Investor melakukan tindakan yang sama dengan
melepas saham dan valas dalam bentuk rupiah, menggantinya dengan dolar AS.
Inflasi, daya beli menurun, hingga bakal tingginya nilai barang impor
menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional yang saat ini terus
tumbuh. Memang, pelemahan rupiah saat ini masih dalam batas wajar dan
relatif aman. Tetapi, belajar dari pengalaman masa lalu, tindakan
preventif menjadi sangat penting kita lakukan.
Strategi moneter yang tepat dan efektif akan menahan guncanganguncangan
yang mungkin bisa lebih besar.
Kita salut atas sigapnya gerakan Bank Indonesia (BI) yang langsung
terjun ke pasar untuk menjaga nilai rupiah tetap stabil. Operasi moneter
yang dilakukan BI selama ini kita nilai cukup efektif menjaga rupiah di
posisi relatif aman. Kebijakan atas suku bunga pun menjadi acuan penting
bagi pasar agar penguatan dolar AS tidak terus berlanjut. Intervensi
pasar BI, seperti diharapkan kalangan ekonom dan analis maupun pelaku
pasar, merupakan momen dan tahapan krusial demi menjaga makroekonomi
berada dalam treknya.
Pemerintah, di sisi lain, kita harapkan mengeluarkan kebijakan dan jurus
yang tak kalah ampuh demi menciptakan lapangan kerja, menurunkan angka
kemiskinan, dan menjaga daya beli masyarakat tetap baik. Dengan begitu,
dorongan pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi bisa kita jaga, termasuk
dari sisi produksi di mana produsen terus memproduksi barang-barangnya.
Keseimbangan ini yang harus menjadi perhatian kita semua, terutama
pemerintah.
Sebagai negara yang sedang tumbuh (emerging market), Indonesia akan bisa
memainkan peran lebih besar di kancah internasional yang sedang dilanda
krisis Eropa jika mampu menjaga stabilitas moneter. Kita berharap,
inflasi tetap terjaga di level empat-lima persen, rupiah tak beranjak di
atas 9.500 per dolar AS, dan daya beli masyarakat turun. Peran BI tentu
kita tunggu agar ekonomi kita --meminjam lagu Pingkan Mambo-tetap
baik-baik saja.
http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/05/23/ArticleHtmls/tajuk-Rupiah-23052012004020.shtml?Mode=1
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.