Antagonisme Pemberantasan Korupsi
Saharuddin Daming Komisioner Komnas HAM
BILA mencermati in tensitas penanganan tindak pidana korupsi (TPK) yang
melibatkan sejumlah penyelenggara negara belakangan ini, itu menyiratkan
TPK belum bergeser dari common enemy menjadi prevention acts. Salah satu
tantangan law enforcement yang perlu segera diterobos ialah perilaku
antagonis yang masih melembaga dalam pemberantasan TPK.
Hal itu terpotret secara vulgar pada kasus penahanan Angelina Sondakh
oleh KPK.
Tersingkap ke ruang publik sikap ambigu dari sebagian pengurus Partai
Demokrat yang memberikan dukungan dalam bentuk fasilitasi pembelaan
hukum kepada Angie.
Nuansanya sangat kontras ketika Nazaruddin menghadapi proses hukum yang
sama.
Selain tidak mendapat pembelaan hukum, ia malah dipecat sebagai
bendahara umum partai, bahkan di-recall sebagai anggota DPR dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.
Paradigma antagonisme seperti itu juga tampak pada kasus Arifinto yang
harus kehilangan kursi di DPR meski hanya kepergok menyimpan gambar
porno dalam Ipadnya. Bandingkan dengan Misbakhun, Panda Nababan, dan
sejumlah anggota DPR maupun pimpinan daerah yang terlibat kasus TPK,
sampai saat ini masih tetap menduduki jabatan mereka meski telah divonis
pengadilan, bahkan ada yang telah menjalani eksekusi.
Wa Ode Nurhayati yang sejak semula berjibaku untuk bekerja sama dengan
KPK dalam rangka membongkar megaskandal TPK yang melibatkan koleganya di
Badan Anggaran DPR maupun di eksekutif nyaris luput dari simpati KPK
dalam memosisikan Wa Ode sebagai justice collaborator. Bandingkan dengan
perilaku Angie yang sejak awal bungkam bahkan berani berbohong demi
melindungi aktor sentral TPK yang menjeratnya. Anehnya, Angie malah
dilamar KPK sebagai justice collaborator dengan imbalan insentif dan
kompensasi.
Mengguritanya perilaku korup di kalangan penyelenggara negara merupakan
dampak dari hedonisme yang melahirkan budaya kleptokrasi (kesenangan
mengambil/ menerima penghasilan tambahan dengan cara yang tidak
terhormat). Misalnya, upeti, uang lelah, biaya tambahan, suap, hingga
mark-up dan lainlain. Padahal, dalam sumpah jabatan mereka terucap janji
untuk tidak menerima apa pun yang terkait langsung atau tidak langsung
dengan jabatan yang diemban.
Lebih krusial lagi ialah teru ungkapnya kasus TPK yang m melibatkan
sejumlah aparat penegak hukum, khususnya oknum hakim. Tak pelak lagi,
wajah peradilan kita betul-betul tampak semakin ringsek dan bopeng.
Karena bagaimanapun keadaannya, aparat penegak hukum terutama hakim
merupakan ujung tombak pemberantasan TPK. Dari dia, dan oleh dialah, TPK
dalam segala bentuknya dapat diperangi de ngan memaksimalkan lembaga
`efek jera'. Itu lah sebabnya jabatan sebagai aparat penegak huk u m ,
khusus nya hakim, haruslah steril dari setiap rongrongan atau intervensi
dari pihak mana pun dalam memberantas TPK.
Ironisnya, meski ada empat lembaga formal yang berwenang menangani kasus
TPK (kejaksaan, kepolisian, KPK dan pengadilan tipikor), TPK dengan
segala bentuknya masih tetap berlangsung dengan modus operandi yang
semakin kompleks. Hal ini terjadi bukan hanya karena pimpinan dan kolega
aparat penegak hukum terkesan melakukan pembiaran atau saling melindungi
dalam bingkai solidaritas korps. Malah, mereka kadangkadang menjadi
dalang TPK.
Selain itu, terjadinya deviasi penjatuhan sanksi kepada pelaku TPK
melalui putusan hakim, yang memperparah inefektivitas efek jera,
merupakan an jera, merupakan antagonisme nyata dalam pemberantasan TPK.
Ketika Urip Tri Gunawan didakwa menerima suap didakwa menerima su dari
Arthalita Suryani, penegak hukum antusias melakukan pemberatan hukuman
dengan mengganjar 20 tahun penjara, padahal JPU hanya menuntut 15 tahun
sesuai dengan amanat Pasal 12 huruf b UU No 31/1999.
Hebatnya lagi, meski dilakukan upaya hukum, MA dalam putusan No 1243 K/Pid.
Sus/2009 tanggal 11 Maret 2009 memperkuat putusan sebelumnya.
Antiklimaks terjadi ketika perkara dan rujukan hukum yang serupa
mendudukkan oknum hakim (Syarifuddin Umar) sebagai terdakwa TPK, hakim
Tipikor Jakarta Pusat dalam putusan No 541 PID.B/ TPK/2011/PN.JKT.PST,
hanya menjatuhkan vonis kepada terdakwa dengan hukuman yang sangat
ringan, yaitu 4 tahun penjara. Padahal, JPU menuntutnya 20 tahun
sebagaimana yurisprudensi MA tersebut yang menekankan reasoning
pemberatan hu kuman karena terdakwa adalah aparat penegak hukum yang
harus men jadi contoh pemberan tasan TPK. Tragisnya lagi, meski JPU
berjibaku memberantas TPK dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik
(shifting burden of proof) dalam perkara tersebut, hakim tipikor justru
mengambil sikap oposisi dengan bermain di atas altar interpretasi
terhadap Pasal 38 B UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001. Akibatnya sejumlah
valas dengan nilai lebih dari Rp2 miliar yang ditemukan petugas KPK saat
menggerebek tersangka di rumah dinasnya lolos dari jeratan hukum.
Padahal, sebagai seorang hakim ia tidak mungkin mempunyai penghasilan
sebesar itu, apalagi gaji para hakim semuanya dibayar dalam bentuk
rupiah, bukan valas.
Semua ini makin memperparah kronisme inkonsistensi aparat penegak hukum
dalam pemberantasan TPK. Selain mengabaikan fungsi yurisprudensi yang
berpegang pada prinsip the binding force of presedent, inkonsistensi
tersebut ditengarai kemasukan angin solidaritas korps. Atas nama
jabatan, hakim mendekonstruksi fakta hukum hanya dengan interpretasi
Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001. Dalam
interpretasinya, hakim berkesimpulan bahwa kasus suap dalam perkara aquo
adalah pasif, sedangkan dalam kasus Urip Tri Gunawan merupakan suap yang
aktif.
Antagonisme berpangkal pada penje lasan Pasal 37 UU No 31/1999 bahwa
pembuk tian ter balik yang kita anut bersifat terbatas, sehingga JPU
tetap wajib membuktikan dakwaan. Konstruksi hukum seperti ini
kontraproduk tif. Bagaimana mungkin itu bisa disebut sebagai pembuktian
terbalik jika JPU masih dibebani kewajiban untuk membuktikannya.
Semua ini makin mengencangkan tarian antagonisme pemberantasan TPK
lantaran mengadopsi sistem pembuktian terbalik setengah hati.
Konstruksi hukum yang mengadopsi sistem pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas sebetulnya telah digugurkan Pasal 38 B ayat (1) UU No
20/2001, yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang yang didakwa
melakukan TPK berdasarkan harta miliknya yang tidak wajar wajib
membuktikan sebaliknya terhadap harta tersebut meski belum didakwakan
oleh jaksa.
Dengan demikian, konstruksi hukum tentang pembuktian terbalik menurut UU
No 20/2001 tidak lagi bersifat terbatas, tetapi dibebankan sepenuhnya
kepada terdakwa.
Peran JPU hanya tertuju pada tuntutan perampasan harta benda yang
diajukan dalam tuntutan (Pasal 38 B ayat (3) UU No 20/2001).
Bentuk antagonisme terparah dalam pemberantasan TPK dipertontonkan Pasal
175 KUHAP yang pada pokoknya memberi perlindungan kepada terdakwa berupa
hak ingkar. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdakwa berhak menyangkal
bahkan berbohong sekalipun di depan sidang pengadilan. Selain menabrak
Pasal 242 KUHP yang melarang pemberian keterangan palsu di bawah sumpah,
hak ingkar dimaksud juga mencederai tujuan hukum pidana materiil yang
selalu mencari kebenaran intrinsik. Bagaimana mungkin tujuan itu dapat
dicapai jika hukum dan interpretasinya membenarkan antagonisme penemuan
kebenaran materiil?
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/23/ArticleHtmls/Antagonisme-Pemberantasan-Korupsi-23052012020003.shtml?Mode=1
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.