Langgam Bunga Turi PDF Print
Sunday, 13 May 2012
DARGOJI punya tiga anak ketika bercerai dengan Martikah. Yang dua anak
ikut dengan Dargoji–-Telaram dan Kasapa, sedangkan si yang nomor
dua—Manihot—ikut dengan paman Dargoji, Philus—yang setelah 20 tahun
menikah tak ada punya anak.
Sebuah rumus tradisional, satu pancingan mengurus anak agar si takdir
terpukau kasih sayang orang tua yang tulus dan punya anak, meski sangat
terlambat karena di saat itu Philus telah berusia 40 tahun dan Srebeh 37
tahun— bahkan sudah menopause. Martikah pulang ke Buduran, kemudian
menikah lagi dengan Kramil dan punya tiga anak perempuan. Dargoji juga
menikah lagi, dan mempunyai tiga anak lagi—satu perempuan dan dua lelaki.
Dalam berkas ini sengaja tidak disebutkan nama dari enam adik-adik yang
seibu dan yang sebapa dengan Manihot, sebab fokus cerita ini (hanya)
memusatkan pada sosok Manihot—meski di sini aku sedikit menyinggungnya.
Catatan awal buat kerja psikoanalisis, yang tidak kunjung bisa
dirampungkan karena Manihot amat menolak untuk berkomunikasi. Ia
menggumpal jadi keberadaan yang hanya ada di dalam diri sendiri dan
untuk diri sendiri.
Sebuah eksistensi yang tertutup, di mana kedirian tidak mendorong
harapan, impian dan angan-angan agar beremanasi, ke luar dan
berinteraksi dengan realitas sehingga terjadi aktualisasi diri. Dan aku
sedang berusaha memahami itu, serta mengatakannya kepada Manihot agar ia
mengerti—melalukan suatu refleksi, mengejawantah sebagai kedirian riil
yang disadari dan diempati.
MONIHOT anak tersayang Philus, dijadikan si yang terutama, dan karenanya
ia dilatih untuk mengetahui lahan di mana saja, serta harta ternak
apa—yang kebanyakan diserahkan ke orang lain untuk diurus, dengan
perhitungan separuh milik Philus serta separuh milik si peternak—dan di
siapa saja, yang dimiliki oleh Philus sebagai seorang petani
sukses.Terutama catatan tentang siapa yang meminjam uang dan kapan harus
mengembalikannya dengan hasil panen sekian karung.
Gabah kering yang disimpan di lumbung, lalu dikeluarkan ketika harga
meningkat di tengah musim merabuk,dan itu membuat Philus punya posisi
jual yang kuat dan sekaligus punya duit untuk dipinjam secara ijon pada
petani lain. Perputaran modal cerdas,yang membengkak dan sesekali
menyebabkannya punya duit untuk membeli ladang atau sawah baru.
Dengan mengadopsi etos gemi petani seperti yang diajarkan oleh
Philus—hemat, mungkin juga pelit bin kedekut kalau memakai ukuran kota,
yang setiap orang selalu ada dana ekstra buat dipakai bermanja
menyenangkan diri-, maka Manihot pun hidup dengan kebanggaan memiliki,
meski ia tidak pernah memiliki keleluasaan murah hati berbelanja serta
sekadar makan enak.
Katanya, sejak SMP ia terbiasa sekolah dengan bersepeda, terlebih ketika
di SMA meski berjarak 6 kilometer dari tempat tinggalnya, terbiasa
memakai baju tua seperti semua teman sedesa, serta memakai sepatu sampai
hampir jebol—karena Philus selalu menangguhkan permintaan ganti baju
atau sepatu, dengan janji menunggu hasil penjualan panenan kelapa,
singkong, atau padi.
Sehingga sejak dini ia dilatih untuk berhemat dengan dipaksa
menangguhkan membeli apa pun, dikondisikan untuk senantiasa menahan diri
dan tidak kemerungsung. Kalau dipaksa keadaan sering ia dibekali
singkong,kelapa, atau gabah satu atau dua karung, untuk dibawa sendiri
ke pasar, dijual dan lantas membayar lunas SPP atau uang buku, dan
terkadang pulang dengan membawa sepatu baru,sepatu pasar.
"Kau harus mengerti,"kata Philus."Kenapa aku menyuruhmu menunggu saat
panenan tiba, memanennya sendiri, dan menjualnya sendiri? Itu supaya
kamu tahu nilai uang, waktu yang dihabiskan saat menungguinya tumbuh,dan
semua tenaga kala merawatnya, dan karenanya: kamu mengerti cara
menghargai uang hasil menjual panenan dengan tidak sembarangan
membelanjakannya.
" Dan semua teks itu tidak hanya omongan belaka, karena telah
diaplikasikan Srebeh—istri Philus, dengan selalu mengajak Manihot ke
warung dan ke pasar,dengan selalu ada menawar harga yang ditawarkan
penjual. Sen demi sen, rupiah demi rupiah. "Kita bukan pelit, tapi
menghargai semua waktu dan keringat kita sendiri, yang dipakai untuk
menumbuhkan padi, singkong, ketela, kelapa, dan kacang panjang itu,"
katanya berkali-kali. MOTO hidup Manihot itu "berjuang sampai di akhir"—
selalu ada pertimbangan terakhir sebelum finalistis bersepakat dan
mengucapkan satu ijab kabul transaksi.
Itu dimanifestasikannya dengan lulus SMA sebagai siswa terbaik
sekabupaten, karenanya ia memilih untuk masuk ke kedokteran. Cita-cita
yang belum apa-apa sudah membuat Philus dan Srebeh bangga,dan banyak
berceloteh di kampung. Tapi ia gagal,karena itu Manihot memilih tak
ambil kuliah apa pun agar bisa berkonsentrasi belajar untuk tes tahun
berikutnya—meski waktunya lebih banyak mengurusi sawah, ladang, serta
catatan pinjaman serta tagihan ijoniah.
Dengan optimistik ia ikutan ujian lagi—dengan pilihan alternatif Tata
Boga level D1 di IKIP, dan mulai berpikir tentang jadi si yang memiliki
baju kerja berwarna putih, dengan ruang kerja yang bau disinfektan— si
yang dihormati orang kampung. Tapi Manihot gagal, dan terpaksa masuk ke
program D1 Tata Boga—yang dalam sekejap bisa lulus dan segera
ditempatkan sebagai guru.
Sesuatu yang sebetulnya amat memukul ego Manihot. USIA Manihot 29 tahun
ketika Srebeh meninggal dunia, serta setahun kemudian Philus
meninggal—dengan kepuasan sang tuan tanah yang berkeyakinan kalau semua
hartanya akan utuh diurus oleh Manihot, yang telah berulang-ulang
mendapat pesan: agar semua harta itu tak dijual, tetap utuh dimiliki
Manihot. Bahkan, tersirat, harta itu harus bertambah, dan Manihot
percaya pada kewajibannya sebagai pewaris.
Mungkin karena pesan itu telah diinternalisasikan sejak usia Manihot 2
tahun—saat menemani Philus ke sawah atau ketika meninjau ternak yang
di-gaduh-kan—,maka sejak kecil Manihot pun selalu merasa memiliki semua
harta Philus dan Srebeh. Bersilagak tengik sebagai yang memiliki semua
itu, karenanya merasa sebagai orang yang lebih berharta dan kaya dari
siapa pun di kampung.
Hidup dengan satu altar, dengan pandangan dari atas yang
dimanifestasikan dalam komentar mencemoohkan. Kelucuan si bocah yang
karena keterusan sampai dewasa membuat orang-orang kampung sebel. Tapi
gaji sebagai guru cukup bagi hidup seorang lajang yang sebelum berangkat
kerja cukup sarapan nasi pecel se-pincuk, siang tak makan, serta di sore
hari cukup makan nasi pecel lagi—terkadang memanjakan diri membeli mi
ayam, atau pulang dengan membawa nasi kotak setelah makan satu nasi
kotak di sekolah kala ada teman menyelenggarakan syukuran.
Setiap Senin dan Kamis ia berpuasa. Dan ketika ingin lebih berhemat
lagi, karena cicilan utang terlalu besar ke Bank: ia memutuskan untuk
berpuasa Daud,dengan berpuasa selang sehari—meski ke semua orang bilang,
"Lagi menjalani upaya agar segera ada mendapat jodoh!" Alasan yang
tepat, karena sampai menginjak usia 33 tahun ia belum punya suami, dan
karena sejak kecil diajari suntuk dengan kekayaan maka ia tak begitu
terbuka kepada lelaki, cenderung judes ke si yang mendekati dengan
selalu meneriakkan syarat-syarat: (harus) tampan, bujangan, punya
pekerjaan tetap, telah punya rumah, rajin salat, dan modis.
Tapi,lelaki mana yang tertarik pada guru kurus berkulit kotor karena
sepulang mengajar masih pergi ke sawah, mengontrol ternak, dan mencatat
pinjaman uang dan menagih kekurangan gabah ijon pembayaran. Kesibukan
berbisnis yang membuatnya selalu ingin berinvestasi dan haus
berinvestasi, karenanya untuk pelabi ia berkata,tak ingin merehabilitasi
rumahnya, sebab rehabilitasi dan membuat rumah (baru) itu tugas suami
dan bukannya istri.
Tapi (kini) siapa lelaki yang mau melamar Manihot setelah semua harta
Philus digugat, dan si Manihot cuma kebagian sepertiganya saja— sebagai
hibah untuk si anak adopsi—? Yang hanya separuh dari rumah
keluarga—karenanya ia memaksakan diri membangun rumah dengan uang pinjam
Bank. ITU pukulan terberat dalam hidupnya yang nyaris 35 tahun. Ia
meminta agar apa yang terterima siapa saja sebagai warisan itu tidak
dijual,karena nanti semua itu akan dibelinya lagi sebagai manifestasi
bakti Manihot kepada Philus dan Srebeh yang telah membesarkannya dengan
sebuah pesan: agar ia mempertahankan semua harta warisan itu—dan kalau
bisa menambahnya dengan uang yang didapat dari menjalankan semua hasil
panenan.
Tapi, mana mungkin membeli semua itu dengan penghasilan dari gaji si
guru (lajang) meski dengan sangat hemat? Karena itu ia mengambil puasa
Daud, sekaligus bertekad untuk mendapat jodoh dengan ikut rubrik
jodoh,setelah selama ini ia ketus menolak calon yang disodorkan bapak,
saudara—dengan bilang kalau apa-apa yang dipunyai si calon suami itu
tidak sebanding dengan apa yang telah dimilikinya.
Tapi,ia amat marah saat adik seayahseibu dan adik-adik tiri seayah minta
izin akan menikah, dengan tak menghadiri pernikahan itu dan tidak mau
ditemui. "Punya rumah tidak? Penghasilannya berapa? Salat? Apa ia bisa
membimbing aku? Modis nggak?"katanya merentetkan penolakan fakta
adikadiknya itu telah menikah. Sangat berani menikah sehingga tidak
mengindahkan syarat ketat yang ditandaskannya, dan karenanya diharapkan
akan diikuti semuanya.
Tapi, apa mungkin mengharapkan ada jodoh seperti itu di daerah seperti
Wurajil. Dan kini, apa koran serta majalah bisa mendatangkan jodoh yang
sempurna seperti itu? Karena itu, semua saudara,kerabat,teman sekerja,
serta orang sekampung cuma saling pandang, mengerdipkan mata,
bersisenyum ditahan, dan makin cermat memata-matainya. Ingin tahu apa ia
akan dapat lelaki ideal saat ia bercerita tak mungkin asal menerima
lelaki untuk jadi suami kalau lelaki itu tak kuasa membuatkan rumah baru,
mengembali kan semua harta warisan yang dikepingkan sesuai titik garis
muasal warisan berdasarkan silsilah, Philus dan Srebeh, dan sangat
khusyuk salat tapi tetap modis. Dan karenanya ia jadi terisolir dalam
angan-angan serta pengharapan. Terkepung dalam horor semua harta itu
telah dikeping-keping nyaris menjadi sebuah kehampaan makna. Tapi apa
mungkin berpengharapan bila yang terbaik itu menerima bagian sisa dari
semua pengepingan itu Karena itu ia jadi orang yang amat tekun beribadat
agar mendapatkan jodoh utama.
Seakan-akan jodoh itu urusan transaksional antara dirinya dengan Tuhan,
bukan harus terjabarkan dalam skenario nasib yang ditentukan- Nya di
satu sisi, dan di satu jejaring kehidupan sosial yang menyebabkan
Manihot punya pergaulan dengan banyak orang di sisi lain. Manihot tak
punya kehidupan sosial. DAN akhirnya keluarganya— saudara seayah dan
seibu dan saudara tiri satu ayah — mengirimkan Manihot ke rumah
sakit,dan jadi pasien yang tiap Rabu berkonsultasi denganku.
Untuk mengembalikannya ke alam riil dengan mengurangi ketergantungan
pada obat penenang yang selama ini membelenggunya— sehingga tak terseret
ke dalam dunia ilusi. Tapi, bagaimana cara memecahkan perasaan dibuang
ayah serta ibu yang bercerai, yang dikhianati oleh kerabat yang sengaja
menghancurkan keutuhan warisan Philus dan Srebeh, dan juga garis takdir
yang memuarakannya dalam kecewa.
"Saya cape, dokter," katanya, dengan pandangan kosong, dan jari telunjuk
serta jempol tangan kanan yang cermat menelusuri biji-biji tasbih.Ia
berzikir dalam hati— dan terus mempertahankan diri dalam kondisi suci.
Aku menarik nafas panjang.Sia-sia berkomunikasi dengannya.Di titik itu
aku menjadi seorang tamu yang dibiarkan Manihot terlantar di
teras—dengan pintu yang sengaja dikunci dengan seribu gembok. Terlunta—
dalam kesebalan memuakkan— oleh ketidakpedulian yang disengaja.Tapi
itulah ciri orang depresi. Satu risiko profesional yang harus
ditaklukkan dengan pendekatan yang lembut.*** crb,14/02/2012
Catatan: kemerungsung : sangat tergesa-gesa dan sembrono tanpa ada
pertimbangan rasional
gaduh : ternak diserahkan untuk dipelihara oleh orang lain,dengan jasa
(imbalan) pemeliharaan separuh dari harga jual atau daging ternak, bila
nanti ternak beranak kepemilikannya dari anakannya itu juga dibagi dua.
Biasanya ternak betina yang biasa di-gaduh-kan karena potensial
berkembang—yang jantan biasanya untuk segera dijual.
Biodata : BENI SETIA,
tulisannya dimuat di berbagai media massa.
E-Mail: benisetia54@yahoo.com
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/494328/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.