Para pemuka agama harus bicarakan kekerasan di Amerika Serikat
oleh Pendeta Chloe Breyer dan Sarah Sayeed
18 Mei 2012
New York, New York – Bagi mereka yang menyukai Shaima Alawadi, seorang
ibu kelahiran Irak yang memiliki lima anak dan menjadi warga California,
keramaian tentang kasus tersebut di media baru-baru ini sepertinya hanya
memberi sedikit pelipur lara. Spekulasi tentang motif pembunuhannya
telah menjadi topik diskusi di seantero Amerika dan di luar negeri.
Maret lalu, ketika polisi menemukan tubuhnya tergeletak di lantai
rumahnya di California dengan sebuah catatan di sampingnya bertuliskan,
"Ini negeri saya. Kembali ke negerimu, teroris", dunia pun melihat
pembunuhan ini sebagai kejahatan bermotif kebencian.
Namun, pada bulan April, ketika dokumen pengadilan dikabarkan ke publik,
seperti diwartakan New York Times, dan muncul informasi lebih rinci
tentang kericuhan di keluarga Shaima, kekerasan domestik pun menjadi
suatu kemungkinan. Meskipun kasus ini belum terselesaikan,
masalah-masalah yang diangkat, seperti sikap negara terhadap kejahatan
bermotif kebencian dan bagaimana membicarakan kekerasan dalam rumah
tangga dan agama, menjadi percakapan yang penting bagi orang Amerika.
Menurut Robina Niaz, pendiri dan Direktur Eksekutif Turning Point for
Women and Families, lembaga nirlaba pertama di New York City yang
menangani kekerasan rumah tangga di kalangan komunitas Muslim, ada
tantangan-tantangan khusus yang dihadapi di masyarakat minoritas agama
ketika menyangkut kekerasan keluarga. Komunitas Muslim di Amerika
Serikat dan Eropa menghadapi tekanan dan pemeriksaan oleh penegak hukum,
dan juga kecurigaan khalayak luas karenanya.
Akibatnya, rasa malu yang sering kali membuat para korban enggan melapor
masih ditambah lagi dengan stigma yang melekat pada kekerasan rumah
tangga. Hal ini makin menyulitkan upaya menangani masalah ini dan
akar-akarnya. Sama halnya, pengacara publik seringkali bungkam ketika
berhadapan dengan masalah kekerasan terhadap perempuan karena kuatir
terjadi stereotip negatif tentang perempuan dalam Islam. Ini merupakan
wabah yang tak mengenal batas agama.
Niaz dan orang-orang lain dalam komunitasnya menunjukkan bahwa ketika
kekerasan domestik terjadi dalam komunitas Muslim sering kali tradisi
agamanya secara keseluruhan diduga membenarkan pelanggaran semacam itu –
dan dengan kelirunya dianggap memikul tanggung jawab melebihi dari
pelakunya sendiri.
Sekalipun selama berabad-abad para pastor Kristen dan rabbi Yahudi
mendakwahkan pesan-pesan dari balik mimbar ceramah yang diam-diam
mendukung siklus kekerasan rumah tangga, agama-agama ini tidak mendapat
sorotan publik seperti halnya Islam. Bila para pelaku kekerasan rumah
tangga yang beragama Kristen dan Yahudi jarang diidentifikasi dengan
agama mereka, seorang Muslim yang melakukan kekerasan terhadap istrinya
seringkali dianggap sebagai representasi dari agamanya.
Kenyataan bahwa kekerasan domestik adalah penghambat kesetaraan di semua
komunitas agama merupakan sesuatu yang banyak diketahui oleh warga New
York City. Pada 2010 saja, Kantor Walikota melaporkan bahwa kepolisian
New York City menanggapi 249.440 kejadian kekerasan rumah tangga, dan di
tingkat negara bagian, Badan Pencegahan Kekerasan Domestik Negara Bagian
New York mencatat bahwa pengadilan negara bagian mengeluarkan 301.488
perintah perlindungan. Kejadian-kejadian ini terjadi di semua komunitas
agama, etnis dan lapisan sosio-ekonomi. Pada tahun yang sama, New York
City melaporkan 350 kejadian kejahatan bermotif kebencian (naik 27
persen dari 2009), dan di tingkat negara bagian ada 699 kasus.
Salah satu harapan untuk mengurangi kekerasan rumah tangga maupun
kejahatan bermotif kebencian di masa mendatang adalah pendidikan bagi
tokoh agama akar rumput.
Selama dua tahun terakhir, Interfaith Center of New York (ICNY) telah
bekerja sama dengan mitra kami, CONNECT Faith, untuk melatih para tokoh
agama termasuk para pemuka Katolik Roma, orang-orang Yahudi Ortodoks,
para pendeta Gereja Episkopal Metodis Afrika dan Gereja Protestan
lainnya, para perempuan Sikh Punjab, dan seorang ulama Syiah Amerika
Afrika tentang kekerasan domestik dan apa yang bisa dilakukan dalam
komunitas penganut agama untuk mencegahnya.
Belajar untuk kritis terhadap tradisi agama sendiri merupakan langkah
penting dalam proses pendidikan ini, karena terlalu sering pemuka agama
bungkam soal masalah ini dan perlu belajar untuk bicara.
Sama halnya, ICNY juga telah bekerja sama dengan Komisi HAM New York
City dan Kepolisian New York untuk mendidik para pemuka agama tentang
pelaporan kejahatan bermotif kebencian. Dari 699 kejahatan berlatar
kebencian yang dilaporkan di negara bagian New York pada 2010, 39,9
persennya terkait dengan agama (sebagian besarnya anti-Semitik). Dalam
beberapa tahun belakangan, ICNY telah menjadi bagian dari aksi
cepat-tanggap ad hoc di kota ini yang melibatkan para pemuka berbagai
agama dan organisasi mengadakan suatu konferensi pers lintas agama
menyusul suatu kejahatan bermotif kebencian. Dengan membela para korban
kekerasan terkait kebencian dari agama-agama yang berbeda dengan agama
kita sendiri, kita berharap bisa menyampaikan pesan yang kuat ke seluruh
kota.
Perbincangan tentang nasib memilukan Shaima Alawadi seharusnya menjadi
sebuah pengingat bahwa kekerasan, baik di dalam maupun di luar rumah,
harus dienyahkan dari masyarakat kita, dan bahwa selaku pemuka agama
kita memiliki peran untuk dijalankan dalam upaya ini. Agama-agama kita –
semuanya – bisa menjadi sebuah aset dalam perjuangan ini dan bukannya
merupakan suatu kekurangan.
###
* Pendeta Chloe Breyer adalah Direktur Eksekutif Interfaith Center of
New York (ICNY) dan pendeta di Gereja Episkopal St. Mary, West Harlem,
New York.Sarah Sayeed, Ph.D. ialah seorang Staf Program ICNY dan
Presiden dari Women In Islam, Inc. Artikel ini ditulis untuk Kantor
Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 18 Mei 2012,
www.commongroundnews.org
http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31428&lan=ba&sp=0
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.