Lady Gaga dan Budaya Gagap PDF Print
Friday, 18 May 2012
Gagal atau tidaknya pentas Lady Gaga di Indonesia nanti, yang kini
"digagakan", sebenarnya tidak penting-penting amat kalau saja kasus ini
mendewasakan kita.
Baik masyarakat umum,dan terutama elite pimpinan pemegang kuasa yang
menentukan do (boleh), atau don't (tidak boleh).Tapi agaknya susah
terjadi karena situasi lebih berada dalam suam-suam kuku. Panas tidak,
dingin tidak. Sehingga selalu berada dalam tata krama yang tidak jelas
walau tindakannya tegas. Atau sebaliknya ketika tata krama atau aturan
jelas, pelaksanaan tidak tegas memihak ke mana.Kasus terakhir ini pada
penghentian diskusi atau bedah buku.
Jelas-Tegas
Adalah Lady Gaga, penyanyi dan entertainer yang dianggap nomor satu
dunia. Dia hanya seorang diri, namun teman-teman yang nomor dua sampai
seratus, bisa berulah sama. Kalau dia dianggap menyajikan erotisme yang
tak sesuai dengan budaya luhur kita, harus jelas ukuran ketidaksesuaian
itu. Jelas dalam pengertian diterima semua pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian,rumusan itu berlaku untuk peraga yang lain, baik lokal,
nasional, regional, ataupun internasional. Rumusan yang sama berlaku
konsekuen untuk tampilan dalam tayangan di televisi, di media yang lain.
Karena, apalah artinya membatalkan konser yang berlangsung 2 atau 3 jam
dibandingkan dengan pembiaran ribuan jam sebelumnya dalam sajian yang
dinikmati secara aman.Apalah artinya kalau melarang Lady Gaga, tapi
memperbolehkan seperti Katty Perry—atau siapa pun namanya yang juga
semlohe, dalam lirik maupun busana panggung.
Dengan rumusan yang jelas,para promotor,para pemberi izin, termasuk
kepolisian mempunyai ukuran yang sama untuk melarang atau mengabulkan.
Ini yang harus dijabarkan dengan jelas, bukan berdasar tafsiran
individual atau komunitas.Pada masa lalu semua tata krama terperinci.
Misalnya tidak memperlihatkan pusar, tidak memperlihatkan payudara,
terutama puting, tidak melakukan adegan cium bibir ke bibir, atau
telanjang. Tanpa kejelasan, apalagi hanya mengandalkan tafsiran, semua
kemungkinan bisa terjadi. Akibatnya kita menjadi gagap, tertahan-tahan,
bingung menyatakan yang sebenarnya.
Tak jelas mengatakan mati atau mari,sembuh.Kalau ini sebagai jawaban
bagaimana keadaan yang sedang sakit, maknanya bisa berlawanan. Kasus
Lady Gaga membuktikan kegagapan budaya kita untuk berpikir jernih,hati
bersih, dan mengutarakan dalam bahasa yang fasih makin tersisih. Kita
bertindak berdasarkan tekanan, paksaan, desakan, yang berlaku sesaat
yang bisa menyesatkan semua kalau melihat dari keseluruhan secara total.
Jalan Budaya
Ini yang lebih mencemaskan karena dengan demikian kita semua masih
berada dalam situasi yang tidak benarbenar jelas sehingga ketegasan yang
dilakukan bisa membuat beringas atau telengas.Agaknya situasi seperti
ini yang terciptakan selama ini sehingga terjadi benturan-benturan dan
tak terselesaikan. Entah kenapa kita terseret dan tenggelam dalam
keberadaan yang tak pernah menuntaskan persoalan.
Sedemikian rupa serunya sehingga kita tak pernah belajar dari kasus yang
ada.Batal atau tidak batalnya pentas Lady Gaga tak mengajarkan kita, tak
memberi makna apa-apa, selain kegagapan atau kegalauan yang sama. Untuk
kasus lain yang serupa. Secara pribadi saya bukan fans Gaga. Saya lebih
suka tampilan Soimah, atau gaya singa panggung Nicky Astria, yang teriak
dan jingkraknya penuh semangat menggelora tanpa menimbulkan kecemasan
soal erotis. Namun merasa miris, persoalan ini berlarutlarut dan membuka
luka akan kebersamaan kita berbangsa dan bernegara.
Seakan apa yang terjadi memecah belah dan saling menghadapkan bukan demi
kepentingan bersama. Pada saat seperti itu, kita lupa bahwa negeri ini
mempunyai penyanyi, penata tari, pencipta lagu, penyelenggara
pertunjukan, juga penonton yang andal.Yang kesemuanya membutuhkan ruang,
membutuhkan suasana nyaman untuk berkembang,dengan beberapa
kemudahan.Kemudahan yang seharusnya diberikan oleh negara sehingga bisa
berkembang secara industrial. Hal yang sudah lama terstruktur bahkan di
negeri Amerika Serikat, atau sekarang menjadi contoh nyata, gelombang
budaya dari Korea Selatan.
Kita lupa bagaimana menempatkan para seniman dan pekerja seni, yang
selama ini telah berprestasi dan piawai oleh kekuatan mereka sendiri.
Padahal kalau kekuatan ekonomi kreatif ini—termasuk cabang seni lain
seperti seni lukis,seni komik,seni animasi, juga dangdut—diberi
kesempatan untuk memantapkan kedaulatan berbudaya,banyak hal bisa
terselesaikan. Selain keberadaan mereka menjadi eksis, sekaligus juga
membentengi dan menjadi filter penyaring masuknya tata nilai dan tata
krama yang tidak sesuai dengan keberadaan kita.
Budaya adalah jalan damai, jalan komunikasi atau dialog, dan bukan
kekerasan. Jalan Budaya adalah menang tanpa merendahkan atau meniadakan
yang lain. Jalan budaya bukan perilaku the winner take them all, yang
menang mengambil semua kebenaran, melainkan berjalan bersama dalam
kreativitas kompromi. Jalan budaya perlu dibangun dan dibangunkan
sebagai sikap menghadapi industrialisasi global.
Itu semua bisa dimulai dengan tidak menghabiskan waktu untuk bentrok dan
ngotot memaksakan satu kehendak di atas yang lain. Jalan budaya
mengandaikan ada tata krama yang jelas,yang menjadi ukuran kebersamaan,
dan memperlakukan secara tegas. Sori Ga kalau gue nggak (bisa) nonton lo.
ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/495767/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.