Quo Vadis Keadilan
Ali Mustofa - detikNews
Rabu, 16/05/2012 10:50 WIB
Jakarta "Al-Mulku yabqa ma'a al 'adl wa laa yabqaa 'alaa al-zhulm".
Negara akan eksis bersama keadilan dan tidak akan eksis bersama
kedzaliman. (Al-Mawardi, Adab al-Dunyaa, 142).
Pada Sabtu (12/05) kemarin, ribuan mahasiswa Trisakti berdemo untuk
memperingati Tragedi Trisakti 12 Mei. Mereka melakukan orasi tentang
tragedi yang menewaskan 4 mahasiswa Trisakti tersebut. Para mahasiswa
itu berharap supaya kasus Tragedi bisa diusut secara tuntas. (detik.com,
12/05/12).
Menurut laman Wikipedia, Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan
pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut
Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti Jakarta, serta puluhan lainnya luka-luka.
Sebelumnya ada sedikit asa ketika terjadi transisi pemerintahan dari
masa ordebaru ke era reformasi dalam mencita-citakan keadilan. Namun
seiring dengan berjalannya waktu, asa itu pun semakin terkikis, digerus
oleh sebungkus kepentingan oleh segelintir elit.
Konon negara ini adalah negara hukum, sebuah idiom yang layak
dipertanyakan. Kemana larinya penyelesaian kasus Tragedi Trisakti 12 Mei
yang merupakan tonggak sejarah perubahan bangsa Indonesia ini. Secuil
kasus dari sekian banyak kasus ketika keadilan sudah seperti barang mainan.
Etikad baik dari pemerintah sempat tersirat ketika presiden pernah
berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ini. Namun janji
tinggal janji, hingga saat ini ternyata janji itu belum terpenuhi.
Tersirat ada tembok penghalang dalam penyelesaian kasus ini. Yakni
pertama: Kepentingan elit politik. Kemandegan penuntasan kasus
pelanggaran HAM berat ini disinyalir oleh sebagian pihak adalah sebagai
permainan politik.
Janji-janji pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut dinilai
hanya untuk meningkatkan posisi tawar, pemerintah tidak mau posisinya
terjepit.
Kedua, kurangnya keseriusan pemerintah. Sebagai contoh ketika DPR pada
tahun 2009 merekomendasikan pada pemerintah untuk membentuk pengadilan
HAM ad doc ternyata diabaikan.
Penyelesaiannya kasus seperti ini juga selalu terhenti di kejaksaan
agung yang notabene merupakan bawahan presiden. Institusi ini dituding
lamban dan tidak segera menindak lanjuti laporan penyidikan oleh Komnasham.
Menurut Domu, P Sihite, Direktur Penanganan Pelanggaran HAM berat di
Kejaksaan Agung, membenarkan bahwa saat ini setidaknya ada 4 berkas
kasus pelanggaran HAM berat yang diterima Kejaggung, yakni: 1. Trisakti,
Semanggi I dan Semanggi II, 2. Kerusuhan Mei 1998, 3. Penghilangan orang
secara paksa, 3. Talangsari, Lampung.
Ketiga, tersibukkan isu lain dan termakan waktu. Berbagai kasus yang
menimpa negri ini memaksa para pihak yang berkepentingan tersibukkan
dengan kasus tersebut, sehingga kasus seperti tragedi Trisakti inipun
semakin tertutupi.
Seperti halnya kasus korupsi yang memang begitu merepotkan. Tuntutan
penyelesaian dari berbagai pihak termasuk dari keluarga korban pun
kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Usman Hamid, Koordinator Kontras sebagaimana dalam wawancaranya dengan
pedomannews.com, mengatakan bahwa sekarang ini kondisi politik tidak
kondusif untuk membicarakan kasus-kasus penembakan mahasiswa Trisakti,
tidak seperti masih hangat-hangatnya semasa reformasi. Saat ini isunya
sudah jauh berubah.
Harus dituntaskan
Sejatinya penyelesaian kasus seperti ini amatlah penting dan krusial,
supaya di lain waktu kejadian serupa, seperti halnya penghilangan nyawa
sembarangan, penculikkan paksa, dan tindakan kriminal politis lainnya
dapat dicegah. Oleh karena itu berbagai pihak harus mendesak supaya
pemerintah segera menuntaskan kasus ini.
Kasus ini juga menunjukkan kepada kita bahwa dalam sistem sekulerisme,
ketika sebuah pemerintahan tidak menggunakan bimbimgan Wahyu sebagai
aturannya, maka faktor kepentingan yang menjadi panglima, keadilan pun
akhirnya menjadi barang langka.
\"Reformasi pada tahun ke-14 ini gagal memberikan keadilan karena
kekuasaan hanya berkiblat pada kepentingan politik,\" kata Yati
Andriyani, Kepala Divisi Pemantauan Impunita Kontras dalam konferensi
pers di Jakarta. (beritasatu.com, 12/05/12)
Kalimat diatas benar adanya, ternyata reformasi di negri ini tidak cukup
untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Baik itu keadilan hukum,
keadilan politik maupun keadilan ekonomi.
Maka sungguh, negri ini butuh perubahan yang tidak hanya setengah hati,
melainkan perubahan secara totalitas. Itulah perubahan kearah sistem
Islam melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai
khilafah. Sistem yang jelas terbukti sangat menjunjung tinggi keadilan.
Dalam sistem Islam, source of legislation adalah hukum syara'. Semua
aspek pengaturan masyarakat diatur oleh hukum yang jelas, yakni syariah
Islam, termasuk untuk mengadili berbagai permasalahan di tengah masyarakat.
Hal ini menjadikan sistem hukum Islam mandiri dari intervensi
kepentingan manusia, karena hukum datang dari Dzat yang maha pencipta
dan pengatur. Tidak seperti dalam sistem sekulerisme, hukum dibuat oleh
manusia sehingga sarat dengan kepentingan segelintir manusia pembuat
hukum itu sendiri.
Secara aplikatif, penegakkan hukumnya pun sangat eleghan, karena
didasari dengan spirit ruhiah yang begitu kental. Sejarah sudah
membuktikan hal itu. Dan sejarah itu pasti terulang. Untuk Indonesia
yang lebih adil. Wallahu a'lam.
*Penulis adalah Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Ali Mustofa
Gang Nusa Indah, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo
alie_jawi@yahoo.com
02717021603
http://news.detik.com/read/2012/05/16/105037/1918213/471/quo-vadis-keadilan
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.