Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] SURYA AKA: Liputan Berlebihan

Liputan Berlebihan PDF Print

Wednesday, 16 May 2012

Musibah Sukhoi Superjet 100 menjadi bahan berita utama hampir semua

media.Apalagi televisi berita, hampir 24 jam memberitakan jatuhnya

pesawat sipil Rusia itu.





Perkembangan dari menit ke menit menjadi menu utama agar tidak

tertinggal oleh stasiun televisi pesaingnya. Semua stasiun menerjunkan

awak kamera dan reporter ke banyak lokasi: Halim, posko Bogor,RS Polri

Kramatjati, serta terjun ke lokasi penemuan jenazah. Berbagai cara

dilakukan agar mendapatkan gambargambar yang eksklusif.Khawatir tak bisa

naik-turun di ketinggian, kamera pun dititipkan ke relawan. Seolah

berlomba menjadi televisi pertama menayangkan gambar penemuan lokasi

penemuan jenazah di reruntuhan.



Semua serba paling diburu untuk target paling cepat. Upaya kerja keras

itu tentu saja sah-sah saja, agar beritanya gres, agar manajemen

memujinya karena ber-ratingtinggi. Tapi, sebagai jurnalis, mesti ingat

pesan Joseph Pulitzer,bapak jurnalis dunia: "Jurnalistik membutuhkan

orang-orang yang berani dan bermoral".Dengan kata lain,keberanian

melacak sampai ke dasar Gunung Salak harus diiringi etika yang memadai.

Jurnalis tak boleh mengesampingkan efek dari pemberitaan dan

gambar-gambar video yang ditampilkan di layar kaca.



Janganlah mengeksploitasi korban yang tangisan kesedihannya. Jangan ada

lagi pertanyaan kepada keluarga korban dengan kalimat "Bagaimana

perasaan Anda...?" Sebuah pertanyaan yang tidak membuat senang yang

diwawancara, termasuk pemirsa sudah tahu,bahwa mereka sangat berduka.

Memang tak bisa dimungkiri, para kru redaksi pemberitaan harus ekstra

memutar otak untuk menampilkan berita yang eksklusif,beragam,serta

memberi informasi yang akurat pada pemirsanya. Namun, pemberitaan harus

tetap memperhatikan etika. Kode etik jurnalistik harus tetap jadi

pegangan semua kru, dalam kondisi apa pun.



Termasuk mematuhi UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang detailkan di

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Kru

jurnalis harus dapat menjawab keluhan pemirsa yang mengkritik bahwa yang

diberitakan dari hari ke hari,ya "itu-itu saja": pergerakan tim pencari,

pengangkutan jenazah, helikopter yang bergerak, mengusung kantong

jenazah ke ambulans, dan tangis korban. Malah saking berpikir cepat, tak

sedikit para awak media mewawancarai narasumber sembarangan.



Sang tokoh rupanya b u k a n l a h orang yang berkompeten di bidangnya,

sehingga jawaban yang diperoleh pun jauh dari harapan. Apalah makna

komentar artis yang tak ada hubungannya dengan korban Sukhoi? Yang

mencengangkan, sampai-sampai seorang habib berpendapat bahwa Gunung

Salak adalah tempat angker karena ada makam seorang ulama. Sebuah

liputan yang tidak cerdas sekaligus menyesatkan. Tak terkecuali

komentar- komentar anggota dewan yang tidak relevan, tak menguasai dunia

penerbangan, hanya akan menjadi "berita sampah" bagi masyarakat

Indonesia yang mulai cerdas.



Semua itu semakin menguatkan tuduhan bahwa jurnalistik televisi kita

lebay(berlebihan). Maka apresiasi patut diberikan kepada stasiun

televisi nonberita, yang ternyata malah lebih bijaksana dalam

menampilkan gambar penemuan jenazah. Dengan menampilkan gambar milik

relawan yang sampai lokasi reruntuhan pesawat, gambar detail puing-puing

sudah cukup membuat kesimpulan bahwa pesawat menabrak gunung dan hancur

berkeping- keping. Sebelumnya masih ada dugaan pesawat masih utuh.



Yang menarik,meski mungkin banyak diperoleh gambar detail potongan

jenazah, dalam pemberitaan tersebut tak ditampakkan bentuk anatomi tubuh

secara clouse up. Seperti kaki yang menjuntai, wajah yang rusak, atau

warna baju dan badan.Apalagi, sang presenter juga dengan bijak meminta

maaf kepada pemirsa sekiranya gambar yang mereka sajikan dapat m e n g -

ganggu d a n mohon y a n g m e n - dampingi putra-putrinya dapat menj e

l a s k a n , atau yang kita kenal bimbingan orang tua (BO). Dalam Pasal

49, 50, 51 P3-SPS yang dikeluarkan KPI, memang tegas diatur, pemberitaan

mengenai musibah atau bencana dilarang menambah penderitaan atau trauma

para korban.



Baik kepada keluarga maupun masyarakat. Mereka yang sedang berduka

adalah bagian dari publik yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi

secara proporsional, tidak hanya semata sebagai objek berita.

Apalagi,pada masa lalu terjadi penekanan para korban agar bersedia

diwawancarai atau diambil gambarnya.Lebih parah lagi,anak-anak di bawah

umur ditanya tentang kepergian orang tuanya. Kalau kejadian ini

dilanggar, KPI dapat memberikan hukuman peringatan. Bila terulang dalam

tujuh hari,dapat dihukum program tak boleh ditayangkan semenara waktu.



Larangan tegas itu mengingatkan pada tragedi tsunami Aceh beberapa tahun

lalu, yang masih ada penampilan gambar mayat secara detail dengan close

up, serta potongan tubuh. Menampilkan narasumber yang tidak berkompeten

dalam peristiwa bencana secara ilmiah termasuk dalam larangan. Misalnya

rangkaian kecelakaan pesawat, terkait komunikasi dari pilot dengan air

trafic controller (ATC), maka pembahasan apa dan bagaimana cara kerja

ATC menjadi bahasan ilmu baru.



Begitu juga dengan blackbox milik Sukhoi akan menjadi kajian ilmiah yang

seharusnya disampaikan oleh ahlinya pula.Terakhir,muncul istilah

antemortem (data fisik korban) dalam kedokteran forensik. Pemirsa diajak

memahami teknik mengenali jenazah yang terpisah-pisah. Di sinilah peran

televisi mesti ikut mendewasakan pemirsa dan khususnya korban, agar

bersabar menunggu sampai akhirnya RS Kramatjati mengumumkan dan

menyerahkan jenazah keluarga.



Berikan kepercayaan untuk diteliti. Tak perlu mencuri gambar dengan

membuka kantong jenazah atau melihat proses pemilahan serpihan potongan

jenazah yang tak utuh lagi. Maka sangatlah tepat dan strategis dilakukan

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), yang dengan rutin menggelar

pelatihan bagi jurnalis muda. Mulai kompetensi dasar dan kompetensi

lanjutan, teknik SAR,sampai pelatihan wawancara dan menentukan narasumber.



Semoga kita dapat terinspirasi dari tragedi tsunami di Jepang, yaitu

dari tsunami sedahsyat itu tak muncul gambar- gambar mayat di semua

televisi Jepang. Dengan begitu, Pemerintah Jepang langsung konsentrasi

memikirkan bagaimana setelah tsunami, bukan penderitaan berlarutlarut

akibat ditinggal keluarga. Memang, sampai kini belum ada komplain dan

sanksi dari Dewan Pers maupun KPI dalam liputan Sukhoi ini.Semoga

menandakan jurnalis kita semakin dewasa! Amin.



SURYA AKA

Komisioner KPID Jatim dan Mantan Pemimpin Redaksi JTV



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/495227/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.