Liputan Berlebihan PDF Print
Wednesday, 16 May 2012
Musibah Sukhoi Superjet 100 menjadi bahan berita utama hampir semua
media.Apalagi televisi berita, hampir 24 jam memberitakan jatuhnya
pesawat sipil Rusia itu.
Perkembangan dari menit ke menit menjadi menu utama agar tidak
tertinggal oleh stasiun televisi pesaingnya. Semua stasiun menerjunkan
awak kamera dan reporter ke banyak lokasi: Halim, posko Bogor,RS Polri
Kramatjati, serta terjun ke lokasi penemuan jenazah. Berbagai cara
dilakukan agar mendapatkan gambargambar yang eksklusif.Khawatir tak bisa
naik-turun di ketinggian, kamera pun dititipkan ke relawan. Seolah
berlomba menjadi televisi pertama menayangkan gambar penemuan lokasi
penemuan jenazah di reruntuhan.
Semua serba paling diburu untuk target paling cepat. Upaya kerja keras
itu tentu saja sah-sah saja, agar beritanya gres, agar manajemen
memujinya karena ber-ratingtinggi. Tapi, sebagai jurnalis, mesti ingat
pesan Joseph Pulitzer,bapak jurnalis dunia: "Jurnalistik membutuhkan
orang-orang yang berani dan bermoral".Dengan kata lain,keberanian
melacak sampai ke dasar Gunung Salak harus diiringi etika yang memadai.
Jurnalis tak boleh mengesampingkan efek dari pemberitaan dan
gambar-gambar video yang ditampilkan di layar kaca.
Janganlah mengeksploitasi korban yang tangisan kesedihannya. Jangan ada
lagi pertanyaan kepada keluarga korban dengan kalimat "Bagaimana
perasaan Anda...?" Sebuah pertanyaan yang tidak membuat senang yang
diwawancara, termasuk pemirsa sudah tahu,bahwa mereka sangat berduka.
Memang tak bisa dimungkiri, para kru redaksi pemberitaan harus ekstra
memutar otak untuk menampilkan berita yang eksklusif,beragam,serta
memberi informasi yang akurat pada pemirsanya. Namun, pemberitaan harus
tetap memperhatikan etika. Kode etik jurnalistik harus tetap jadi
pegangan semua kru, dalam kondisi apa pun.
Termasuk mematuhi UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang detailkan di
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Kru
jurnalis harus dapat menjawab keluhan pemirsa yang mengkritik bahwa yang
diberitakan dari hari ke hari,ya "itu-itu saja": pergerakan tim pencari,
pengangkutan jenazah, helikopter yang bergerak, mengusung kantong
jenazah ke ambulans, dan tangis korban. Malah saking berpikir cepat, tak
sedikit para awak media mewawancarai narasumber sembarangan.
Sang tokoh rupanya b u k a n l a h orang yang berkompeten di bidangnya,
sehingga jawaban yang diperoleh pun jauh dari harapan. Apalah makna
komentar artis yang tak ada hubungannya dengan korban Sukhoi? Yang
mencengangkan, sampai-sampai seorang habib berpendapat bahwa Gunung
Salak adalah tempat angker karena ada makam seorang ulama. Sebuah
liputan yang tidak cerdas sekaligus menyesatkan. Tak terkecuali
komentar- komentar anggota dewan yang tidak relevan, tak menguasai dunia
penerbangan, hanya akan menjadi "berita sampah" bagi masyarakat
Indonesia yang mulai cerdas.
Semua itu semakin menguatkan tuduhan bahwa jurnalistik televisi kita
lebay(berlebihan). Maka apresiasi patut diberikan kepada stasiun
televisi nonberita, yang ternyata malah lebih bijaksana dalam
menampilkan gambar penemuan jenazah. Dengan menampilkan gambar milik
relawan yang sampai lokasi reruntuhan pesawat, gambar detail puing-puing
sudah cukup membuat kesimpulan bahwa pesawat menabrak gunung dan hancur
berkeping- keping. Sebelumnya masih ada dugaan pesawat masih utuh.
Yang menarik,meski mungkin banyak diperoleh gambar detail potongan
jenazah, dalam pemberitaan tersebut tak ditampakkan bentuk anatomi tubuh
secara clouse up. Seperti kaki yang menjuntai, wajah yang rusak, atau
warna baju dan badan.Apalagi, sang presenter juga dengan bijak meminta
maaf kepada pemirsa sekiranya gambar yang mereka sajikan dapat m e n g -
ganggu d a n mohon y a n g m e n - dampingi putra-putrinya dapat menj e
l a s k a n , atau yang kita kenal bimbingan orang tua (BO). Dalam Pasal
49, 50, 51 P3-SPS yang dikeluarkan KPI, memang tegas diatur, pemberitaan
mengenai musibah atau bencana dilarang menambah penderitaan atau trauma
para korban.
Baik kepada keluarga maupun masyarakat. Mereka yang sedang berduka
adalah bagian dari publik yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi
secara proporsional, tidak hanya semata sebagai objek berita.
Apalagi,pada masa lalu terjadi penekanan para korban agar bersedia
diwawancarai atau diambil gambarnya.Lebih parah lagi,anak-anak di bawah
umur ditanya tentang kepergian orang tuanya. Kalau kejadian ini
dilanggar, KPI dapat memberikan hukuman peringatan. Bila terulang dalam
tujuh hari,dapat dihukum program tak boleh ditayangkan semenara waktu.
Larangan tegas itu mengingatkan pada tragedi tsunami Aceh beberapa tahun
lalu, yang masih ada penampilan gambar mayat secara detail dengan close
up, serta potongan tubuh. Menampilkan narasumber yang tidak berkompeten
dalam peristiwa bencana secara ilmiah termasuk dalam larangan. Misalnya
rangkaian kecelakaan pesawat, terkait komunikasi dari pilot dengan air
trafic controller (ATC), maka pembahasan apa dan bagaimana cara kerja
ATC menjadi bahasan ilmu baru.
Begitu juga dengan blackbox milik Sukhoi akan menjadi kajian ilmiah yang
seharusnya disampaikan oleh ahlinya pula.Terakhir,muncul istilah
antemortem (data fisik korban) dalam kedokteran forensik. Pemirsa diajak
memahami teknik mengenali jenazah yang terpisah-pisah. Di sinilah peran
televisi mesti ikut mendewasakan pemirsa dan khususnya korban, agar
bersabar menunggu sampai akhirnya RS Kramatjati mengumumkan dan
menyerahkan jenazah keluarga.
Berikan kepercayaan untuk diteliti. Tak perlu mencuri gambar dengan
membuka kantong jenazah atau melihat proses pemilahan serpihan potongan
jenazah yang tak utuh lagi. Maka sangatlah tepat dan strategis dilakukan
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), yang dengan rutin menggelar
pelatihan bagi jurnalis muda. Mulai kompetensi dasar dan kompetensi
lanjutan, teknik SAR,sampai pelatihan wawancara dan menentukan narasumber.
Semoga kita dapat terinspirasi dari tragedi tsunami di Jepang, yaitu
dari tsunami sedahsyat itu tak muncul gambar- gambar mayat di semua
televisi Jepang. Dengan begitu, Pemerintah Jepang langsung konsentrasi
memikirkan bagaimana setelah tsunami, bukan penderitaan berlarutlarut
akibat ditinggal keluarga. Memang, sampai kini belum ada komplain dan
sanksi dari Dewan Pers maupun KPI dalam liputan Sukhoi ini.Semoga
menandakan jurnalis kita semakin dewasa! Amin.
SURYA AKA
Komisioner KPID Jatim dan Mantan Pemimpin Redaksi JTV
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/495227/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.