Selasa, 22 Mei 2012

[Koran-Digital] Saharuddin Daming: Antagonisme Pemberantasan Korupsi

Antagonisme Pemberantasan Korupsi

Saharuddin Daming Komisioner Komnas HAM



BILA mencermati in tensitas penanganan tindak pidana korupsi (TPK) yang

melibatkan sejumlah penyelenggara negara belakangan ini, itu menyiratkan

TPK belum bergeser dari common enemy menjadi prevention acts. Salah satu

tantangan law enforcement yang perlu segera diterobos ialah perilaku

antagonis yang masih melembaga dalam pemberantasan TPK.



Hal itu terpotret secara vulgar pada kasus penahanan Angelina Sondakh

oleh KPK.

Tersingkap ke ruang publik sikap ambigu dari sebagian pengurus Partai

Demokrat yang memberikan dukungan dalam bentuk fasilitasi pembelaan

hukum kepada Angie.

Nuansanya sangat kontras ketika Nazaruddin menghadapi proses hukum yang

sama.

Selain tidak mendapat pembelaan hukum, ia malah dipecat sebagai

bendahara umum partai, bahkan di-recall sebagai anggota DPR dalam waktu

yang sesingkat-singkatnya.



Paradigma antagonisme seperti itu juga tampak pada kasus Arifinto yang

harus kehilangan kursi di DPR meski hanya kepergok menyimpan gambar

porno dalam Ipadnya. Bandingkan dengan Misbakhun, Panda Nababan, dan

sejumlah anggota DPR maupun pimpinan daerah yang terlibat kasus TPK,

sampai saat ini masih tetap menduduki jabatan mereka meski telah divonis

pengadilan, bahkan ada yang telah menjalani eksekusi.



Wa Ode Nurhayati yang sejak semula berjibaku untuk bekerja sama dengan

KPK dalam rangka membongkar megaskandal TPK yang melibatkan koleganya di

Badan Anggaran DPR maupun di eksekutif nyaris luput dari simpati KPK

dalam memosisikan Wa Ode sebagai justice collaborator. Bandingkan dengan

perilaku Angie yang sejak awal bungkam bahkan berani berbohong demi

melindungi aktor sentral TPK yang menjeratnya. Anehnya, Angie malah

dilamar KPK sebagai justice collaborator dengan imbalan insentif dan

kompensasi.



Mengguritanya perilaku korup di kalangan penyelenggara negara merupakan

dampak dari hedonisme yang melahirkan budaya kleptokrasi (kesenangan

mengambil/ menerima penghasilan tambahan dengan cara yang tidak

terhormat). Misalnya, upeti, uang lelah, biaya tambahan, suap, hingga

mark-up dan lainlain. Padahal, dalam sumpah jabatan mereka terucap janji

untuk tidak menerima apa pun yang terkait langsung atau tidak langsung

dengan jabatan yang diemban.



Lebih krusial lagi ialah teru ungkapnya kasus TPK yang m melibatkan

sejumlah aparat penegak hukum, khususnya oknum hakim. Tak pelak lagi,

wajah peradilan kita betul-betul tampak semakin ringsek dan bopeng.

Karena bagaimanapun keadaannya, aparat penegak hukum terutama hakim

merupakan ujung tombak pemberantasan TPK. Dari dia, dan oleh dialah, TPK

dalam segala bentuknya dapat diperangi de ngan memaksimalkan lembaga

`efek jera'. Itu lah sebabnya jabatan sebagai aparat penegak huk u m ,

khusus nya hakim, haruslah steril dari setiap rongrongan atau intervensi

dari pihak mana pun dalam memberantas TPK.



Ironisnya, meski ada empat lembaga formal yang berwenang menangani kasus

TPK (kejaksaan, kepolisian, KPK dan pengadilan tipikor), TPK dengan

segala bentuknya masih tetap berlangsung dengan modus operandi yang

semakin kompleks. Hal ini terjadi bukan hanya karena pimpinan dan kolega

aparat penegak hukum terkesan melakukan pembiaran atau saling melindungi

dalam bingkai solidaritas korps. Malah, mereka kadangkadang menjadi

dalang TPK.

Selain itu, terjadinya deviasi penjatuhan sanksi kepada pelaku TPK

melalui putusan hakim, yang memperparah inefektivitas efek jera,

merupakan an jera, merupakan antagonisme nyata dalam pemberantasan TPK.



Ketika Urip Tri Gunawan didakwa menerima suap didakwa menerima su dari

Arthalita Suryani, penegak hukum antusias melakukan pemberatan hukuman

dengan mengganjar 20 tahun penjara, padahal JPU hanya menuntut 15 tahun

sesuai dengan amanat Pasal 12 huruf b UU No 31/1999.

Hebatnya lagi, meski dilakukan upaya hukum, MA dalam putusan No 1243 K/Pid.

Sus/2009 tanggal 11 Maret 2009 memperkuat putusan sebelumnya.



Antiklimaks terjadi ketika perkara dan rujukan hukum yang serupa

mendudukkan oknum hakim (Syarifuddin Umar) sebagai terdakwa TPK, hakim

Tipikor Jakarta Pusat dalam putusan No 541 PID.B/ TPK/2011/PN.JKT.PST,

hanya menjatuhkan vonis kepada terdakwa dengan hukuman yang sangat

ringan, yaitu 4 tahun penjara. Padahal, JPU menuntutnya 20 tahun

sebagaimana yurisprudensi MA tersebut yang menekankan reasoning

pemberatan hu kuman karena terdakwa adalah aparat penegak hukum yang

harus men jadi contoh pemberan tasan TPK. Tragisnya lagi, meski JPU

berjibaku memberantas TPK dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik

(shifting burden of proof) dalam perkara tersebut, hakim tipikor justru

mengambil sikap oposisi dengan bermain di atas altar interpretasi

terhadap Pasal 38 B UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001. Akibatnya sejumlah

valas dengan nilai lebih dari Rp2 miliar yang ditemukan petugas KPK saat

menggerebek tersangka di rumah dinasnya lolos dari jeratan hukum.

Padahal, sebagai seorang hakim ia tidak mungkin mempunyai penghasilan

sebesar itu, apalagi gaji para hakim semuanya dibayar dalam bentuk

rupiah, bukan valas.



Semua ini makin memperparah kronisme inkonsistensi aparat penegak hukum

dalam pemberantasan TPK. Selain mengabaikan fungsi yurisprudensi yang

berpegang pada prinsip the binding force of presedent, inkonsistensi

tersebut ditengarai kemasukan angin solidaritas korps. Atas nama

jabatan, hakim mendekonstruksi fakta hukum hanya dengan interpretasi

Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001. Dalam

interpretasinya, hakim berkesimpulan bahwa kasus suap dalam perkara aquo

adalah pasif, sedangkan dalam kasus Urip Tri Gunawan merupakan suap yang

aktif.



Antagonisme berpangkal pada penje lasan Pasal 37 UU No 31/1999 bahwa

pembuk tian ter balik yang kita anut bersifat terbatas, sehingga JPU

tetap wajib membuktikan dakwaan. Konstruksi hukum seperti ini

kontraproduk tif. Bagaimana mungkin itu bisa disebut sebagai pembuktian

terbalik jika JPU masih dibebani kewajiban untuk membuktikannya.

Semua ini makin mengencangkan tarian antagonisme pemberantasan TPK

lantaran mengadopsi sistem pembuktian terbalik setengah hati.



Konstruksi hukum yang mengadopsi sistem pembuktian terbalik yang

bersifat terbatas sebetulnya telah digugurkan Pasal 38 B ayat (1) UU No

20/2001, yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang yang didakwa

melakukan TPK berdasarkan harta miliknya yang tidak wajar wajib

membuktikan sebaliknya terhadap harta tersebut meski belum didakwakan

oleh jaksa.



Dengan demikian, konstruksi hukum tentang pembuktian terbalik menurut UU

No 20/2001 tidak lagi bersifat terbatas, tetapi dibebankan sepenuhnya

kepada terdakwa.

Peran JPU hanya tertuju pada tuntutan perampasan harta benda yang

diajukan dalam tuntutan (Pasal 38 B ayat (3) UU No 20/2001).



Bentuk antagonisme terparah dalam pemberantasan TPK dipertontonkan Pasal

175 KUHAP yang pada pokoknya memberi perlindungan kepada terdakwa berupa

hak ingkar. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdakwa berhak menyangkal

bahkan berbohong sekalipun di depan sidang pengadilan. Selain menabrak

Pasal 242 KUHP yang melarang pemberian keterangan palsu di bawah sumpah,

hak ingkar dimaksud juga mencederai tujuan hukum pidana materiil yang

selalu mencari kebenaran intrinsik. Bagaimana mungkin tujuan itu dapat

dicapai jika hukum dan interpretasinya membenarkan antagonisme penemuan

kebenaran materiil?





http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/23/ArticleHtmls/Antagonisme-Pemberantasan-Korupsi-23052012020003.shtml?Mode=1



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.