Senin, 21 Mei 2012

[Koran-Digital] Dirut PLN: Indonesia Jual Listrik ke Malaysia

Dirut PLN: Indonesia Jual Listrik ke Malaysia

"Soal subsidi, ini hanya pilihan. Duit negara mau kita bakar atau untuk

hal produktif."

Selasa, 22 Mei 2012, 00:04 WIB

Hadi Suprapto, Iwan Kurniawan





VIVAnews – Subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak dan listrik,

masih membelit anggaran negara.



Berbagai cara terus diperjuangkan agar anggaran sehat. Mulai dari

pembatasan konsumsi BBM hingga penghematan besar besaran. Tak cuma pada

BBM, pemerintah pun mengupayakan penghematan konsumsi listrik. Tujuannya

satu, pembengkakan subsidi akibat kenaikan harga minyak internasional

tidak membuat anggaran negara jebol.



Di tengah kekhawatiran ini, pekan lalu VIVAnews kedatangan tamu orang

yang paling berkuasa atas listrik di Indonesia. Dialah Nur Pamudji,

Direktur Utama PT PLN (Persero).

Berikut petikan wawancaranya:



Pemerintah saat ini gencar mengkampanyekan penghematan listrik dan BBM,

posisi PLN sendiri bagaimana?

Soal penghematan, pertama tentu duduk perkaranya dulu musti jelas.

Memang pemerintah mendorong penghematan, tetapi jangan lupa PLN sendiri

korporasi, kami jualan listrik. Kami tidak menyebut ini untuk mencari

untung, tetapi menyediakan listrik sebisa mungkin untuk masyarakat.

Masyarakat butuh, kami harus bisa menyediakan. Jangan sampai masyarakat

butuh listrik, listriknya tidak tersedia.



Tugas PLN pertama kali tentu saja menyediakan listrik yang cukup untuk

seluruh masyarakat yang membutuhkan, jangan sampai tidak cukup, apalagi

tidak ada.



Mengenai penghematan, tentu kampanye dilakukan Kementerian Energi,

barangkali Direktorat Jenderal Kelistrikan. PLN sendiri sifatnya

memfasilitasi orang yang ingin melakukan penghematan. Masa kami jualan

listrik, tapi menyuruh orang untuk hemat. Eh, jangan pakai listrik

banyak-banyak ya...hahaha.



Tentu PLN mengupayakan penurunan subsidi. Itu jelas. Karena pemakai

listrik yang golongannya tinggi mendapatkan subsidi lebih rendah. Kami

dorong orang yang ingin menyambung listrik ke rumah atau gedung dengan

kapasitas sebesar mungkin, agar mereka membayar besar ke PLN dan subsidi

turun. Itu concern kami. Namun, yang jelas kampanye penghematan energi

itu dari pemerintah.



Bukankah mendorong penggunaan listrik sebesar-besarnya membuat subsidi

membengkak, karena masyarakat yang termasuk golongan tinggi pun masih

disubsidi?

Segmentasi tarifnya beda. Semakin tinggi golongannya, maka komponen

presentasi subsidinya rendah. Memang masih disubsidi, tapi tidak

sebanyak segmen yang lebih rendah. Akan berkurang subsidinya, secara

absolut akan berkurang.



Seberapa besar pertumbuhan listrik di Indonesia?

Saya cerita fakta, tahun lalu, 2011, konsumsi energi naik 7 persen

sedangkan pada 2010 sebesar 9 persen, sedikit menurun. Pertumbuhan

listrik pada 2012 ini empat bulan pertama year on year 10,9 persen,

nyaris 11 persen. Jadi kalau saya membacanya, sebagai penyedia listrik,

kebutuhan listrik tinggi, kami harus sediakan.



Konsumsi listrik tinggi, apa artinya? Kalau pemakaian listrik tinggi

ekonomi sedang tumbuh. Saya selidiki, angka dari 11 persen itu

breakdown-nya seperti apa, ternyata yang tumbuh paling besar dari rumah

tangga. Rumah tangga yang mana? Rumah tangga kelas menengah dengan daya

2.200 VA dan 1.300 VA yang tumbuh gila-gilaan. 23 persen dan 30 persen.

Ini karena mereka pada beli kulkas dan AC.



Sedangkan untuk pertumbuhan industri hingga empat bulan pertama konsumsi

energinya naik 10 persen, penambahan pelanggannya hanya 3,9 persen.

Existing customer, konsumen yang lama, menambah konsumsi listriknya.

Artinya apa? Ada pergerakan ekonomi di situ. Sedangkan untuk segmentasi

bisnis, pertumbuhan energinya 8,4 persen, pertumbuhan pelanggannya naik

5,1 persen.



Jadi kembali ke penghematan, kalau industri tumbuh seperti itu apa mau

dihemat? Masa industri disuruh menghemat, nanti ouput perekonomian

nasional turun. Lalu kalau bisnis naik juga, apa kita suruh hemat? Tidak

juga. Bisnis itu sektor produktif. Kalau gedung-gedung perkantoran

seperti ini disuruh menurunkan konsumsi listrik, apa implikasinya tidak

ke output nasional.



Saya pikir yang harus dihemat itu penggunaan listrik yang konsumtif.

Misalnya lampu taman di rumah, apakah hal seperti itu dibutuhkan?

Menurut saya konsumsi listrik seperti itulah yang harus dihemat. Seperti

pohon disoroti lampu, ya sudah lah gak usah. Pagar rumah mewah, setiap

dua meter lampu bulat-bulat, apa perlu? Kalau dimatikan dan hanya

menyalakan lampu teras saja kan cukup. Hal-hal seperti itulah yang harus

dihemat.



Tapi apakah bisa menyuruh orang seperti itu untuk menghemat? Saya

penasaran dan berdialog dengan pelanggan yang membayar rekening listrik

Rp3 juta per bulan.



Dia dari sektor rumah tangga, seorang Ibu. Dia bertanya, cara

menghematnya bagaimana? Saya jawab, bisa saja AC jangan 24 jam nyala.

Nyalakan saat ada orang atau aktivitas saja. AC kamar tidur juga jangan

nyala terus, kalau mau tidur saja.



Dia jawab, tidak..ah, saya mau menikmati hidup, yang penting kan saya bayar.



Begitulah kira-kira bahasanya. Artinya untuk pelanggan seperti ini,

kalau disuruh hemat dengan cara cuap-cuap, "eh hemat dong, hemat-hemat,"

tak akan mempan. Naikkan saja tarif listriknya, pasti hemat. Begitu

lihat rekening listrik melonjak dari Rp3 juta menjadi Rp5 juta dia pasti

berfikir, bagaimana caranya menghemat.



Idealnya tarif listrik rumah tangga dan industri itu seperti apa?

Kalau Anda cek websitenya PLN Jepang, Tokyo Electric Power Company

(Tepco), Anda dapat bandingkan tarif rumah tangga dan industri di Jepang

itu jomplang.



Tarif rumah tangganya mencapai 20 sen dolar per KWh, sedangkan industri

paling 12-13 sen. Lebih murah. Jadi memang sektor yang less productive

itu harus dikasih tarif yang tinggi agar tidak terlalu konsumtif, agar

mereka pikir kalau mereka mau duduk di taman rumahnya, dengan menyalakan

semua lampu, tarifnya mahal.



Sedangkan untuk industri mau menggunakan listrik berapa pun, pakai saja,

karena ini dapat menaikkan output ekonomi nasional. Itu pandangan saya

tentang penghematan, jadi yang harus ditembak untuk penghematan adalah

sektor yang non konsumtif sedangkan sektor produktif kita fasilitasi

saja penggunaan listiknya.



Cuma pertanyaannya apakah mal itu konsumtif apa produktif? Itu saya

tidak tau, hahaha. Gedung-gedung perkantoran dan gedung pemeritah, kalau

di lobi-lobi gedung seperti itu banyak lampu yang sebenarnya dapat

dimatikan, namun kurang indah, kurang mentereng kalau lampunya

dimatikan. Kalau seperti itu konsumtif atau produktif? Susah menilai.

Saya gak tau itu masuk ke mana.



Untuk golongan rumah tangga, semua masih disubsidi?

Tidak. Rumah tangga ada yang tidak disubsidi. Pelanggan 6.600 VA ke atas

itu tidak disubsidi.



Pelanggan di bawah 6.600 VA juga sudah ada yang mampu, kenapa masih di

subsidi?

Itu kebijakan pemerintah. Pertanyaan kenapa yang mampu masih disubsidi?

Jawabannya adalah sampai sekarang kebijakan pemerintah dalam menentukan

tarif listrik adalah mensubsidi golongan di bawah 6.600 VA. Tarif

listrik kan bukan PLN yang menentukan.



Kenapa PLN tidak menerapkan pembatasan seperti halnya BBM?

Ya mungkin barangkali tidak dilakukan saja, kan belum dilakukan. As

simple as that, tidak dilakukan saja. Kalau kita lakukan pasti timbul

kesadaran itu muncul, yang kita sentuh itu pride-nya. Mobil keren kok

pakai BBM bersubsidi, rumah sudah 2.200 VA kok masih disubsidi. Emang

saya yang minta subsidi? Jangan-jangan nanti jawabannya begitu, hahaha.



Mereka tidak punya opsi. Saya tidak mau disubsidi, tapi tidak tahu

caranya. Kalau BBM kan pergi ke Pertamax, di situ gak disubsidi, begitu

caranya.



Sebelum pemerintah mengkampanyekan BBM nonsubsidi, saya sudah lebih

dulu. Di rumah, kalau anak saya mau menggunakan mobil, saya bilang, ini

uang bensin, kamu tidak boleh menggunakan Premium, kamu beli Pertamax.



Anak saya langsung beli Pertamax. Kesadaran itu ada karena mereka bisa

milih, saya pilih untuk tidak disubsidi. Namun, kalau di listrik tidak

bisa, ga ada opsi itu. PLN bisa saja kalau disuruh menyediakan listrik

2.200 VA tanpa disubsidi, kami bisa.



Paling tinggi subsidinya di kelas berapa?

450 VA, itu sampai 25-30 persen. Kelas 450 VA itu juga jumlah pelanggan

kita paling banyak, hampir 19 juta pelanggan.



Jika golongan 450 VA dinaikkan, memberatkan masyarakat kecil?

Kalau kasihan coba Anda bikin riset kecil-kecilan. Sewaktu di Ujung

Pandang, saya bikin riset dengan Universitas Hasanuddin. Berapa spending

masyarakat untuk listrik, berapa untuk handphone, berapa untuk rokok,

dan berapa untuk susu. Ternyata spending terbesar untuk handphone,

sehingga kalau golongan 450 VA ini kita kecilkan subsidinya, paling dia

mengurangi spending handphone.



Rata-rata rekening listrik mereka tidak sampai Rp50 ribu. Saya pernah

iseng-iseng tanya ke pelanggan, kamu bayar rekeningnya berapa? Dijawab,

Rp40 ribu, Pak.



Saya tanya, kalau saya naikkan 10 persen saja, keberatan tidak? Lalu

dijawab, tidak apa-apa, cuma nambah Rp4 ribu. Saya tanya lagi, kalau

naik 20 persen terasa berat tidak? Dijawab, tidak juga.



Jadi, kalau tarif listrik kami naikkan 20 persen, kami sudah bisa

menghemat subsidi triliunan. Dana triliunan itu bisa digunakan untuk

investasi.



Beberapa waktu lalu saya datang dalam peletakan batu pertama pembangunan

pabrik PT Krakatau Steel-Posco. Saya tanya berapa investasinya, Rp30

trilliun. dan ekuitasnya hanya sepertiganya, Rp10 trilliun. Yang Rp20

trilliun pinjaman dari bank. Jadi dengan Rp10 trilliun kita bisa bikin

pabrik segede Krakatau Steel-Posco.



Gila yah, kalau ibu-ibu saya tanya naikin 20 persen masih mampu, dijawab

gak apa-apa pak. Itu kita bisa saving beberapa triliunan dan bisa kita

investasikan beberapa pabrik baja. Ini hanya soal pilihan, duit negara

mau kita bakar atau untuk produktif seperti bikin pabrik baja, ini

pilihan politis.



Perkembangan langganan listrik prabayar bagaimana?

Pemakaian listrik prabayar meledak. Kami juga tidak menyangka, kami

gembar-gemborkan besar-besaran pada 2010, sewaktu Pak Dahlan Iskan

sebagai dirut. Sekarang sudah 5 juta pelanggan atau 10 persen dari

pelanggan PLN itu prabayar. Dan Indonesia sudah menjadi negara dengan

sistem langganan listrik prabayar terbesar di dunia.



Saya kemarin juga mengadakan riset kecil, nyolek salah satu pelanggan

prabayar. Orang itu baru mengganti listriknya dengan prabayar. Dia ini

ibu-ibu, pendidikannya hanya SMA, tidak bekerja, hanya buka warung di

depan rumah. Saya tanya pakai listrik sehari berapa, dia jawab sehari 1

kWh. Saya tanya lagi, tahu dari mana? Saya kan bisa baca hari ini berapa

kWh, besok dari berapa kWh, ke berapa kWh, jadi saya tahu berapa

pemakaiannya. Ini ibu-ibu awam lho.



Apakah ada indikasi naiknya pelanggan prabayar menambah penghematan subsidi?

Itu harus kita riset dulu dari orang yang migrasi. Tapi yang pasti,

ibu-ibu itu jadi aware, padahal sebelumnya juga sudah ada angkanya. Tapi

gak diperhatikan, cuma buat tukang listrik. Padahal itu sama, ukurannya

kWh juga. Karena orang memikirkannya sebulan bayar listrik Rp40 ribu.

Tapi karena prabayar, dia tidak perlu bayar sebulan sekali. Ibu itu

jualan rokok, mie, dan sebagainya, pendapatannya harian. Jadi bayar

listriknya tidak perlu sebulan sekali. Dia tinggal lihat saja, kalau

masih cukup beberapa kWh untuk berapa hari lagi.



Kesadaran tentang pemakaian listrik menjadi muncul, karena dia bisa

bayar listrik kapan saja. Itu bedanya prabayar dengan pascabayar,

ternyata dampaknya luar biasa.



Tetapi itu pertanyaan menarik, apakah terjadi penghematan? Karena kami

punya 46 juta pelanggan, itu semuanya masuk dalam database. Sampai ke

Wamena sana, semua masuk database. Kami bisa melihat kapan dia migrasi,

dan bisa dilihat polanya seperti apa.



Nasib proyek pembangkit 10 ribu Megawatt tahap pertama saat ini bagaimana?

Ya memang 10 ribu MW itu kok kayak ga selesai-selesai, targetnya

meleset. Ya memang benar meleset. Tapi jadi. Sekarang ini PLTU Labuan

sudah beroperasi dengan baik, salah satu ukurannya adalah capacity factor.



Labuan itu share-nya 72 persen. Untuk PLTU batu bara, it's good number.

Artinya performanya bagus dan dia bisa mengeluarkan produk dengan baik.

Kemudian PLTU Lontar sudah beroperasi, Indramayu beroperasi, Rembang

beroperasi, Suralaya unit 8 beroperasi dengan baik. Jadi running well.



Sedangkan dalam tahap penyelesaian itu Pacitan yang akan diselesaikan

tahun ini. Pelabuhan Ratu tahun ini masuk, Paiton masuk. Paiton nomor 9

sekarang sudah selesai tesnya, bulan depan sudah beroperasi.



Tahun ini 6 ribu MW beroperasi, tinggal 4 ribu MW, itu seluruhnya akan

selesai pada 2014. Tetapi sebagian besar, sekitar 90 persen, akan

selesai di 2013 dan 10 persennya di 2014. Apa penyebab terlambat?

Macam-macam. Setiap site kasusnya berbeda-beda.



Pertumbuhan ekonomi indonesia diperkirakan akan terus tumbuh, apakah PLN

siap menyediakan listriknya?

Cukup, secara nasional cukup. Karena sewaktu menyusun APBN 2012 kami

mentargetkan pertumbuhan listrik 9 persen. Tetapi saat APBN-P

pertumbuhannya tidak bisa seperti itu, karena subsidinya dipotong,

terpaksa kami hanya perkirakan 7 persen growth. Tetapi faktanya 4 bulan

pertama 11 persen growth. Perkiraan saya sampai Desember itu kira-kira 9

persen, artinya kembali ke angka semula.



Untuk 3-4 tahun ke depan listrik masih cukup?

Cukup, karena tahun depan ada tambahan kapasitas baru yang cukup

signifikan. Tahun ini saja ada tambahan dari pembangkit baru di luar

proyek 10 ribu MW, seperti PLTU Tanjung Jati B, itu persis 1 Januari itu

tambah 660 MW, Paiton 3 itu tambah 800 MW, sebentar lagi Cirebon 615 MW.



Itu di luar proyek PLTU 10 ribu MW. PLTP Ulubelu sebentar lagi masuk

2x55 MW, Juli unit pertama masuk. Kira-kira dua bulan berikutnya unit

kedua 2x55 MW di Lampung juga masuk.



Di Medan, PLTP Nagan masuk 2x115 MW, lalu di Padang, 2x200 MW juga

masuk. Insya Allah cukup. Di Kendari 2x10, Sulawesi Utara 2x25 MW,

Jeneponto 2x100 MW, sudah testing, semester II masuk, tahun depan

operasi penuh. Kota baru, Sulawesi Selatan 2x50 MW. Insya Allah kita gak

akan kesulitan.



Proyeksi aman sampai tahun berapa?

Kami sudah mengamankan hingga 2020. Bagaimana cara mengamankannya? Kami

sudah memulai proyek-proyek yang dibutuhkan di 2016, tahun ini sudah di

proses, seperti Jawa Tengah, 2x1000 MW, itu kan masuknya 2016. Hal ini

kami siapkan dari sekarang supaya nanti tidak ada lagi defisit listrik.



Kemudian kami juga siapkan kabel bawah laut Sumatera-Jawa, kapasitas 3

ribu MW, dilelang tahun depan dan operasi 2016. Makanya saya sangat

optimis sekali ekonomi kita saat ini tumbuh 6 persen, wah indah sekali.

Dan jangan khawatir, insya Allah listrik cukup, dan bahkan kami sudah

bikin rencana untuk ekspor.



Apa alasan PLN mau ekspor listrik?

Malaysia sekarang itu lagi menderita soal listrik karena ada pembangkit

listrik tenaga gas sebesar 5.000 MW yang gasnya mengalami penurunan pasokan.



Malaysia punya 12.000 MW, tiba-tiba 5.000 MW tidak bisa beroperasi.

Gasnya kurang. Dari sumurnya tiba-tiba habis. Empat tahun habis lebih

awal. Mereka datang ke PLN, boleh kami impor dari Indonesia? Langsung

kami sambut, ekspor listrik kan cakep, macam-macam dengan Indonesia,

kami cabut...hahaha.



Namun, ada juga orang yang sinis, listrik di Indonesia belum cukup kok

sudah ekspor. Kita lihat kapan ekspornya, kan nanti, 2017. Namun supaya

terjadi...ya sekarang bikinnya. Kontraknya harus tahun ini dibikin.

Karena masa kontraknya empat tahun untuk merealisasikan ekspor listrik

dalam jumlah besar.



http://us.fokus.vivanews.com/news/read/315375--kami-bisa-sediakan-listrik-tak-bersubsidi-



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.