Rabu, 23 Mei 2012

[Koran-Digital] Menyingkap Topeng Bank Asing

Perlu ada pengaturan agar bank asing masuk ke sektor selain mikro dan konsumen.

DI era globalisasi se perti sekarang uang dan modal seolah ti dak berkewarganegaraan, masuk dan keluar tan pa batas, seperti halnya di perbankan. Dalam kondisi seperti itu sulit untuk membedakan apakah sebuah bank berstatus lokal atau asing.

Karena itu, diperlukan upaya lebih keras bagi sebuah negara untuk melindungi sektor perbankannya dari serbuan asing. Bank Indonesia (BI) sebagai regulator harus lebih jeli dalam memutuskan kebijakan.
Bank-bank swasta yang saat ini berstatus swasta nasional tapi dimiliki asing perlu direklasifikasi sebagai bank asing atau campuran.

“Bank swasta nasional milik asing itu kan oxymoron, saling bertentangan. Nasional tapi milik asing. Seharusnya dimasukkan dalam koridor yang benar, masuk bank campuran atau bank asing,“ papar Chief Financial Analyst Katadata Lin Che Wei di Jakarta, Selasa (22/5).

Dia menilai reklasifikasi harus dilakukan bersamaan dengan pemberlakuan aturan izin berlapis (multiple license). Perlu adanya pengaturan agar bank asing masuk ke sektor selain mikro dan konsumen. “Kalau tidak diatur, bank pasti akan mencari yang paling menguntungkan, sedangkan infrastruktur, manufaktur tidak ada yang masuk,“ kata Che Wei.

Hal itu dibuktikan dengan data 2011 yang memperlihatkan porsi kredit konsumer milik asing seperti Bank Danamon mencapai 48%, di Bank CIMB Niaga 30%, dan BII 35%.
Adapun bank BUMN, sebagai pembanding, lebih banyak memberikan kredit produktif dengan persentase kredit konsumer hanya 15% di Bank Mandiri dan 21% di BNI.

Bank-bank milik asing, menurut analisis Che Wei, telah semakin mendominasi pasar. Pada 1998 sampai 2004, ketika kepemilikan asing di bank-bank dibuka, pangsa aset bank milik asing hanya 16% dan kemudian tumbuh menjadi 21% di 2011. Di sisi lain, pangsa aset bank swasta nasional yang dimiliki lokal turun dari 42% di 1998 ke 22% pada 2011. Begitu pula pangsa aset bank BUMN yang terus tergerus, dari 44% (1998) menjadi 35% (2011) (lihat grafik).

Membesarkan sebuah bank tentunya membutuhkan modal besar. Itu yang tidak dimiliki pemain lokal. Sebagai perbandingan, HSBC Holdings pemilik Bank Ekonomi mempunyai modal US$166,1 miliar (Rp1.495 triliun). Grup DBS yang hendak mengakuisisi Bank Danamon memiliki modal US$26,3 miliar (Rp237 triliun). Bandingkan dengan Bank Mandiri, modalnya hanya US$6,7 miliar (Rp60 triliun). Kondisi itu disebut Che Wei sebagai unequal playing field. Direktur Eksekutif Katadata Metta Dharmasaputra menambahkan, reklasifikasi dan izin berlapis perlu dilakukan sesegera mungkin. Kebutuhan tersebut terasa menjepit karena kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk membuka pasar sudah di depan mata.

“Ini kesempatan emas mulai menggunakan kesempatan ini agar pemerintah memperkuat bank BUMN dan membuka lowongan untuk local entrepreneur masuk.“

Bank BUMN Sementara itu, Che Wei mengingatkan perlunya komitmen politik untuk memperkuat bank BUMN. Bank BUMN merupakan tulang punggung pembiayaan kebutuhan dasar negara, misalnya infrastruktur dan industri.
Kebutuhan tambahan modal bank BUMN perlu disikapi serius oleh pemerintah.

“Daripada tidak bisa menggunakan dana optimal untuk pembangunan, injeksi modal ke bank saja karena bank di Indonesia sudah pasti menguntungkan,“ cetusnya.

Ia memprediksi kepemilikan pemerintah di bank-bank BUMN akan tergerus sampai level batas minimal yakni 51%. Bank pertama yang akan tergerus porsi pemerintahnya ialah BRI dalam tiga tahun dari saat ini 56,8%. Untuk BNI dan Mandiri dalam 6-7 tahun dari saat ini 60%. Adapun BTN akan menyentuh level 51% dari saat ini 71,9% dalam 7-10 tahun. (E-5)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/24/ArticleHtmls/Menyingkap-Topeng-Bank-Asing-24052012018003.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.