Selasa, 22 Mei 2012

[Koran-Digital] ICHSANUDDIN NOORSY: BBM dan Keberpihakan

BBM dan Keberpihakan PDF Print

Wednesday, 23 May 2012

Dua pekan terakhir ini saya disibukkan oleh pertemuan dengan kalangan

kampus negeri maupun swasta dan lingkungan pebisnis. Kalangan kampus

ingin mengetahui lebih dalam argumen akademik kenapa saya menolak

kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).





Sementara dengan pebisnis yang muncul adalah bagaimana mengantisipasi

ketidakpastian harga BBM yang diikuti dengan kenaikan harga-harga.

Secara proporsional, saya mengajukan tiga argumentasi: Pertama,

bagaimana ekonomi konstitusi mengamanatkan soal energi.Kedua, bagaimana

energi merupakan hajat hidup orang banyak. Ketiga, bagaimana kondisi

APBN-P yang sebenarnya.



Secara umum orang mengetahui bahwa Pasal 33 mengamanatkan agar

cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang

banyak harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya bagi

kemakmuran rakyat. Dari amanat ekonomi konstitusi ini,mustahil melepas

harga energi merujuk pada mekanisme pasar.



Kendati demikian,Perpres 5/2006, Blueprint BPH Migas 2004-2020,

Blueprint BP Migas 2006-2025,dan permintaan Sekjen OECD Angel Guria pada

1 November 2010 menunjukkan bahwa Indonesia patut memenuhi komitmennya

mencabut subsidi BBM.Pencabutan subsidi BBM ini sama dengan

memberlakukan mekanisme pasar pada sektor energi. Komitmen ini tentu

saja juga sudah dituangkan lebih dulu dalam Letter of Intent 1998-1999

saat IMF mengarahkan reformasi ekonomi Indonesia.



Selanjutnya USAID, Bank Dunia, dan ADB mengaplikasikan lebih lanjut

jalan menuju liberalisasi sektor energi yang dituangkan dalam UU No

22/2001 tentang Migas. Dalam gugatan judicial review, Mahkamah

Konstitusi kemudian antara lain membatalkan Pasal 28 ayat (2): Harga

bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme

persaingan usaha yang sehat dan wajar.



Persoalannya, mana yang lebih realistis dan memiliki daya desak untuk

berlaku,ekonomi konstitusi atau anjuran kuat (strong recommendation)

pihak asing yang menghendaki berlakunya mekanisme pasar di sektor energi

? Sikap saya adalah menegakkan ekonomi konstitusi.



Soal kedua, energi sebagai hajat hidup orang banyak berhadapan dengan

fakta: di satu sisi produksi minyak mentah dan minyak olahan yang tidak

mencukupi kebutuhan domestik, di sisi lain harga minyak internasional

selalu berfluktuasi di tengah Indonesia membutuhkan impor minyak dan

menganut rezim nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate).



Sebagai hajat hidup orang banyak, energi disediakan negara kepada warga

negaranya tanpa membedakan kaya dan miskin,serta jauh dan dekat dengan

pusat produksi dengan harga terjangkau. Di era Soeharto,kesamaan harga

energi dan sembako di seluruh wilayah Nusantara adalah alat politik

untuk menyatukan Indonesia.



Di Era Reformasi dengan prinsip mekanisme pasar bebasnya, harga

komoditas apa pun bergantung pada hukum penawaran dan permintaan.

Pemerintah dilarang mendistorsi pasar.Kebijakan yang mendistorsi pasar

akan mengakibatkan pasar tidak efisien, kata pendekar-pendekar mekanisme

pasar bebas.



Public Goods



Menghadapi fakta seperti ini, saya menjawab undangan pemerintah dengan

argumen tentang kebutuhan perhitungan secara logis, rasional, dapat

diandalkan dan diaudit berapa biaya perkiraan sendiri (owner estimate

cost) atas produksi minyak Indonesia.Juga berapa biaya perkiraan impor

atas minyak yang diimpor. Dua perhitungan akan menghasilkan harga

campuran (mixing price).



Konsep ini saya sampaikan pula kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI

pada 12 Maret 2012 saat saya diundang menjadi narasumber.Anggota DPR

yang di Banggar pun menanyakan hal itu kepada pemerintah.

Menyedihkannya, pemerintah tidak pernah menjawab dengan baik. Pemerintah

hanya menyandarkan diri pada harga MOPS ditambah Alpha (sebagai margin

keuntungan yang hendak dicapai).



Padahal argumen dan analisis saya bermaksud mengubah pemahaman bahwa

energi tidak lagi sepenuhnya sebagai hajat hidup orang banyak (public

goods), lalu dengan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan nasional

justru menjadi kuasi hajat hidup orang banyak (quasi public

goods).Perubahan pemahaman ini tentu sepenuhnya tidak membenarkan bahwa

energi harus tunduk pada mekanisme pasar karena sudah menjadi commercial

goods.



Perubahan pemahaman ini pun harus diikuti dengan strategi menghentikan

dikte kartel industri minyak sehingga kedaulatan energi nasional

terwujud. Menyangkut soal APBN yang akan jebol dan pentingnya

menyelamatkan ekonomi nasional, saya mempunyai tiga alasan yakni subsidi

BBM sebesar Rp138 triliun (dibulatkan) sama dengan 1,85% terhadap

PDB.Jika termasuk subsidi untuk listrik Rp93,05 triliun, jumlahnya

menjadi 3,17% terhadap PDB.



Angka 3,17% terhadap PDB inilah yang ditakutkan oleh pemerintah karena

melanggar UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi defisit

hanya sampai 3%. Dalam APBNP 2012 dengan subsidi BBM sebesar 1,85%

terhadap PDB pernah dialami pada 2006, bahkan lebih kecil dibanding APBN

2007 (2,1% terhadap PDB) dan APBN 2008 (2,8% terhadap PDB).



Karena menjadi 3,17% terhadap PDB saat ditambah dengan subsidi listrik,

perlu ada penggunaan energi primer unggulan pada satu daerah untuk

pembangkit listrik sekaligus merupakan aplikasi diversifikasi energi.

Pulau Jawa yang kaya dengan panas bumi harus menggunakan panas bumi.

Sumatera yang kaya dengan gas, patut menggunakan gas untuk pembangkit

listriknya.



Demikian juga dengan pulau-pulau lainnya. Bersamaan dengan itu,konversi

penggunaan premium ke gas disiapkan secara sungguh. Janji-janji

pemerintah yang pernah disampaikan saat kenaikan BBM pada 2005 dan 2008

diwujudkan. Lalu pemerintah dengan tegas menyatakan, harga BBM tidak

naik karena harga minyak dunia pun sudah turun. Sementara pengelolaan

energi nasional terus ditingkatkan dengan mengurangi ketergantungan pada

investasi asing.



Sedangkan dilihat dari sudut penerimaan dan belanja migas, APBN-P 2012

menunjukkan sekitar surplus Rp40,71 triliun. Karena ingin memenuhi

komitmen, sinyal yang dikirim ke masyarakat pun adalah kenaikan harga

BBM.Inilah yang membuat produsen mengambil keputusan sendiri yakni

menaikkan harga hingga 10–25%.



Kondisi ini menggambarkan rendahnya kualitas kebijakan pemerintah dan

rusaknya suasana saling percaya. Kini kebutuhannya adalah sikap tegas,

kepada siapa pemerintah berpihak? ● DR ICHSANUDDIN NOORSY Ekonom



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/497158/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.