Mengharap Kedaulatan Migas PDF Print
Wednesday, 16 May 2012
Presiden Argentina Cristina Fernández Kirchner menasionalisasi saham
milik Repsol (Spanyol) di perusahaan minyak Yacimientos Petroliferos
Fiscales (YPF) pada 16 April 2012.
Sekitar 5 tahun lalu Presiden Hugo Chavez menasionalisasi sejumlah
perusahaan pada berbagai industri strategis di Venezuela.Presiden
Bolivia Evo Morales mengikuti langkah Chavez dan Kirchner
menasionalisasi jaringan transmisi listrik milik Transportadora de
Electricidad (TdE) Spanyol pada peringatan Hari Buruh Internasional 1
Mei 2012. Langkah nasionalisasi ketiga presiden disambut baik berbagai
kalangan di Indonesia.
Tidak sedikit pula yang berharap pemerintah melakukan hal yang sama.
Namun, merujuk pada sikap Pemerintah RI sejak aksi Chavez di 2007 dan
kapasitas pemimpin yang ada,keinginan tersebut tampaknya sulit terwujud.
Jangankan melakukan nasionalisasi, berencana saja pun tampaknya tidak
terpikirkan. Lantas langkah apakah yang realistis bagi Indonesia?
Latar Belakang Nasionalisasi
Chavez menasionalisasi perusahaan asing pada sektorsektor migas,
keuangan, tambang mineral, telekomunikasi, listrik, dll, dalam rangka
mendapatkan kontrol dan peningkatan pendapatan negara guna
menyejahterakan rakyat miskin. Asing sangat mendominasi sektor strategis
Venzuela dan karenanya Chvez memimpin langsung program nasionalisasi.
Chavez memulai dengan mengubah konstitusi Venezuela dan bersama
parlemen, hal itu dilanjutkan dengan penetapan berbagai peraturan
operasional yang relevan. Salah satu perusahaan yang dinasionalisasi
adalah Exxon yang mengoperasikan blok migas Cerro Negro, Venezuela.
Exxon menggugat ke arbitrase internasional pada akhir 2007 dengan klaim
ganti rugi USD7 miliar. Tuntutan ini didasarkan pada nilai pasar (market
value) jika seluruh cadangan minyak dieksploitasi.
Adapun Venezuela bersedia memberikan ganti rugi sesuai dengan nilai buku
(book value), yakni total dana yang telah dikeluarkan sampai saat
nasionalisasi. Gugatan Exxon ini dianggap sangat berlebihan,arogan,dan
di luar akal sehat. Setelah 4 tahun proses persidangan, Venezuela
menang. Hakim arbitrase memutuskan perusahaan yang dinasionalisasi hanya
dibayar ganti rugi sesuai dengan nilai buku. Karenanya, Venezuela hanya
wajib membayar sekitar USD908 juta.
Langkah nasionalisasi, hak legal melakukan expropriation, "mengambil
alih aset demi kepentingan publik" ternyata berhasil mengalahkan
argumentasi keharusan "penghormatan kesucian kontrak", contract
sanctity, yang sering diusung dan diancamkan oleh investor asing
sebagaimana dilakukan Exxon. Kirchner menasionalisasi Repsol karena
ingin mengontrol usaha migas, meningkatkan penerimaan negara yang
berutang besar,mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, dan memulihkan
kontrol negara.
Repsol dianggap telah menyebabkan krisis energi domestik karena
mengekspor minyak terlalu banyak, gagal berinvestasi,dan membayar
dividen besar ke luar negeri.Faktanya, sekitar 1/3 minyak produksi YPF
diekspor ke AS, 1/3 diekspor ke Cile, dan 27% ke China. Karena minimnya
kilang (refinery) yang dimiliki, Argentina terpaksa mengimpor BBM dalam
jumlah besar, dari minyak yang tadinya diekspor.
Kirchner juga sangat terusik dengan sikap Repsol yang melecehkan
kedaulatan Argentina karena beberapa tahun terakhir, Repsol aktif
bernegosiasi guna menjual sahamnya di YPF kepada Sinopec (China) tanpa
sepengetahuan Pemerintah Argentina. Karena itu, kesepakatan dengan
Sinopec yang hampir tercapai akhirnya gagal. Kebijakan nasionalisasi
Kirchner disetujui oleh 63 dari 70 anggota Senat Argentina pada 26 April
2012 dan ditetapkan menjadi UU oleh DPR Argentina (207 lawan 32 anggota)
pada 3 Mei 2012. Nasionalisasi TdE oleh Morales disebabkan minimnya
investasi perusahaan itu di Bolivia.
Morales mengatakan nasionalisasi TdE bertujuan menghormati rakyat
Bolivia yang telah berjuang memulihkan sumber daya alam dan layanan
dasar. Dia mengatakan, hanya USD81 juta atau sekitar Rp745 miliar yang
diinvestasikan TdE di jaringan listrik Bolivia sejak diswastakan tahun
1997.Padahal, pemerintah telah menanamkan modal sebesar USD220 juta
sebelum dijual kepada TdE, pihak yang akhirnya mengambil keuntungan.
Prospek Indonesia
Langkah nasionalisasi seperti dilakukan Chavez,Kirchner, dan Morales
tampaknya terlalu ideal sekaligus utopis bagi Indonesia. Meskipun pihak
asing dan swasta dominan di sektor migas (sekitar 83%) atau minerba
(sekitar 85%) serta pendapatan negara dari keduanya masih jauh lebih
rendah dari seharusnya, tampaknya nasionalisasi tidak akan terjadi.
Karena itu, rakyat Indonesia harus berhenti berharap dan mulai berpikir
realistis.
Pada sektor minerba, langkah realistis yang dapat dilakukan adalah
menuntaskan proses renegosiasi dalam waktu singkat.Perbaikan akan
diperoleh jika pemerintah berhasil mengubah kontrak karya (KK) tambang
mineral dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B)
konsisten dan sesuai dengan perintah UU No 4/2009 dan PP No
9/2012.Adapun pada sektor migas,pemerintah diharapkan tidak
memperpanjang kontrak-kontrak yang habis masa berlakunya seperti diatur
dalam UU No 22/2001 dan PP No 35/2004.
Di samping landasan ideologis Pasal 33 UUD 1945, landasan hukum yang
menjamin sahnya pemutusan kontrak yang berakhir masa berlakunya adalah
Pasal 2 UU No.22/2001 dan Pasal 28 PP No.35/2004.Dengan itu, terbuka
kesempatan bagi Indonesia untuk membesarkan BUMN/Pertamina dan
menegakkan kedaulatan migas nasional tanpa nasionalisasi.
Dalam waktu 6 tahun ke depan hingga 2018, terdapat puluhan kontrak migas
(PSCJOA) yang akan berakhir.Blokblok dimaksud antara lain Siak (Chevron,
2013), Mahakam (Total, 2017), South Sumatra, SES (CNOOC,2018),South
Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018), East Kalimantan (Chevron, 2017),
Sanga-sanga (Virginia, 2018),Lho Sukon B (Exxon,
2017),Corridor,Bertak,dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016), Onshore
Salawati Basin (PetroChina,2016),dan Arun B (Exxon,2017).
Hampir seluruh blok tersebut masih menyimpan cadangan besar meskipun
telah dikelola asing sejak 1970- an. Venezuela,Argentina, dan Bolivia
melakukan nasionalisasi demi kedaulatan, kontrol, dan penanggulangan
kemiskinan. Kebijakan tersebut telah mendapat dukungan pula dai parlemen
negara masingmasing. Dengan kondisi yang lebih parah dibandingkan ketiga
negara,Indonesia sebenarnya jauh lebih relevan untuk melakukan
nasionalisasi.
Namun dengan kapasitas, komitmen, dan keberanian pejabat pemerintah yang
ada serta tidak jelasnya sikap keberpihakan DPR RI,rakyat maklum
nasionalisasi hampir tidak mungkin terjadi.Rakyat hanya berharap
tindakan yang lebih moderat dari itu, yaitu agar kontrak-kontrak migas
yang akan berakhir tidak diperpanjang. Apakah untuk hal ini pun
pemerintah tak mampu dan DPR tidak peduli?
MARWAN BATUBARA
Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/495225/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.