Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] MARWAN BATUBARA: Mengharap Kedaulatan Migas

Mengharap Kedaulatan Migas PDF Print

Wednesday, 16 May 2012

Presiden Argentina Cristina Fernández Kirchner menasionalisasi saham

milik Repsol (Spanyol) di perusahaan minyak Yacimientos Petroliferos

Fiscales (YPF) pada 16 April 2012.





Sekitar 5 tahun lalu Presiden Hugo Chavez menasionalisasi sejumlah

perusahaan pada berbagai industri strategis di Venezuela.Presiden

Bolivia Evo Morales mengikuti langkah Chavez dan Kirchner

menasionalisasi jaringan transmisi listrik milik Transportadora de

Electricidad (TdE) Spanyol pada peringatan Hari Buruh Internasional 1

Mei 2012. Langkah nasionalisasi ketiga presiden disambut baik berbagai

kalangan di Indonesia.



Tidak sedikit pula yang berharap pemerintah melakukan hal yang sama.

Namun, merujuk pada sikap Pemerintah RI sejak aksi Chavez di 2007 dan

kapasitas pemimpin yang ada,keinginan tersebut tampaknya sulit terwujud.

Jangankan melakukan nasionalisasi, berencana saja pun tampaknya tidak

terpikirkan. Lantas langkah apakah yang realistis bagi Indonesia?



Latar Belakang Nasionalisasi



Chavez menasionalisasi perusahaan asing pada sektorsektor migas,

keuangan, tambang mineral, telekomunikasi, listrik, dll, dalam rangka

mendapatkan kontrol dan peningkatan pendapatan negara guna

menyejahterakan rakyat miskin. Asing sangat mendominasi sektor strategis

Venzuela dan karenanya Chvez memimpin langsung program nasionalisasi.



Chavez memulai dengan mengubah konstitusi Venezuela dan bersama

parlemen, hal itu dilanjutkan dengan penetapan berbagai peraturan

operasional yang relevan. Salah satu perusahaan yang dinasionalisasi

adalah Exxon yang mengoperasikan blok migas Cerro Negro, Venezuela.

Exxon menggugat ke arbitrase internasional pada akhir 2007 dengan klaim

ganti rugi USD7 miliar. Tuntutan ini didasarkan pada nilai pasar (market

value) jika seluruh cadangan minyak dieksploitasi.



Adapun Venezuela bersedia memberikan ganti rugi sesuai dengan nilai buku

(book value), yakni total dana yang telah dikeluarkan sampai saat

nasionalisasi. Gugatan Exxon ini dianggap sangat berlebihan,arogan,dan

di luar akal sehat. Setelah 4 tahun proses persidangan, Venezuela

menang. Hakim arbitrase memutuskan perusahaan yang dinasionalisasi hanya

dibayar ganti rugi sesuai dengan nilai buku. Karenanya, Venezuela hanya

wajib membayar sekitar USD908 juta.



Langkah nasionalisasi, hak legal melakukan expropriation, "mengambil

alih aset demi kepentingan publik" ternyata berhasil mengalahkan

argumentasi keharusan "penghormatan kesucian kontrak", contract

sanctity, yang sering diusung dan diancamkan oleh investor asing

sebagaimana dilakukan Exxon. Kirchner menasionalisasi Repsol karena

ingin mengontrol usaha migas, meningkatkan penerimaan negara yang

berutang besar,mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, dan memulihkan

kontrol negara.



Repsol dianggap telah menyebabkan krisis energi domestik karena

mengekspor minyak terlalu banyak, gagal berinvestasi,dan membayar

dividen besar ke luar negeri.Faktanya, sekitar 1/3 minyak produksi YPF

diekspor ke AS, 1/3 diekspor ke Cile, dan 27% ke China. Karena minimnya

kilang (refinery) yang dimiliki, Argentina terpaksa mengimpor BBM dalam

jumlah besar, dari minyak yang tadinya diekspor.



Kirchner juga sangat terusik dengan sikap Repsol yang melecehkan

kedaulatan Argentina karena beberapa tahun terakhir, Repsol aktif

bernegosiasi guna menjual sahamnya di YPF kepada Sinopec (China) tanpa

sepengetahuan Pemerintah Argentina. Karena itu, kesepakatan dengan

Sinopec yang hampir tercapai akhirnya gagal. Kebijakan nasionalisasi

Kirchner disetujui oleh 63 dari 70 anggota Senat Argentina pada 26 April

2012 dan ditetapkan menjadi UU oleh DPR Argentina (207 lawan 32 anggota)

pada 3 Mei 2012. Nasionalisasi TdE oleh Morales disebabkan minimnya

investasi perusahaan itu di Bolivia.



Morales mengatakan nasionalisasi TdE bertujuan menghormati rakyat

Bolivia yang telah berjuang memulihkan sumber daya alam dan layanan

dasar. Dia mengatakan, hanya USD81 juta atau sekitar Rp745 miliar yang

diinvestasikan TdE di jaringan listrik Bolivia sejak diswastakan tahun

1997.Padahal, pemerintah telah menanamkan modal sebesar USD220 juta

sebelum dijual kepada TdE, pihak yang akhirnya mengambil keuntungan.



Prospek Indonesia



Langkah nasionalisasi seperti dilakukan Chavez,Kirchner, dan Morales

tampaknya terlalu ideal sekaligus utopis bagi Indonesia. Meskipun pihak

asing dan swasta dominan di sektor migas (sekitar 83%) atau minerba

(sekitar 85%) serta pendapatan negara dari keduanya masih jauh lebih

rendah dari seharusnya, tampaknya nasionalisasi tidak akan terjadi.

Karena itu, rakyat Indonesia harus berhenti berharap dan mulai berpikir

realistis.



Pada sektor minerba, langkah realistis yang dapat dilakukan adalah

menuntaskan proses renegosiasi dalam waktu singkat.Perbaikan akan

diperoleh jika pemerintah berhasil mengubah kontrak karya (KK) tambang

mineral dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B)

konsisten dan sesuai dengan perintah UU No 4/2009 dan PP No

9/2012.Adapun pada sektor migas,pemerintah diharapkan tidak

memperpanjang kontrak-kontrak yang habis masa berlakunya seperti diatur

dalam UU No 22/2001 dan PP No 35/2004.



Di samping landasan ideologis Pasal 33 UUD 1945, landasan hukum yang

menjamin sahnya pemutusan kontrak yang berakhir masa berlakunya adalah

Pasal 2 UU No.22/2001 dan Pasal 28 PP No.35/2004.Dengan itu, terbuka

kesempatan bagi Indonesia untuk membesarkan BUMN/Pertamina dan

menegakkan kedaulatan migas nasional tanpa nasionalisasi.



Dalam waktu 6 tahun ke depan hingga 2018, terdapat puluhan kontrak migas

(PSCJOA) yang akan berakhir.Blokblok dimaksud antara lain Siak (Chevron,

2013), Mahakam (Total, 2017), South Sumatra, SES (CNOOC,2018),South

Natuna Sea B (Conoco-Phillips, 2018), East Kalimantan (Chevron, 2017),

Sanga-sanga (Virginia, 2018),Lho Sukon B (Exxon,

2017),Corridor,Bertak,dan Bijak Ripah (Conoco-Phillips, 2016), Onshore

Salawati Basin (PetroChina,2016),dan Arun B (Exxon,2017).



Hampir seluruh blok tersebut masih menyimpan cadangan besar meskipun

telah dikelola asing sejak 1970- an. Venezuela,Argentina, dan Bolivia

melakukan nasionalisasi demi kedaulatan, kontrol, dan penanggulangan

kemiskinan. Kebijakan tersebut telah mendapat dukungan pula dai parlemen

negara masingmasing. Dengan kondisi yang lebih parah dibandingkan ketiga

negara,Indonesia sebenarnya jauh lebih relevan untuk melakukan

nasionalisasi.



Namun dengan kapasitas, komitmen, dan keberanian pejabat pemerintah yang

ada serta tidak jelasnya sikap keberpihakan DPR RI,rakyat maklum

nasionalisasi hampir tidak mungkin terjadi.Rakyat hanya berharap

tindakan yang lebih moderat dari itu, yaitu agar kontrak-kontrak migas

yang akan berakhir tidak diperpanjang. Apakah untuk hal ini pun

pemerintah tak mampu dan DPR tidak peduli? 



MARWAN BATUBARA

Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS)



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/495225/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.