Senin, 21 Mei 2012

[Koran-Digital] DENNY INDRAYANA: Jangan Pecat Gubernur Korupsi

Jangan Pecat Gubernur Korupsi PDF Print

Tuesday, 22 May 2012

Tidak boleh ada toleransi terhadap korupsi. Karena itu, terpidana

korupsi berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap harus

berhenti menjadi pejabat negara.Itu logika dasar. Itu aturan normal.





Itu cara berpikir sehat. Dengan begitu, aturan perundangan pasca-Era

Reformasi rata-rata mengatur: jika pejabat negara menjadi terdakwa

korupsi, dia diberhentikan sementara. Selanjutnya, jika sang pejabat

dinyatakan korupsi dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, ia

diberhentikan permanen.Begitu berkekuatan hukum tetap, vonis itu

dieksekusi. Artinya sang pejabat akan menjadi penghuni lembaga

pemasyarakatan.



Logika sehat mengatakan, tidak patut, tidak pantas, dan tidak normal

jika ada terpidana korupsi masih menjadi pejabat negara dari penjara. UU

Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 6/2005 tentang pemberhentian kepala

daerah mengatur prinsip hukum yang sama. Jika gubernur, bupati, dan wali

kota menjadi terdakwa kasus korupsi, dia diberhentikan sementara.

Sedangkan ketika yang bersangkutan menjadi terpidana korupsi, dengan

keputusan yang berkekuatan hukum tetap, dia diberhentikan tetap selaku

kepala daerah.



Pikiran normal akan menolak, gubernur, bupati, dan wali kota masih

menjabat (meskipun nonaktif) dari penjara. Hasrat ingin tetap menjadi

gubernur (meskipun nonaktif) dari penjara itulah yang disampaikan

Agusrin M Najamuddin melalui kuasa hukumnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra.



Paling tidak ada tiga argumen yang dikemukakan: karena masih mengajukan

peninjauan kembali; karena ancaman hukumannya tidak minimal lima tahun;

dan karena pemberhentian tetap gubernur tidak diatur dalam UU,tetapi di

dalam PP yang bertentangan dengan UU Pemda.Atas ketiga argumen tersebut,

berikut saya sampaikan penjelasan, agar publik lebih mengerti,kenapa

pemerintah memutuskan memberhentikan Agusrin selaku gubernur Bengkulu.



Peninjauan Kembali Tidak Menunda Eksekusi



Argumen bahwa Agusrin tidak boleh diberhentikan tetap, karena masih

mengajukan peninjauan kembali, bertentangan dengan UU Pemda dan KUHAP.

UU Pemda dan PP terkait mengatur gubernur diberhentikan tetap ketika

telah divonis korupsi dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam

kasus Agusrin, dengan vonis kasasi di MA, yang mengatakan dia terbukti

korupsi, putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan karena itu Agusrin

diberhentikan.



Saat berkoordinasi dengan MA,Kemendagri mendapatkan penjelasan (lagi)

bahwa kepala daerah yang telah diputus kasasi bersalah segera

diberhentikan karena proses PK tidak dapat dijadikan dasar untuk menunda

eksekusi. Hal mana telah secara jelas diatur dalam Pasal 268 ayat (1)

KUHAP bahwa, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak

menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut."



Ancaman Hukuman Minimal Lima Tahun



Diargumenkan bahwa Agusrin tidak dapat diberhentikan tetap karena

ancaman hukumannya tidak memenuhi syarat paling sedikit lima tahun

penjara.Argumen demikian adalah pemahaman yang keliru dan menyesatkan.

Saya sudah berkonsultasi dengan para pakar dan guru besar pidana yang

dengan jelas mengatakan bahwa ancaman hukuman pidana dalam kasus korupsi

telah memenuhi syarat minimal pemberhentian kepala daerah yang terbukti

melakukan korupsi.



Interpretasi yang dibangun Agusrin dan kuasa hukumnya bukan saja keliru,

melainkan juga sangat berbahaya. Jika pemahaman mereka yang diikuti,

tidak ada satu pun kepala daerah yang terbukti korupsi yang dapat

diberhentikan. Semua masih akan menjadi kepala daerah aktif dari balik

penjara. UU Tipikor memang menjelaskan ancaman hukuman minimal paling

tingginya adalah empat tahun penjara. Maka itu, pemaknaan yang

menyesatkan, dan membiarkan kepala daerah korup tetap menjabat dari

balik terali besi, tentu saja wajib ditolak.



Terlebih jika membaca UU Pemda dan PP terkaitnya,pemberhentian kepala

daerah sebenarnya dengan jelas diatur, dan tidak terkait dengan ancaman

hukuman paling sedikit lima tahun.Pasal 127 PP 6/2005 dengan jelas

mengatur bahwa kepala daerah diberhentikan oleh presiden karena

melakukan korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap.



PP Tidak Bertentangan dengan UU



Terkait dengan Pasal 127 tersebut,Agusrin dan Profesor Yusril

mengatakan, PP itu bertentangan dengan UU Pemda sehingga tidak berlaku.

Pendapat demikian sekali lagi keliru. PP 6/2005 tidak bertentangan

dengan UU Pemda.PP demikian justru saling mengisi dan melengkapi UU

Pemda.Kalaupun benar PP itu bertentangan— padahal tidak, tidak

serta-merta pendapat Profesor Yusril bisa menyebabkan PP tersebut

menjadi tidak berlaku.



Ketidakberlakuan suatu norma dalam PP hanya dapat dibatalkan berdasarkan

putusan MA, yang mempunyai kewenangan pengujian PP atas UU.Maka itu,

selama PP itu tidak pernah dibatalkan oleh MA, PP 6/2005 tetap sah

sebagai sumber hukum yang mengikat. Apalagi, PP 6/2005 itu dikeluarkan

di masa Profesor Yusril menjabat selaku menteri sekretaris negara, yang

semestinya ikut terlibat dan ikut menyetujui proses penyusunan dan

pemberlakuan PP tersebut.



PTUN Bukan Benteng Pertahanan



Saya menghormati PTUN. Saya juga menyarankan penetapan PTUN terkait

penundaan pelantikan wagub menjadi gubernur definitif untuk

dilaksanakan. Meskipun penetapan itu dilakukan superkilat karena gugatan

tanggal 14 dan penetapan pada hari yang sama. Meskipun penetapan

tersebut tanpa pemberitahuan yang sah kepada para tergugat. Namun, saya

tetap menyarankan penetapan itu dihormati dan dilaksanakan.



Penghormatan itu pula yang menyebabkan saya tidak rela kewibawaan PTUN

dimanfaatkan untuk menjadi benteng pertahanan kepala daerah korup yang

telah dipenjara untuk mempertahankan posisinya sebagai

gubernur,bupati,atau wali kota. Saya meyakini, majelis hakim PTUN yang

terhormat tentu paham bahwa keppres pemberhentian Agusrin selaku

gubernur Bengkulu dan keppres pengangkatan wagubnya menjadi gubernur

adalah pelaksanaan dari UU Pemda dan PP 6/2005.



Menjadi aneh, dan menimbulkan komplikasi serius, jika putusan pidana

yang sudah dijatuhkan MA, dan dilaksanakan oleh Presiden SBY dengan

pemberhentian sesuai UU Pemda, justru dibatalkan oleh PTUN yang berada

dibawah MA.Masing-masing wilayah peradilan mestinya saling menghargai

dan menghormati.Artinya, putusan peradilan pidana korupsi sebaiknya

tidak dinihilkan oleh peradilan tata usaha negara.



Untuk itu, saya masih menaruh harapan tinggi kepada majelis hakim PTUN

yang terhormat, untuk pada akhirnya tetap memutuskan sesuai dengan vonis

peradilan pidana korupsi di MA, yang telah berkekuatan hukum tetap.

Akhirnya, tentu saja ada yang berpendapat, adalah hak setiap orang untuk

memperjuangkan kepentingan hukumnya. Tetapi, menurut saya, kepentingan

itu tetap harus dinilai secara nurani dan akal sehat. Jika kepentingan

itu berupa memperjuangkan posisi gubernur, padahal sudah divonis

korupsi,padahal sudah dipenjara, tentu saja perjuangan kepentingan

demikian patut dilawan.



Akal sehat tidak akan menoleransi gubernur korupsi tetap menjabat dari

balik terali besi. Jangan pecat gubernur korupsi? No way! Terus berjuang

untuk Indonesia yang lebih bersih dari korupsi. Doa and do the best.Keep

on fighting for the better Indonesia. DENNY INDRAYANA Wakil Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia,Guru Besar Hukum Tata Negara UGM



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/496867/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.