Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] AGUS M. IRKHAM: Kabar Buku di Media Massa

AGUS M. IRKHAM, KEPALA DEPARTEMEN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGURUS PUSAT FORUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT

Untuk membuka sekaligus memperluas akses masyara- kat terhadap buku, pemerin- tah melalui Perpustakaan Na- sional dan Kementerian Pen- didikan dan Kebudayaan se- cara bertahap juga tengah berikhtiar merevitalisasi kem- bali perpustakaan desa dan taman bacaan masyarakat.

Si Fulan digigit anjing, itu bukan berita. Si Fulan menggigit anjing, ini baru berita. Seloroh tentang sesuatu yang ditimbang memiliki nilai berita (value of news) tinggi itu, dalam prakteknya, sering bersulih lema menjadi: kredo penulisan berita. Sebatas amatan saya, kredo itu tidak hanya menyentuh fakta-fakta yang berkaitan dengan “hal-hal besar”, seperti persoalan politik, ekonomi, dan pertahanan-keamanan, tapi menyisir pula fakta-fakta yang tengah berlangsung di ranah (yang sering dipandang) “remehtemeh”, yaitu dunia perbukuan.

Sebagai fundamentalis pendaras berita di media massa, jarang sekali saya mendapati berita-berita yang diturunkan bertalian dengan buku, atau lebih luas lagi, tentang perkembangan budaya membaca dan menulis di Indonesia. Kalaupun ada, buku hampir selalu dihadirkan dari sisi kontroversinya, mulai segi industri, proses kreatif penulisan, gerakan membaca, helatan peluncuran dan diskusi, maupun adab pembacanya.

Buku lebih kerap dihadirkan dari sisi pias wajah antagonisnya. Bukan dari sisi kemuliaannya (noble), melainkan dari sisi kehinaannya (humility). Mulai drama praktek kurang ajar (korupsi) buku ajar, pelarangan gelaran diskusi dan penyebaran/distribusi buku kiri jauh (komunisme-marxisme) serta kanan jauh (fundamentalisme agama), pembredelan buku, kasus bom buku, isi buku Lembar Kerja Siswa sekolah dasar yang memuat frasa “istri simpanan”, keriuhan soal ditemukannya buku-buku anggitan Presiden SBY dalam paket buku bantuan, perbantahan di sekitar penerbitan buku Gurita Cikeas, hingga yang baru berlangsung awal Mei ini: pelarangan dan pembubaran diskusi buku Irshad Manji: Allah, Liberty, and Love.

Termasuk peliputan berita tentang seorang guru sekolah menengah pertama negeri di Purworejo dan Jakarta, yang ditugaskan di perpustakaan (tempat buku terhimpun) sekolah lantaran menganiaya siswa.

Dengan demikian, muncul kesan perpustakaan adalah tempat pembuangan pegawai bermasalah.

Pun isi berita tentang perkembangan budaya baca, yang sering saya baca adalah sederet data statistik yang semakin mengukuhkan simpulan bahwa budaya baca masyarakat kita rendah. Lengkap dengan beragam alasan, dari harga buku mahal, akses masyarakat terhadap buku yang sulit, jumlah judul buku baru per kapita yang masih rendah, hingga dominannya budaya berbicara dan menonton.

Dalam konteks memberikan keadilan bagi publik untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya, tentu saja fakta-fakta tersebut harus diungkap. Hanya, jika yang terus berlangsung adalah penyajian berderet wajah tidak ramah dunia perbukuan, lambat laun—disadari atau tidak, disengaja atau tidak—berjejer frame teks berita dunia buku dan baca itu akan dipandang sebagai bentuk kampanye anti-(membaca) buku.

Yang berlangsung kemudian, saat kita berbicara tentang buku dan budaya baca bangsa Indonesia, yang tebersit dalam ingatan adalah frasa-frasa bermakna suram: generasi nol buku; bangsa rabun membaca-lumpuh menulis; minat baca rendah; dan frasa gelap lainnya.

“Jangan berbicara tentang kekalahan, tapi berbicaralah tentang harapan, keyakin

an, kepercayaan, dan kemenangan,“seru Norman Vincent Peale (1898-1993). Kaitannya dengan buku dan masa depan budaya baca (dan menulis) kita, petitih penulis buku The Power of Positive Thinking yang selama 186 minggu berturut-turut menjadi buku paling laris versi New York Times itu merekomendasikan kepada kita--terutama media massa dan pegiat literasi--agar mulai lebih banyak menghadirkan perkembangan dunia perbukuan serta gerakan minat baca di Indonesia dari sisi protagonisnya, dari segi harapan dan kemenangannya.

Misalnya, dari jumlah judul buku baru yang terus bertambah. Kini tak kurang dari 2.000 judul buku baru tiap bulan terbit (Trim, 2011). Artinya, rerata per tahun sekitar 24 ribu judul buku baru. Jumlah buku yang beredar lebih dari 175 juta eksemplar.
Maka tiap satu meter persegi ruang di toko buku diperebutkan oleh 250 eksemplar buku--dengan asumsi 90 juta eksemplar didistribusikan melalui toko buku. Jumlah pembaca buku nonfiksi yang berusia 14-24 tahun (usia pencarian dan pembentukan iden titas diri) mencapai 46 persen dari total pembaca buku gagrak tersebut.

Para penulis muda, yang rata-rata berusia di bawah 35 tahun, juga terus bermunculan, baik yang meniti karier melalui jalur personal maupun komunal. Tak jarang buku mereka ada yang menembus angka penjualan puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, eksemplar—mega-bestseller. Toko buku juga tidak melulu berjualan, tapi juga menghelat acara perbukuan, mulai peluncuran buku baru, jumpa pengarang, hingga bedah buku.

Di banyak kabupaten, kota, dan ibu kota provinsi, pameran buku secara rutin digelar.

Setahun bisa lebih dari tiga kali pameran.

Para pencinta buku pun kini tidak lagi asyik dengan dirinya masing-masing, sebaliknya mereka berhimpun dalam suatu komunitas. Tidak sedikit pula dari mereka yang mendirikan taman bacaan/perpustakaan komunitas. Untuk membuka sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap buku, pemerintah melalui Perpustakaan Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara bertahap juga tengah berikhtiar merevitalisasi kembali perpustakaan desa dan taman bacaan masyarakat (TBM). Sampai Oktober 2011, tak kurang dari 19 ribu perpustakaan desa dan 6.000an TBM sudah berdiri.

Beberan temuan tentang terangnya masa depan dunia buku dan budaya baca di Indonesia tersebut dapat saya perpanjang lagi. Namun, terlepas dari itu semua, ada yang tidak boleh luput dari perhatian para pegiat literasi dan stakeholder budaya baca pada umumnya, terutama para pengelola TBM dan perpustakaan serta para pekerja buku. Mereka harus mulai ambil bagian untuk juga menentukan isi (konten) media.

Caranya dengan menulis kondisi, temuan, kegiatan, dan pencapaian yang telah diperoleh, termasuk visi terjauh yang hendak diwujudkan. Tidak hanya diam, dan menyerahkan sepenuhnya deskripsi atas kondisi, cita-cita, dan ekspektasi masing-masing diri dan lembaga pada persepsi pihak luar.

http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/05/16/ArticleHtmls/Kabar-Buku-di-Media-Massa-16052012012017.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.