Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] Ali Mustofa: Quo Vadis Keadilan

Quo Vadis Keadilan

Ali Mustofa - detikNews

Rabu, 16/05/2012 10:50 WIB

Jakarta "Al-Mulku yabqa ma'a al 'adl wa laa yabqaa 'alaa al-zhulm".

Negara akan eksis bersama keadilan dan tidak akan eksis bersama

kedzaliman. (Al-Mawardi, Adab al-Dunyaa, 142).



Pada Sabtu (12/05) kemarin, ribuan mahasiswa Trisakti berdemo untuk

memperingati Tragedi Trisakti 12 Mei. Mereka melakukan orasi tentang

tragedi yang menewaskan 4 mahasiswa Trisakti tersebut. Para mahasiswa

itu berharap supaya kasus Tragedi bisa diusut secara tuntas. (detik.com,

12/05/12).



Menurut laman Wikipedia, Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan

pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut

Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa

Universitas Trisakti Jakarta, serta puluhan lainnya luka-luka.



Sebelumnya ada sedikit asa ketika terjadi transisi pemerintahan dari

masa ordebaru ke era reformasi dalam mencita-citakan keadilan. Namun

seiring dengan berjalannya waktu, asa itu pun semakin terkikis, digerus

oleh sebungkus kepentingan oleh segelintir elit.



Konon negara ini adalah negara hukum, sebuah idiom yang layak

dipertanyakan. Kemana larinya penyelesaian kasus Tragedi Trisakti 12 Mei

yang merupakan tonggak sejarah perubahan bangsa Indonesia ini. Secuil

kasus dari sekian banyak kasus ketika keadilan sudah seperti barang mainan.



Etikad baik dari pemerintah sempat tersirat ketika presiden pernah

berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat ini. Namun janji

tinggal janji, hingga saat ini ternyata janji itu belum terpenuhi.



Tersirat ada tembok penghalang dalam penyelesaian kasus ini. Yakni

pertama: Kepentingan elit politik. Kemandegan penuntasan kasus

pelanggaran HAM berat ini disinyalir oleh sebagian pihak adalah sebagai

permainan politik.



Janji-janji pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut dinilai

hanya untuk meningkatkan posisi tawar, pemerintah tidak mau posisinya

terjepit.



Kedua, kurangnya keseriusan pemerintah. Sebagai contoh ketika DPR pada

tahun 2009 merekomendasikan pada pemerintah untuk membentuk pengadilan

HAM ad doc ternyata diabaikan.



Penyelesaiannya kasus seperti ini juga selalu terhenti di kejaksaan

agung yang notabene merupakan bawahan presiden. Institusi ini dituding

lamban dan tidak segera menindak lanjuti laporan penyidikan oleh Komnasham.



Menurut Domu, P Sihite, Direktur Penanganan Pelanggaran HAM berat di

Kejaksaan Agung, membenarkan bahwa saat ini setidaknya ada 4 berkas

kasus pelanggaran HAM berat yang diterima Kejaggung, yakni: 1. Trisakti,

Semanggi I dan Semanggi II, 2. Kerusuhan Mei 1998, 3. Penghilangan orang

secara paksa, 3. Talangsari, Lampung.



Ketiga, tersibukkan isu lain dan termakan waktu. Berbagai kasus yang

menimpa negri ini memaksa para pihak yang berkepentingan tersibukkan

dengan kasus tersebut, sehingga kasus seperti tragedi Trisakti inipun

semakin tertutupi.



Seperti halnya kasus korupsi yang memang begitu merepotkan. Tuntutan

penyelesaian dari berbagai pihak termasuk dari keluarga korban pun

kurang mendapat perhatian dari pemerintah.



Usman Hamid, Koordinator Kontras sebagaimana dalam wawancaranya dengan

pedomannews.com, mengatakan bahwa sekarang ini kondisi politik tidak

kondusif untuk membicarakan kasus-kasus penembakan mahasiswa Trisakti,

tidak seperti masih hangat-hangatnya semasa reformasi. Saat ini isunya

sudah jauh berubah.



Harus dituntaskan



Sejatinya penyelesaian kasus seperti ini amatlah penting dan krusial,

supaya di lain waktu kejadian serupa, seperti halnya penghilangan nyawa

sembarangan, penculikkan paksa, dan tindakan kriminal politis lainnya

dapat dicegah. Oleh karena itu berbagai pihak harus mendesak supaya

pemerintah segera menuntaskan kasus ini.



Kasus ini juga menunjukkan kepada kita bahwa dalam sistem sekulerisme,

ketika sebuah pemerintahan tidak menggunakan bimbimgan Wahyu sebagai

aturannya, maka faktor kepentingan yang menjadi panglima, keadilan pun

akhirnya menjadi barang langka.



\"Reformasi pada tahun ke-14 ini gagal memberikan keadilan karena

kekuasaan hanya berkiblat pada kepentingan politik,\" kata Yati

Andriyani, Kepala Divisi Pemantauan Impunita Kontras dalam konferensi

pers di Jakarta. (beritasatu.com, 12/05/12)



Kalimat diatas benar adanya, ternyata reformasi di negri ini tidak cukup

untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Baik itu keadilan hukum,

keadilan politik maupun keadilan ekonomi.



Maka sungguh, negri ini butuh perubahan yang tidak hanya setengah hati,

melainkan perubahan secara totalitas. Itulah perubahan kearah sistem

Islam melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai

khilafah. Sistem yang jelas terbukti sangat menjunjung tinggi keadilan.



Dalam sistem Islam, source of legislation adalah hukum syara'. Semua

aspek pengaturan masyarakat diatur oleh hukum yang jelas, yakni syariah

Islam, termasuk untuk mengadili berbagai permasalahan di tengah masyarakat.



Hal ini menjadikan sistem hukum Islam mandiri dari intervensi

kepentingan manusia, karena hukum datang dari Dzat yang maha pencipta

dan pengatur. Tidak seperti dalam sistem sekulerisme, hukum dibuat oleh

manusia sehingga sarat dengan kepentingan segelintir manusia pembuat

hukum itu sendiri.



Secara aplikatif, penegakkan hukumnya pun sangat eleghan, karena

didasari dengan spirit ruhiah yang begitu kental. Sejarah sudah

membuktikan hal itu. Dan sejarah itu pasti terulang. Untuk Indonesia

yang lebih adil. Wallahu a'lam.



*Penulis adalah Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)





Ali Mustofa

Gang Nusa Indah, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo

alie_jawi@yahoo.com

02717021603



http://news.detik.com/read/2012/05/16/105037/1918213/471/quo-vadis-keadilan



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.