Selasa, 08 Mei 2012

[Koran-Digital] Artritis Rematoid bukan Rematik Biasa

Karena berpotensi menyebabkan cacat permanen, penyakit ini sebaiknya dideteksi dan diobati sejak dini.

NYERI sendi merupakan ke luhan yang kerap dialami orang. Sebagian orang me nyebutnya sebagai rematik.
Secara medis, ada banyak jenis nyeri sendi. Setiap jenis memiliki penyebab yang berbeda dan tentu saja memerlukan penanganan yang berbeda pula.

Jenis yang paling dikenal masyarakat ialah rematik karena kelebihan asam urat. Penanganannya mencakup upaya-upaya mengendalikan asam urat. Ada pula osteoartritis, yakni nyeri sendi akibat menipisnya jaringan bantalan sendi. Pada tingkat lanjut, penanganannya melibatkan operasi penggantian sendi (arthroplasty).

Satu jenis nyeri sendi lainnya ialah artritis rematoid. Mungkin banyak masyarakat belum mengenalnya, sebab keberadaannya kalah populer jika dibandingkan dengan rematik asam urat.

Kondisi itu, menurut Direktur Penyakit Tidak Menular Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Ekowati Rahajeng, cukup mengkhawatirkan.

“Meski belum ada data spesifi k mengenai jumlah penderitanya, kita perlu waspada akan fenomena gunung es pada kasus artritis rematoid mengingat pengetahuan masyarakat masih minim. Banyak orang menganggap

artritis rematoid sebagai nyeri sendi biasa sehingga mereka tidak mengobatinya secara tepat sampai penyakit itu makin parah dan menurunkan kualitas hidup mereka,” ujarnya pada diskusi tentang artritis rematoid di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Gejala awal artritis rematoid memang mirip dengan rematik jenis lain, berupa nyeri, bengkak, dan kaku sendi. Umumnya itu diawali dari sendi kecil, seperti sendi-sendi jemari tangan. Meski gejalanya mirip, penyebabnya lain.

Menurut Ketua Indonesian Rheumatology Association, Prof Handono Kalim, artritis rematoid merupakan penyakit autoimun, yakni kelainan pada sistem kekebalan tubuh. Akibat kelainan itu, sendi mengalami peradangan dan rusak.

Berbeda dengan osteoporosis yang umumnya menyerang orang-orang berusia lanjut, artritis rematoid umumnya menyerang di usia produktif.

“Gejala penyakit ini umumnya mulai dirasakan di usia 35-50 tahun, bahkan bisa lebih muda,” ujar Handono.

Hal itu membuat artritis rematoid tidak bisa dipandang remeh. Terlebih, serangannya berpotensi membuat penderita cacat permanen sehingga kehilangan produktivitas. Kecacatan yang ditimbulkan artritis rematoid berupa perubahan bentuk sendi sehingga sendi kehilangan fungsi (lihat grafi k).

Jangka waktu dari gejala awal hingga timbulnya kecacatan bervariasi.

Pemeriksaan rontgen menunjukkan, dalam dua tahun pertama sesudah gejala muncul, sekitar 70% penderita mengalami kerusakan tulang. Data di negara maju pun menunjukkan, setelah lima tahun terdiagnosis, 40% penderita tidak mampu lagi bekerja secara penuh (full time). Penyakit ini juga mengurangi harapan hidup hingga 3-7 tahun.

“Semakin cepat artritis rematoid dialami seseorang, semakin besar potensi kecacatan yang terjadi,” jelas Handono.

Dampak artritis rematoid tidak berhenti pada kerusakan sendi semata. Penyakit itu juga menyebabkan komplikasi sistemis. Sebanyak 30% penderitanya mengalami anemia dan kelelahan kronis (fatigue).

Selain itu, artritis rematoid meningkatkan risiko penyakit pembuluh darah dan jantung (kardiovaskular).

Diketahui, pada penderita artritis rematoid terjadi peningkatan kadar protein plasma protein C reaktif (CRP).

Peningkatan CRP itulah yang dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.

Mengingat dampaknya yang sangat merugikan, artritis rematoid idealnya dideteksi dan diobati sejak dini.

Tujuannya untuk memperlambat perkembangan penyakit dan mencegah kerusakan sendi.

Sejauh ini ada beberapa jenis obat yang digunakan dalam penanganan artritis rematoid. Meliputi, obat penekan daya tahan tubuh (imunosupresif), kortikosteroid, dan obat antiinfl amasi nonsteroid untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan, serta obat biologis.

“Jenis-jenis pengobatan itu kerap dikombinasikan satu sama lain,” imbuh Handono.

Untuk jenis obat biologis, para peneliti telah menghasilkan obat yang disebut tocilizumab. Hasil uji klinis membuktikan obat itu efektif mencegah kerusakan sendi dan aman.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, lanjut Handono, masyarakat perlu mewaspadai artritis rematoid. “Bila mengalami nyeri sendi kronis, sebaiknya dipastikan ke dokter apakah itu rematik biasa atau bukan. Semakin dini artritis rematoid terdeteksi dan diobati secara tepat, semakin baik,” pesannya. (*/H-1)



http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/09/ArticleHtmls/Artritis-Rematoid-bukan-Rematik-Biasa-09052012014014.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.