Jumat, 18 Mei 2012

[Koran-Digital] Djoko Sihono: Anomali Nilai Ujian Nasional

   
Anomali Nilai Ujian Nasional
Djoko Sihono Gabriel, LEKTOR KEPALA DI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA

Harga jual nilai UN SMA di pasar gelap diduga akan sangat tinggi, karena dapat dijadikan sebagai karcis masuk perguruan tinggi negeri, termasuk PTN yang bereputasi tinggi.

Perusakan moral bangsa akan semakin menjadi-jadi seiring dengan akan semakin maraknya pasar gelap itu, karena akan menyu burkan sifat durjana pada anak-anak mereka sejak usia remaja.

Anomali dapat memberi manfa at, atau sebaliknya merugikan. Se buah anomali atau ketidakla ziman terlihat pada nilai ujian nasional (UN) sekolah dasar (SD) di Kota Tangerang, Kota Depok, dan Kota Bekasi dalam seleksi masuk SMP negeri reguler.

Data nilai UN siswa yang lulus seleksi, menurut situs-situs Penerimaan Siswa Baru Online 2011 di ketiga kota itu, memberi petunjuk mengenai seberapa besar anomali itu terjadi.

Nilai UN SD maksimum adalah 30 un tuk tiga mata pelajaran: matematika, IPA, dan bahasa Indonesia. Pola distribusi nilai UN SD di Kota Depok dan Kota Bekasi cenderung normal menurut kaidah statistik. Persentase jumlah siswa yang lulus seleksi dengan nilai UN 26 ke atas di kedua kota itu masing-masing adalah 32,93 persen dan 32,85 persen. Tampak jelas sangat berdekatan. Sebaliknya, pola distribusi di Kota Tangerang cenderung terkonsentrasi pada rentang nilai UN tinggi. Di kota ini 80,67 persen siswa me miliki nilai 26 ke atas, atau 2,5 kali dari persentase di Kota Depok atau Kota Bekasi.

Untuk rentang nilai yang lebih tinggi, perbedaannya semakin nyata. Di Kota Ta ngerang terdapat 47,43 persen siswa de ngan nilai 27 ke atas. Ini lebih dari 6,4 kali persentase di Kota Depok. Untuk nilai 28 ke atas persentasenya adalah 27 kali dari Kota Depok. Persentase siswa dengan nilai 29 ke atas di Kota Tangerang adalah 57 kali dari yang ada di Kota Bekasi. Bahkan ada enam siswa di Kota Tangerang yang memiliki nilai 30. Meskipun hanya 0,08 persen pencapaian ini tidak terwujud di Kota Depok, Kota Bekasi, dan bahkan DKI Jakarta.

Deskripsinya menurut jumlah siswa juga luar biasa. Hanya ada tiga dari 9.948 siswa lulus seleksi di Kota Bekasi yang nilainya di atas 29, sedangkan di Kota Tangerang ada 136 orang dari 7.946 siswa.

Untuk nilai di atas 28, hanya ada 91 siswa di Kota Bekasi, tetapi ada 1.267 siswa di Kota Tangerang.

Prestasi Sekolah Dasar Negeri 6 Ko ta Tangerang lebih mencengangkan. Kom posisi siswa SD itu yang lulus seleksi SMPN reguler di Kota Tangerang adalah: nilai 30 diraih oleh enam siswa, nilai 29 (39 siswa), nilai 28 (52 siswa), nilai 27 (17 siswa), dan dua siswa dengan nilai 26. Artinya, 98,3 persen siswa lulus seleksi dengan nilai lebih dari 27. Boleh jadi 18 siswa sisanya juga memiliki nilai sangat tinggi, tetapi tidak mendaftar di SMPN reguler di Kota Tangerang.

Kemiripan distribusi nilai UN SD di Kota Depok dan Kota Bekasi mendukung pola alami dalam kehidupan: bahwa ratarata kecerdasan anak sekolah di kedua kota itu tidak banyak berbeda, mengingat kondisi alam, sosial, ekonomi, dan budayanya tidak berbeda jauh. Kota Tangerang, yang memiliki keserupaan kondisi, tampaknya menjauh dari pola yang dialami oleh dua kota tetangganya.

lai UN. Penjualnya adalah penyedia nilai UN atas dasar pesanan, dan pembelinya adalah orang tua siswa yang ingin menggunakan nilai itu sebagai karcis masuk sekolah.

Pasar gelap ini patut diduga dapat terwujud karena: (1) nilai UN dijadikan sebagai kriteria tunggal kelulusan seleksi SMPN reguler; (2) tidak mudah memperoleh nilai UN yang tinggi secara jujur; (3) “membeli“ nilai UN bukan hal tabu bagi sejumlah orang; (4) ada pemasok nilai UN palsu tetapi sah; (5) semakin banyak pembeli nilai, semakin berat persaingan, sehingga semakin banyak orang tua terjebak dalam pasar gelap, karena khawatir anaknya tidak lulus seleksi.

Ironi selalu saja muncul setiap tahun dalam bentuk penyangkalan terhadap berbagai laporan kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Penyangkalan itu membuat pelaku kecurangan merasa memperoleh perlindungan, sehingga merasa aman untuk tetap melakukannya. Lemah atau tidak efektifnya upaya pencegahan, penangkalan, dan penindakan yang dilandasi dengan kebenaran, kejujuran, keadilan, serta sanksi tegas yang memberi efek jera, membuat pasar gelap itu tumbuh subur.

Sejumlah bukti menunjukkan sulitnya lulus seleksi SMPN reguler di Kota Tangerang dan Jakarta. Nilai terendah untuk lulus seleksi SMPN reguler yang paling tidak favorit di Kota Tangerang adalah 26,91 atau mendekati 9 tiap mata pelajaran.
Untuk lulus seleksi SMPN favorit dibutuhkan jumlah nilai UN jauh di atas 28, sehingga pengguna nilai UN pesanan lebih berpeluang lulus. Bisa jadi, beratnya syarat masuk inilah yang ikut menyeret orang tua ke dalam pasar gelap itu.

Pasar gelap diduga akan semakin ramai apabila Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi menghapus Ujian Tulis SNMPTN pada 2013 dan menggantinya dengan nilai UN (SNMPTN Tulis Akan Dihapus, “Ngapain Ujian Dua Kali?“, Kompas.
com, Rabu, 14 Maret 2012, 09:28 WIB).
Harga jual nilai UN SMA di pasar gelap diduga akan sangat tinggi karena dapat dijadikan sebagai karcis masuk perguruan tinggi negeri, termasuk PTN yang bereputasi tinggi. Perusakan moral bangsa akan semakin menjadi-jadi seiring dengan akan semakin maraknya pasar gelap itu, karena akan menyuburkan sifat durjana pada anak-anak mereka sejak usia remaja.
Anomali destruktif ini perlu segera dihentikan dan dicegah agar tidak menjadi tragedi bagi bangsa kita.

http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/05/18/ArticleHtmls/Anomali-Nilai-Ujian-Nasional-18052012011009.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.