Jumat, 18 Mei 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Sindrom Perubahan dan Kebangkitan

Setiap rezim dan setiap pemimpin yang muncul memang mendengungkan perubahan. Namun, sebagian cuma omong doang alias janji-janji, sebagian lain melakukan perubahan tanpa arah dan pegangan.''

REFORMASI dan Kebangkitan Nasional telah tercatat sebagai bagian dari tonggak sejarah penting bangsa ini. Momen yang menggugah semua anak bangsa memasuki era perubahan.

Celakanya, berbagai perubahan yang ada ternyata masih jauh dari harapan. Padahal, era Reformasi telah memasuki usia 14 tahun dan Kebangkitan Nasional bahkan telah melewati masa 100 tahun.

Itu sebabnya peringatan momen bersejarah setiap tang gal 20 Mei selalu mengundang banyak gugatan. Gugatan terhadap pentingnya makna perubahan ke arah yang lebih baik, yang kini telah kehilangan pegangan.

Sejak Reformasi, bangsa ini lepas dari cengkeraman kekuasaan otoriter. Banyak partai baru bermunculan dan ratusan pemilu kada secara langsung telah dilaksanakan. Kebebasan pers yang masih terjaga hingga kini juga bagian positif dari Reformasi.

Akan tetapi, masih banyak perkara besar yang dihadapi bangsa ini. Kemiskinan, sebagai contoh, tak kunjung cepat bisa diselesaikan dan dituntaskan.
Masih banyak anak bangsa yang terbelenggu kemiskinan.

Korupsi juga tidak ada habishabisnya kendati terus dikikis. Bahkan sebaliknya, megaskandal kasus korupsi dari waktu ke waktu terus bermunculan seperti tidak ada habis-habisnya.

Celakanya, selain banyak kasus megakorupsi yang tenggelam atau tidak terungkap tuntas, penegakan hukum juga melempem. Coba lihat penanganan kasus Wisma Atlet, Bank Century, mafia pajak, rekening gendut, yang cuma menyeret pelaku-pelaku pinggiran atau bahkan belum tersentuh sama sekali.

Penyakit lain yang tidak kalah hebatnya tentu saja yang terkait dengan aksi kekerasan. Entah dengan alasan agama, politik, ekonomi, bahkan dengan alasan sepele, orang begitu mudah mengumbar aksi kekerasan di ruang publik.

Jadi, selama 14 tahun, Reformasi memang belum mampu memenuhi berbagai harapan publik. Demokrasi yang dibangun, misalnya, malah berkembang menjadi transaksional, bukan substansial.

Di tengah ironi itu, celakanya, belum ada satu pun rezim di era Reformasi yang mampu menjalankan dan melaksanakan berbagai agenda besar perubahan.

Setiap rezim dan setiap pemimpin yang muncul memang mendengungkan perubahan. Namun, sebagian cuma omong doang alias janji-janji, sebagian lain melakukan perubahan tanpa arah dan pegangan.

Perubahan akan lebih bermakna bila kehidupan publik tercipta jauh lebih baik daripada sebelumnya. Itu sebabnya, bangsa ini harus bisa bangkit bersama-sama untuk mencapai perubahan yang diinginkan.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/19/ArticleHtmls/EDITORIAL-Sindrom-Perubahan-dan-Kebangkitan-19052012001051.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.