Selasa, 08 Mei 2012

[Koran-Digital] Kerajaan di Jawa tidak Mengenal Perebutan Takhta

Kawula atau rakyat TIDAK PERNAH PUNYA HAK apa pun tentang suksesi raja, sebab itu bersifat diwariskan secara turun-temurun.

PERSETERUAN dua bersaudara di Kadipaten Pakualaman mendapat perhatian kalangan intelektual di Yogyakarta. Pada dasarnya, suksesi di Kadipaten Pakualaman merupakan keputusan intern keluarga. Rakyat tidak punya kekuasaan apa pun untuk mengubah atau memprotesnya, termasuk dengan cara mengukuhkan sendiri.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sri Margono menjelaskan perebutan takhta adipati di Pakualam an merupakan persoalan intern yang bisa diselesaikan keluarga.

“Setelah Perjanjian Gianti tidak ada konflik suksesi kekuasaan dengan perang. Perjanjian Gianti dianggap perang suksesi terakhir karena setelah itu tidak ada peperangan yang mengurus perebutan takhta,” jelas Margono.

Menurut dia, persoalan suksesi dalam kerajaan ialah urusan intern keluarga. Orang luar tidak bisa campur tangan.

“Mungkin Sri Sultan Hamengku Buwono X bisa menjembatani kedua pihak yang berkonfl ik supaya bermusyawarah, tetapi soal keputusan tetap internal keluarga itu,” ungkapnya.

Dia menambahkan kawula atau rakyat tidak pernah punya hak apa pun tentang suksesi raja, sebab itu bersifat diwariskan secara turuntemurun.

Adapun aturan yang menentukan siapa penerusnya diatur dalam pertalian darah. Rakyat tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk mengubah atau memprotes.

Margono melihat tindakan KPH Ang lingkusumo yang mengaku diangkat rakyat merupakan cara modern yang tidak diakui dalam aturan kerajaan di Jawa.

Dalam paugeran (sistem/aturan) kerajaan Jawa, yang mengangkat adalah keluarga.

Sosial politik Senada dengan Sri Margono, pengajar Filsafat Budaya Mataram di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, Heru Wahyukismoyo melihat pemberitaan media masa yang belakangan gencar dapat mencerdaskan kehidupan masyarakat Yogyakarta dan menguji seberapa jauh pemahaman demokrasi rakyat Yogyakarta.

“Tapi saya yakin peristiwa itu tidak memengaruhi sosial politik yang ada di Yogyakarta,“ kata Heru.

Heru pun menegaskan konflik ter sebut hanya berada di internal.

Adanya satu orang yang tidak setuju dianggapnya sebagai suatu hal yang wajar.

Secara kultural, pengangkatan KPH Ambarkusumo sebagai Paku Alam IX sudah melalui norma dan aturan adat yang sah. “Dia sudah dipilih dan mendapatkan amanat serta kepercayaan dari sentana dalem, abdi dalem, dan kawula dalem.”

Ketika KPH Anglingkusumo muncul, lanjut Heru, masyarakat akan melihat sosok mana yang sudah memenuhi aturan adat dan yang tidak memenuhi aturan adat. Kedewasaan masyarakat Yogyakarta tersebut yang diperlukan untuk melihat persoalan yang ada.

“Seharusnya sebagai seorang pangeran, Anglingkusumo sportif dan mencontoh yang ada di Kesultanan Yogyakarta,” ungkapnya.

Dia mencontohkan, di kesultanan pernah terjadi hal sama ketika Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadikusumo berpeluang menjadi Sultan Hamengku Buwono X. Dalam rapat keluarga juga sempat terjadi perdebatan. Namun, keluarga keraton telah memutuskan siapa yang akan menjadi Sultan Hamengku Buwono X. “Semua orang menghormati dan sportif terhadap keputusan tersebut,” kata Heru. (AT/N-3)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/09/ArticleHtmls/Kerajaan-di-Jawa-tidak-Mengenal-Perebutan-Takhta-09052012022009.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.