Rabu, 09 Mei 2012

[Koran-Digital] MUH HADI BASHORI: Kritik Hilal Normatif

(Tanggapan Atas Muh Khalid AS) MUH HADI BASHORI Praktisi Falak pada Pusat Kajian dan Layanan Falakiyah IAIN Walisongo Semarang

Perbedaan pendapat tentang hilal serta implika si nya telah menyita ba nyak energi umat Islam.

Persoalan ijtihadiyah ini sangat berpotensi merusak ukhuwah Islamiah. Padahal, tidak ada kebenaran mutlak atas pendapat ijtiha diyah. Sifatnya kadang sangat temporal dan situasional.

Secara normatif, perbincangan me nge nai perbedaan sifat ijtihadiyah penentuan awal bulan Qamariah sebenar nya telah selesai. Artinya, jika masingmasing ormas masih kukuh mempertahankan kriteria masing-masing maka potensi terjadinya perbedaan dalam menentukan waktu ibadah selamanya akan terjadi. Sementara, kriteria atau me tode tersebut dalam nilai normatif disiplin hisab rukyat tak bisa dipersa lah kan karena memiliki landasan dasar berupa dalil dan dalih masing-masing.

Dari nilai sosiologis inilah, perbincangan menggagas penyatuan kriteria bisa menemui titik temu. Karena, jika di lihat dari aspek normatif selama ini mustahil akan menemui titik temu. Masing-masing mazhab mempunyai kriteria dan ego masing-masing seperti yang terjadi pada penentuan 1 Syawal 1432 H.

Di Indonesia, perbedaan penentuan awal bulan akhirnya membuat disharmonisasi di kalangan umat Islam. Penulis sepakat bahwa perbedaan ijtihadiyah dalam menentukan awal bulan Qamariah dilandasi pada sikap kehati-hatian karena hilal terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yang terkait dalam di mensi ruang dan waktu. Sehingga, ti dak mungkin bagi seseorang tidak mung kin masih harus menjalani ibadah puasa ketika hilal sudah diyakini telah masuk bulan baru Syawal.

berdasarkan hasil hisab hakiki kontemporer. Pertama, hilal positif di atas ufuk dengan ketinggian hilal yang relatif tinggi. Misalnya, h’c = 4 o 36’ 55” sehingga sangat besar kemungkinan hari esok disepakati sudah masuk hari pertama bulan berikutnya. Kedua, hilal dinyata kan negatif di bawah ufuk, misalnya, h’c = -0 o 20’ 28.87” maka dipastikan bah wa hari besok diistikmalkan bilang an bulan menjadi 30 hari.

Namun, hilal Indonesia akan berada pada kondisi “rawan” apabila hilal po si tif di atas ufuk dengan ketinggian yang relatif rendah berkisar antara nol hingga dua derajat. Dengan ketinggian tersebut maka sangat besar terjadi berbedaan dalam menentukan awal dan akhir bulan, seperti yang terjadi pada awal Syawal 1432 H. Bahkan, diprediksi, tiga Rama dhan ke depan akan terjadi kemungkinan perbedaan hari memulai puasa.

Perselisihan penentuan hari dalam satu wilayah administratif selama ini akibat perbincangan hanya pada tataran pemahaman perbedaan ijtihadiyah. Selain itu, juga belum adanya upaya konk ret penyelesaian dalam tataran normatif dan strategis, baik dalam ranah teknis maupun ideo-sosiologis.

Perbedaan dalam menentukan awal bulan Qamariah terjadi karena perbedaan dalam mendefinisikan hilal. Belum ada kesepakatan membentuk satu defini si tunggal hilal. Secara harfiah, hilal di maksudkan sebagai awal penampakan bulan dalam fase sabit setelah terjadinya ijtimak yang sangat tipis di ufuk barat setelah matahari terbenam sebagai pe laksanaan observasi atau penentuan.

Na mun, secara teknis, belum ada rumus an baku tentang bagaimana posisi bulan yang berposisi sebagai hilal.

Perumusan teknis hilal memang ti dak mudah, terutama menyangkut visi bilitas hilal. Setidaknya, ada tiga para meter yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu posisi Bulan dan Matahari, sifat

optis atmosfer Bumi, dan terbatasnya resolusi mata manusia.

Penulis sepakat demi kebenaran empirik perlu dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut untuk mencari kebenaran hilal hakiki sebagaimana yang tersurat dalam Alquran sebagai penanda masuknya bulan baru Islam.

Karena itu, perlu ada komunikasi intensif antara para fukaha dan para ahli untuk terus melakukan upaya mencari kebenaran definisi hilal melalui berbagai observasi dan penelitian berkelanjutan. Apakah memang angka nol me rupakan penanda fundamental atas eksistensi segala sesuatu bilangan? Namun, penelitian demikian memang tidak cukup dilakukan hanya dalam wak tu singkat. Perlu ada sinkronisasi pengamatan secara berulang setiap bulannya hingga bertahun-tahun. Sehingga, melihat potensi perbedaan dalam pe nentuan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah tahun-tahun mendatang sambil menunggu hasil verifikasi uji kebenaran hilal perlu ada upaya lain untuk mencoba menyeragamkan hilal dan penentuan awal bulan.

Dengan kata lain, mengalah bukan berarti salah, tidak mengalah bukan berati menghindar dari kesalahan. Jika melihat aspek persatuan ibadah umat dalam satu wilayah administratif, untuk menjaga persatuan kaum Muslimin maka cara terbaik dalam menentukan awal bulan adalah dengan mengikuti keputusan pemerintah.

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, Idul Fitri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berIdul fitri, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian ber-Idul Adha.” (HR Tirmidzi, hasan ghorib).

Bukankah cara ini yang terbaik dan dapat dibenarkan berdasarkan dalil naqli demi persatuan umat Muslimin dengan kemantapan dan kesempurnaan ibadah? Wallahu a’lam.

http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/05/10/ArticleHtmls/Kritik-Hilal-Normatif-10052012004024.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.