Kamis, 10 Mei 2012

[Koran-Digital] Musyafak: Revitalisasi Tradisi Magrib Mengaji

Musyafak, ANGGOTA STAF BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA SEMARANG



Wacana gerakan kultural magrib mengaji sekaligus merupakan kritik

korektif terhadap pendidikan agama di lembaga formal, seperti sekolah

dan madrasah, yang cenderung memprioritaskan aspek kognitif, sedangkan

aspek afektif dan psikomotorik yang mendasari sikap ataupun perilaku

cenderung tersisihkan.

Pendidikan agama tidak cukup dibebankan kepada lembaga pendidikan

seperti sekolah atau madrasah semata. Perlu gerakan kultural menanamkan

nilai-nilai keagamaan sejak dini bagi anakanak dan remaja. Gerakan

kultural yang sekaligus mengandaikan peneguhan kembali peran masjid

sebagai arena sosialkultural, di samping sebagai "ruang suci"yang

mementingkan ritus peribadatan.



Strategi kultural dalam pengajaran agama Islam sebenarnya telah berlaku

sejak dulu. Taruhlah mengaji bersama di masjid seusai salat magrib

berjemaah, atau majelis taklim yang digelar secara periodik mingguan

atau bulanan. Mengaji pada waktu magrib pernah menjadi tradisi yang

sangat efektif untuk menempa pengetahuan agama, sekaligus mengolah

watak-perilaku religius di kalangan anak-anak dan remaja. Bukan hanya di

pedesaan, masyarakat muslim perkotaan pun menggiatinya sebagai upaya

dakwah sekaligus pendalaman ajaran agama yang berpusat di masjid atau

musala.

Kementerian Agama menabuh beduk dalam rangka meluncurkan sekaligus

mensosialisasi Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji (Gemmar Mengaji).



Program ini disasarkan untuk memperdalam pengetahuan agama, sehingga

mampu menangkal merebaknya paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Di samping dihajatkan sebagai langkah untuk meneguhkan karakter akhlak

mulia generasi mendatang.



Memang gema program ini belum terdengar nyaring di khalayak luas.

Sedikitnya ini terobosan awal yang positif guna mengelola pendidikan

keagamaan informal yang berbasis keluarga dan komunitas. Sudah dimafhumi

sejak awal, program ini hanya bisa berjalan optimal jika kesadaran

masyarakat terketuk akan pentingnya pengetahuan agama sebagai modal

sosial-kultural untuk menata kehidupan yang lebih beradab. Tantangan

berat yang dihadapi adalah cara pandang dan mentalitas masyarakat yang

menomorduakan pengetahuan agama.

pengetahuan agama dalam bersikap dan berbuat.



Mengaji di waktu magrib adalah wahana pengajaran agama berbasis

komunitas, yang menekankan supaya anak-anak dan remaja memahami ajaran

agama, kemudian mengamalkannya di lingkungan keseharian. Strategi

kultural ini biasanya membangun iklim kesetaraan dengan tidak

mengelaskan atau memisahkan para murid berdasarkan kemampuan atau usia,

kecuali menyatukan mereka dalam lingkaran majelis. Seorang ustad tidak

memberi penilaian secara langsung dan khusus dengan instrumen normatif

pendidikan. Masyarakatlah yang secara langsung menjatuhkan penilaian

berikut sanksi sosial kepada murid berdasarkan pe rilaku keseharian

mereka. Walhasil, tradisi magrib mengaji merupakan aktivitas pendidikan

agama yang berlangsung dalam konteks sosial secara terusmenerus.



Jawwad Ridla, seperti dielaborasi oleh Mahmud Arif dalam buku Pendidikan

Islam Transformatif (2008: 121), mendedahkan pandangan aliran rasionalis

yang menegaskan pendidikan sebagai sosialisasi. Orientasi pendidikan

diancangkan pada tuntutan sosial sehingga tidak bisa menceraikan diri

dari nilai dan norma sosial. Aktivitas pengajaran sesungguhnya memiliki

tanggung jawab sosial untuk mengikatkan diri secara organik di

masyarakat dan bersinergi dengan perkembangan sosial-budaya, sehingga

mampu berperan dalam akuntabilisasi di tengah masyarakat.



Selaras dengan itu, tradisi magrib mengaji berpotensi terhindar dari

distorsi pengajaran agama, karena tidak menganggap pendidikan agama

sebagai aktivitas keagamaan murni.



Dengan tidak meletakkan pengajaran agama di atas "menara gading",

tradisi magrib mengaji niscaya mampu meminimalkan gap antara pendidikan

dan realitas sosial-budaya yang melingkupinya.



Tradisi magrib mengaji suatu aktivitas pendidikan yang tidak hanya

berkonsentrasi membina moral personal. Lebih dari itu, strategi kultural

ini berorientasi pada pembinaan moral sosial.



Karena itu, perlu adanya revitalisasi tradisi magrib mengaji dalam

rangka mengolah karakter generasi kini demi menebus mimpi terwujudnya

masyarakat beragama yang beradab.



http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/05/11/ArticleHtmls/Revitalisasi-Tradisi-Magrib-Mengaji-11052012012015.shtml?Mode=1



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.