Selasa, 08 Mei 2012

[Koran-Digital] Raksasa Farmasi AS Pasarkan Obat Palsu

Raksasa Farmasi AS Pasarkan Obat Palsu

Bisnis obat palsu semakin menggiurkan karena untungnya yang luar biasa

besar.

Rabu, 9 Mei 2012, 00:21 WIB

Denny Armandhanu





VIVAnews - Salah satu perusahaan farmasi raksasa AS dengan keuntungan

puluhan miliar dolar diganjar denda oleh pengadilan tinggi negara

tersebut. Pasalnya, perusahaan ini diketahui memasarkan obat dengan

label palsu demi mendapatkan untung berlimpah.



Siapa sangka ini bukanlah kali pertama perusahaan farmasi AS melakukan

kenakalan serupa. Sebelumnya, beberapa kasus tercatat dilakukan

perusahaan obat ternama Negeri Paman Sam. Penyelesaiannya, dengan denda

atau penarikan produk.



Adalah perusahaan Abbott Laboratories yang pada Senin, 7 Mei 2012,

diumumkan oleh Kementerian Kehakiman telah terbukti dan mengaku bersalah

atas pemasaran obat jenis Depakote. Akibatnya, pengadilan tinggi Amerika

Serikat mengganjar Abbott dengan denda sebesar US$1,6 miliar atau

sekitar Rp14,7 triliun untuk kasus sipil dan kriminal.



Diberitakan CNN, denda itu termasuk denda kriminal sebesar US$700 juta

dan sekitar US$800 juta untuk dibagikan ke 50 negara bagian yang merasa

dirugikan. Sebanyak US$84 juta diberikan kepada pembocor kejahatan Abbott.



Dilansir ABC News, kasus ini dibocorkan oleh mantan agen pemasaran

obat-obatan Abbott, Meredith McCoyd, pada 2007. Dia mengajukan gugatan

terhadap Abbott yang memaksanya, dan penjual obat lainnya, menawarkan

obat palsu tersebut ke berbagai panti jompo dan rumah sakit jiwa. Sejak

saat itulah, pemerintah AS mulai menyelidiki kasus ini secara seksama.



Menurut pernyataan pengadilan, Abbott dinilai telah melanggar peraturan

AS soal perdagangan obat-obatan. Depakote yang disebarkan Abbott

diketahui tidak memiliki izin perdagangan dari Badan Pengawas Makanan AS

(FDA). Selain itu, obat ini diketahui tidak memiliki khasiat seperti

yang disampaikan oleh tim pemasaran Abbott kepada pembelinya.



Obat Depakote yang dipasarkan Abbott dijual ke berbagai rumah sakit jiwa

dan panti jompo sejak tahun 1998. Menurut tim pemasaran Abbott, obat itu

untuk mengatasi kecemasan dan agresi pada pasien manula penderita

demensia. Selain itu, Abbott juga mengatakan bahwa obat ini dapat

mengatasi penyakit schizophrenia.



Padahal FDA mencatat, tidak ada penelitian ilmiah mengenai khasiat obat

tersebut, seperti yang disampaikan Abbott. Lagipula menurut FDA,

Depakote adalah obat epilesi, bipolar dan mencegah migren, bukan untuk

manula demensia seperti yang tertera di label obat.



Selama delapan tahun sejak 1998, Abbott telah melatih tim pemasarannya

untuk menyebarkan kebohongan tentang obat tersebut. Abbott sendiri

menghentikan percobaan Depakote untuk demensia pada 1999 karena efek

samping yang ditimbulkannya, di antaranya adalah mengantuk, dehidrasi

dan anoreksia.



Jaksa penuntut Kementerian Kehakiman AS, Timothy Heaphy, mengatakan

bahwa Abbott telah membahayakan para manula demi keuntungan semata.

Selama investigasi berlangsung, Abbott dilaporkan menerima keuntungan

sebesar US$12 miliar dari penjualan Depakote. Pihak Abbott mengaku

bersalah dan akan menyelesaikan masalah ini hingga tuntas.



"Perusahaan kami bertanggungjawab kepada pasien dan penyedia layanan

kesehatan dengan serius, dan kami telah membuat program pemasaran yang

kuat untuk memastikan barang yang dijual memenuhi persyaratan legal dan

keperluan penyedia jasa kesehatan," kata Laura Schumacher, Wakil

Presiden Eksekutif Abbott.



Bukan yang Pertama



Ini bukan kali pertama raksasa farmasi AS terganjal kasus pemalsuan

obat. Denda Rp14,7 triliun kepada Abbott memang bukan apa-apa

dibandingkan keuntungan perusahaan ini yang mencapai lebih dari US$35

miliar per tahunnya. Tapi denda ini adalah yang terbesar kedua yang

diberikan oleh pengadilan AS kepada raksasa farmasi.



Kasus terbesar pertama terjadi pada September 2009, menimpa perusahaan

farmasi Pfizer yang didenda sebesar US$2,3 miliar atau setara Rp21,2

triliun. Denda ini diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat atas

pemalsuan label produk obat jenis Bextra, Geodon, Zyvox, dan Lyrica.



Keempat jenis obat-obatan tersebut dipasarkan tanpa mendapatkan

persetujuan dari FDA. Salah satu obat tersebut, Bextra, sebenarnya telah

larang edar pada 2005 karena memiliki efek samping yang berbahaya

seperti asma atau gangguan pernafasan. Pfizer memalsukan label FDA dan

menjual kembali obat-obatan tersebut.



Dalam kasus ini, Pfizer tidak mengakui bersalah secara langsung,

melainkan melalui anak perusahaannya, Pharmacia & Upjohn Company, Inc.

yang mengaku sebagai distributor tunggal obat-obat tersebut. Menurut

CNN, pengakuan pihak ketiga diperlukan karena penuntut beranggapan bahwa

perusahaan Pfizer terlalu besar untuk digugat.



Penuntut khawatir, Pfizer sebagai salah satu perusahaan farmasi pemberi

pemasukan terbesar bagi AS, akan bangkrut jika denda diberikan langsung.

Selain karena pamornya akan turun, berbagai penyedia layanan kesehatan

juga akan meminta ganti rugi yang semakin membuat Pfizer terpuruk.



Selain denda, Pfizer juga harus membuat perjanjian untuk mereformasi

struktur pemasaran perusahaan. Selain itu, Pfizer juga harus meletakkan

database yang dapat diakses seluruh orang di situs mereka, untuk melacak

pembayaran obat-obatan. Tiga orang pegawai Pfizer didakwa atas kasus ini.



Obat Palsu dari Luar Negeri



Selain harus berhadapan dengan pemalsuan obat dari dalam negeri, publik

di AS juga harus menghadapi serbuan obat palsu dari luar negeri. Bisnis

ini semakin menggiurkan karena untungnya yang luar biasa besar.



Menurut data pemerintah Amerika Serikat, perdagangan obat palsu di

seluruh dunia mendapat untung hingga US$75 miliar atau sekitar Rp688,7

triliun. China disebut-sebut sebagai produsen dan distributor obat palsu

terbesar di seluruh dunia. Peter Fowler, staf regional ASEAN untuk

Departemen Perdagangan AS mengatakan, China menguasai 88 persen dari

perdagangan obat palsu global.



Di dalam negeri AS sendiri, pada 2011 pedagang obat palsu untung US$16,8

juta. Jumlah ini terus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang

hanya US$5 juta. Tahun lalu, petugas bea cukai AS berhasil menggagalkan

perdagangan obat palsu sebanyak 1.239 kali.



Produk obat-obatan palsu menempati posisi ketiga setelah barang

elektronik dan sepatu yang paling banyak untung di AS. Setelah

obat-obatan, produk palsu yang tenar lainnya adalah kacamata dan pakaian.



China menempati posisi utama dalam 10 negara penghasil obat palsu.

Negara lainnya secara berturut-turut adalah Hong Kong, India, Pakistan,

Taiwan, Swiss, Malaysia, Korea Selatan dan Meksiko.



http://us.fokus.vivanews.com/news/read/311877-raksasa-farmasi-as-pasarkan-obat-palsu



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.