Senin, 14 Mei 2012

[Koran-Digital] ZAENAL ABIDIN: Sistem Pelayanan Kesehatan

Sistem Pelayanan Kesehatan PDF Print

Tuesday, 15 May 2012

Usaha pemberian layanan kesehatan yang mendekati kondisi ideal bukannya

tidak ada di Indonesia. Salah satunya bisa kita lihat usaha yang

dilakukan Kota Bontang, Kalimantan Timur.



Upaya Kota Bontang untuk menata ulang sistem kesehatannya dengan

menerapkan konsep primary health care (PHC) adalah sebuah contoh sukses

dan bisa dijadikan sebagai role model-. Proses tersebut berlangsung

selama kurang lebih tiga tahun, 2007 hingga 2010, dengan asistensi

Ikatan Dokter Indonesia. Ketika itu,Kota Bontang telah memiliki fondasi

kuat untuk menjadi sebuah sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi

pada pelayanan primer dalam rangka mencapai universal coverage.



Di antara fondasi itu yakni: Pertama, Kota Bontang telah memiliki Perda

Nomor 6 Tahun 2010 tentang Sistem Kesehatan Daerah yang menempatkan

kedokteran keluarga sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Kedua,Kota

Bontang memiliki Perda Nomor 11 Tahun 2009 tentang Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan Daerah, yang memberi jaminan kesehatan kepada penduduk kurang

mampu.



Ketiga, Kota Bontang telah melakukan reorientasi fungsi puskesmas dengan

tujuan menghilangkan tumpang tindih antara fungsi upaya kesehatan

perorangan (UKP) dan upaya kesehatan masyarakat

(UKM).Puskesmasdifungsikan sepenuhnya untuk UKM, sedangkan fungsi

pengobatannya dialihkan ke praktik kedokteran keluarga. Keempat, jumlah

dokter pelayanan primer (DPP) di Kota Bontang jauh lebih banyak

ketimbang dokter spesialis, mencerminkan pelayanan berorientasi pada

pelayanan primer.



Kelima, rasio DPP terhadap penduduk sudah mendekati 1:2500, yang berarti

ketersediaan DPP sangat mendukung penerapan sistem yang berorientasi

pelayanan kesehatan primer. Hal lain yang mulai kondusif bagi penerapan

sistem pelayanan kesehatan primer adalah: Pertama, telah cukup banyak

dokter pelayanan primer dalam bentuk praktik kedokteran keluarga di

tengah masyarakat.Kedua, telah ada upaya mengatur penyebaran lokasi

praktik dokter pelayanan primer di tengah masyarakat, berdasarkan

wilayah administrasi kecamatan.



Ketiga, telah cukup banyak populasi masyarakat yang berhubungan langsung

dengan dokter pelayanan primernya, berdasarkan kontraktual antara

penjamin (Askes, Jamsostek, dan Jamkesda) dan DPP.Keempat, sistem

rujukan sudah mulai berjalan, di mana populasi yang berkunjung ke dokter

spesialis sudah banyak menggunakan surat rujukan dari DPP. Role model

Kota Bontang tentu saja belum sesempurna yang dicita-citakan, namun

paling tidak telah meletakkan dasar untuk mengantisipasi penerapan

jaminan sosial kesehatan nasional. Pada era SJSN dan BPJS ini, penyiapan

pelayanan kesehatan primer menjadi agenda yang tak terelakkan.



Karena itu, pengembangan role model pelayanan primer yang ditunjang oleh

pembiayaan berbasis jaminan sosial kesehatan nasional menjadi mutlak

untuk dikedepankan. Mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Pemda

Bontang, maka puskesmas yang saat ini menanggung beban berat seharusnya

direkonstruksi. Puskesmas cukup fokus dan secara sungguhsungguh

melaksanakan tugas utamanya, yakni upaya kesehatan masyarakat. Dengan

hanya fokus pada tugas utamanya yang juga yang amat berat itu, bukan

berarti entitas puskesmas menjadi tidak terhormat.Saat ini puskesmas

sering kali dituding lalai karena mengesampingkan tugas utamanya dalam

upaya kesehatan masyarakat dan beralih ke upaya pengobatan (private goods).



Jejaring Layanan Kesehatan



Kalau kita kembali menengok Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004,

dikatakan bahwa ketika SJSN sudah berlaku, maka akan terjadi perubahan

fungsi puskesmas.Puskesmas akan fokus untuk menjalankan fungsi sebagai

penyelenggara upaya kesehatan masyarakat, sedangkan upaya kesehatan

perorangan akan diserahkan kepada swasta melalui konsep Pelayanan

Kedokteran Keluarga, kecuali di daerah sangat terpencil yang masih akan

dipadukan dengan puskesmas.



Memang disayangkan karena ternyata dalam SKN 2009 konsep semacam itu

tidak ditemukan lagi. Karena itu diperlukan adanya revisi SKN agar dapat

mengakomodasi terjadinya perubahan besar dalam sistem pelayanan

kesehatan primer. Konsep Pelayanan Kedokteran Keluarga sebagai

gatekeeper di layanan kesehatan garda terdepan (primer) tersebut,

kemudian dimodifikasi dengan membangun jejaring pemberi pelayanan

kesehatan primer.



Jejaring yang menggunakan pendekatan kedokteran keluarga ini terdiri

atas klinik-klinik primer satelit menyerupai satelit, yang posisinya

berada mengelilingi klinik primer utama. Klinik-klinik tersebut bukan

sekadar berjejaring, melainkan juga menerapkan konsep kepemilikan

bersama.Semua klinik jejaring itu adalah milik tenaga profesi kesehatan

yang bekerja atau berpraktik di klinik tersebut.Baik dia dokter, dokter

gigi, apoteker, perawat, bidan, dan bahkan tenaga administrasi pun

terbuka untuk menjadi pemilik.



Di klinik primer utama akan mempunyai minimal 2 dokter,1 dokter gigi, 2

perawat, 1 bidan, dan 1 staf administrasi. Klinik primer utama

dilengkapi fasilitas laboratorium, radiologi, EKG,USG,dan sebagainya

sebagaimana layaknya pelayanan primer yang lengkap (terstandardisasi).

Sementara di klinik primer satelit, cukup memiliki 2 dokter, 2 perawat,

1 bidan,1 pembatu apoteker untuk menjaga instalasi farmasi, serta 1 staf

administrasi.



Di klinik primer satelit ini, sinergisitas profesional kesehatan dalam

mewujudkan pelayanan kesehatan yang holistis/paripurna sudah harus

dikembangkan. Tentu saja dokter tetap menjadi nakhoda pelayanan

kesehatan di fasilitas layanan primer ini,namun ia bukan pemilik

tunggal. Untuk itu, perlu dipersiapkan strategi peningkatan kapasitas

profesional kesehatan dalam kerangka kerja tim dan jejaring pelayanan

kedokteran keluarga. Tentu saja melalui pelatihan dan bimbingan teknis

secara terencana dan terstruktur, yang dimulai sebelum bertugas di klinik.



Dalam hal kepemilikan bersama entitas pelayanan dan jejaringnya, perlu

ditumbuhkan semangat kolektivitas dan kolegialitas kesejawatan yang

berkolaborasi dengan di bawah prinsip-prinsip koperasi. Pendanaan konsep

kepemilikan bersama ini dapat difasilitasi oleh Koperasi IDI maupun

lembaga keuangan lain yang memiliki semangat yang sama, yakni

mengakomodasi semangat kolektivitas dan kolegialitas kesejawatan

profesional kesehatan. Proporsi kepemilikan, distribusi tanggung jawab,

dan persentase bagi hasil secara adil dapat ditentukan kemudian dengan

hitungan tersendiri.



Kepemilikan bersama akan menghilangkan adanya profesional kesehatan yang

melayani pasien secara pribadi, di fasilitas yang tidak memadai dan

dengan standar pelayanan yang tidak standar pula. Konsep kepemilikan

bersama yang difasilitasi Koperasi IDI ini akan sangat berbeda bila

entitas pelayanan dimiliki oleh pribadi-pribadi atau pemilik modal.

Kepemilikan yang didorong oleh semangat berkoperasi, tentu sangat

berbeda ketika kepemilikannya bersifat pribadi atau oleh pemilik modal

tertentu.



Kepemilikan pribadi mempunyai kecenderungan untuk dikelola dalam

kerangka bisnis, yang memaksimalkan keuntungan sehingga berpotensi

menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan, karena menempatkan

profesional kesehatan dalam konteks antara buruh dan majikan, serta

pasien diperlakukan sebagai objek bisnis semata. Menempatkan pasien

sebagai objek bisnis tentu amat tidak etis,apalagi bagi profesional

kesehatan yang sangat terkenal menjunjung tinggi etika profesinya.



Pelayanan Kesehatan



Demi keadilan dan meratanya pemberian pelayanan kesehatan bagi seluruh

rakyat Indonesia, rekrutmen dan seleksi pemberi pelayanan kesehatan

(PPK) pun harus dilakukan secara seksama di tingkat nasional. Pelayanan

kesehatan dalam penyelenggaraan SJSN selayaknya bersifat efektif dan

efisien,untuk menjaga kesehatan rakyat Indonesia dengan biaya kesehatan

yang rasional.



Pelayanan kesehatan yang holistis, komprehensif, sepenuh waktu, sepenuh

hati, dan berkesinambungan adalah karakteristik yang harus dimiliki oleh

PPK. PPK yang telah lolos seleksi dapat ditempatkan di daerah yang

ditentukan tim dari BPJS. Sesuai UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS,

bentuk kerja sama antara BPJS dan PKK merupakan sistem kontrak. Untuk

memperoleh hasil optimaldalammengembangkankesehatan masyarakat yang

menjadi tanggungannya, waktu yang dibutuhkan tidak singkat. Jangka waktu

dua tahun adalah waktu yang sangat minimal untuk kontrak.Kontrak dengan

PPK dapat diperpanjang setelah menilai kinerjanya.



Jika kinerjanya bagus dapat diperpanjang,namun bila tidak bagus sangat

mungkin untuk tidak diperpanjang. Terkait dengan pelaksanaan jaminan

kesehatan yang bertahap, pada pelaksanaan tahap awal, PPK yang tidak

termasuk dalam sistem tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan

pelayanan kesehatan bagi para peserta jaminan kesehatan. Namun perlu

diketahui bahwa berdasarkan undang-undang, seluruh penduduk Indonesia

wajib menjadi peserta.



ZAENAL ABIDIN

Ketua Terpilih/Wakil Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/494897/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.