Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] AHMAD ERANI: Pembangunan Ekonomi dan Dukungan Energi

Pembangunan Ekonomi dan Dukungan Energi PDF Print

Wednesday, 16 May 2012

Indonesia merupakan salah satu negara yang dipandang memiliki prospek

ekonomi cerah dalam jangka panjang. Beberapa lembaga internasional,

seperti Asia Development Bank/ADB dan Bank Dunia,memproyeksikan

Indonesia sebagai negara besar pada 2030 dan 2050.





Bahkan, Indonesia punya potensi sebagai lima besar ekonomi, sekurangnya

dilihat dari pendapatan domestik bruto (PDB). Saat ini posisi Indonesia

masih berada pada level 20 besar dunia sehingga ini menjadi dasar

masuknya Indonesia dalam forum G-20. Untuk bisa mencapai level lima

besar tersebut, tentu saja Indonesia harus menggenjot pemabngunan dan

pertumbuhan ekonomi sebagai sumber peningkatan PDB.



Pemerintah juga telah mendesain Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) demi menopang target pertumbuhan

ekonomi itu.Secara teoretis banyak faktor yang akan menjadi pendukung

pembangunan ekonomi tersebut, tetapi salah satu yang terpenting adalah

ketersediaan energi.



Problem Energi Nasional



Dalam konteks ketersediaan energi dalam jangka panjang, Indonesia

menghadapi persoalan penting. Dua masalah utama adalah soal

ketergantungan terhadap energi yang tak terbarukan (non-renewable

resources) dan cadangan sumber daya alam yang kian tipis. Saat ini

sekitar 95% konsumsi energi nasional dipasok dari minyak,gas,dan batu

bara. Sebaliknya, kontribusi energi yang berasal dari sumber daya

terbarukan seperti panas bumi, air,dan angin kurang dari 5%. Konsekuensi

dari ketergantungan ini adalah kerusakan lingkungan dan biaya produksi/

ekonomi yang makin tinggi.



Degradasi lingkungan merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari

setiap eksplorasi sumber daya alam, khususnya yang tak terbarui,sehingga

secara tidak langsung juga menjadi beban perekonomian seperti terjadinya

bencana alam maupun perubahan iklim.Ongkos ekonomi juga makin mahal

karena harga energi yang tak bisa diperbarui meningkat terus- menerus.

Harga minyak, gas, dan batu bara tidak mungkin dipertahankan seperti

pada level sekarang,tetapi pasti meningkat setiap tahun. Berikutnya,

cadangan sumber daya energi juga terus menyusut akibat eksplorasi yang

kian brutal, kian besar dari tahun ke tahun.



Tanpa ada penemuan ladang baru, cadangan minyak nasional hanya cukup

untuk memenuhi sebagian konsumsi dalam 10 tahun mendatang. Batu bara

juga tidak berbeda kondisinya,meskipun agak lama, yakni sekitar 18 tahun

ke depan. Sementara itu, cadangan gas relatif besar,masih cukup untuk

eksplorasi sampai 40 tahun lagi.Tapi, secara etis tidak boleh cadangan

itu dieksplorasi secepatnya karena sumber daya itu bukan hanya milik

generasi sekarang. Jadi, dengan melihat data tersebut, pemerintah jelas

harus berjibaku menemukan energi alternatif sebagai pengganti minyak

bumi dalam jangka pendek.



Celakanya, di antara pemakaian energi yang terbarukan, konsumsi minyak

menyumbang paling besar, khususnya di sektor transportasi. Pada 2015

nanti diperkirakan kebutuhan BBM mencapai 62 juta kiloliter/tahun dan

minyak mentah sekitar 1,9 juta barel/hari.Tanpa dibantu energi

alternatif,Indonesia pasti akan berada dalam kesulitan besar. Problem

lain yang tidak kalah pelik adalah soal manajemen pengelolaan sumber

daya alam/energi.Sampai saat ini Pertamina hanya memproduksi kurang

lebih 122.000 barel/hari dari total lifting minyak nasional sebesar 905

barel/ hari.



Dengan kata lain,Pertamina cuma mengeksplorasi 12% lifting minyak. Lebih

menyedihkan lagi,sebagian besar (sekitar 80%) dieksplorasi perusahaan

asing. Dalam perspektif ketahanan minyak,situasi Indonesia mungkin masih

memadai,sebab sebagian kekurangan kebutuhan domestik bisa ditutup dari

impor. Tapi dari sudut pandang kemandirian dan kedaulatan energi

(minyak), Indonesia berada di ambang kehancuran.



Dari sisi kemandirian, pasokan minyak bermasalah karena sebagian

kebutuhan harus diimpor.Sementara itu,dari sisi kedaulatan berada di

titik nadir,sebab pemerintah tidak berdaya memperjuangkan Pertamina

sebagai perusahaan yang bisa menguasai sumber daya alam sesuai dengan

amanat UUD 1945. Padahal penguasaan eksplorasi itu akan menentukan

kemampuan mengontrol pasokan energi di pasar domestik.



Peta Jalan Energi



Mencermati situasi di atas, mulai sekarang Indonesia harus berjuang

menyusun rencana pencapaian ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan

energi sekaligus. Pertama, pengembangan energi alternatif (renewable

resources) merupakan opsi yang tidak bisa ditunda.



Ketergantungan terhadap minyak bumi perlu dikurangi secara bertahap

sehingga pada 2020 mendatang Indonesia sudah siap menyongsong datangnya

aktivitas ekonomi tanpa minyak.Tidak ada kerumitan yang luar biasa untuk

mengembangkan energi alternatif karena Indonesia memiliki bahan baku

melimpah, entah itu berasal dari air, angin maupun panas bumi.Pemerintah

juga bisa mengembangkan biofuel karena sumber daya yang dimiliki masih

memadai, misalnya dari jagung, jarak, tebu.



Harapannya, dalam10 tahun ke depan energi alternatif ini sudah bisa

memenuhi minimal 50% kebutuhan energi nasional. Jika peta jalan ini bias

dicapai,ekonomi menjadi lebih hemat, degradasi lingkungan bisa dicegah,

dan keragaman ekonomi (termasuk penciptaan lapangan kerja) dapat

ditingkatkan. Kedua, kebijakan ekspor sumber daya alam, misalnya batu

bara dan gas,harus ditinjau ulang dan dihentikan dalam kurun waktu

tertentu.Pemerintah tidak boleh memakai sumber daya alam (mentah)

sebagai sumber penerimaan utama negara.



Kebijakan ini merugikan negara dalam dua hal: pasokan pasar domestik

menjadi terbatas dan memberi amunisi negara lain untuk membangun ekonomi

lebih cepat.Batu bara, misalnya, pada 2012 ini diperkirakan bisa

memproduksi 332 juta ton, tapi yang dijual di pasar domestik hanya 82

juta ton, dengan sekitar 70% dikonsumsi PLN untuk memproduksi listrik.

Hal ini tentu memprihatinkan, sebab hanya 25% batu bara yang dijual ke

pasar domestik. Padahal ekonomi akan lebih efisien apabila memanfaatkan

batu bara ketimbang minyak bumi. Pola yang sama juga terjadi pada gas

yang 42%-nya untuk ekspor, 24% listrik, 19% industri, 11% pupuk,3,8%

peningkatan produksi, dan hanya 0,19% untuk transportasi (Ditjen Migas

dan Kementerian ESDM, 2011).



Perubahan ini tentu membutuhkan kemauan dan keberanian politik yang

sangat kuat. Ketiga, isu nasionalisme dan hubungan pusat-daerah pasti

akan segera menguat, cepat ataupun lambat.Soal nasionalisme,

sepertiyangtelahdikupasdi muka, pemerintah harus menambah porsi

penguasaan Pertamina dalam eksplorasi maupun pengelolaan energi,

sekurangnya 75%.Ini bukan semata soal amanat UUD 1945,tapijuga untuk

memastikan pasokan energi di masa depan.



Seterusnya, desain bagi hasil SDA antara pusat dan daerah juga harus

disempurnakan karena ini berpotensi menjadi konflik sosial/politik.

Kasus ancaman daerah Kalimantan yang akan menghentikan pasokan batu

bara/gas seandainya kuota minyak bersubsidi bagi mereka tidak ditambah

merupakan salah satu contoh potensi konflik tersebut. Dalam kasus batu

bara, Sumatera Selatan,Kalimantan Timur,dan Kalimantan Selatan adalah

tiga provinsi terbesar dalam produksinya sehingga dalam beberapa aspek

bisa dipahami jika mereka menuntut bagi hasil yang lebih proporsional.



Seluruh pekerjaan rumah ini memang tidak mudah dilakukan, tetapi kurang

lebih hanya dengan cara inilah pembangunan ekonomi dapat dijalankan

secara berkesinambungan.



AHMAD ERANI YUSTIKA

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur

Eksekutif Indef





--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.