Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Menonton Kekerasan

Sangat sulit untuk tidak mengatakan negara telah takluk oleh kekerasan.

RADIKALISME yang berujung pada tindakan kekerasan terus saja dipertontonkan kelompok-kelompok tertentu di Republik ini. Eskalasinya bahkan kian memprihatinkan dan semakin mengancam kebinekaan Indonesia.

Celaka tujuh belas, negara tetap saja gamang mengatasinya.
Padahal, tindak kekerasan itu berlangsung di depan hidung para aparat negara secara amat gamblang.

Alih-alih menindak tegas pelaku kekerasan, aparat malah membiarkan, bahkan menonton tindakan itu terjadi. Jika desakan kelompok pelaku kekerasan itu kencang, para korban malah dikriminalisasi.

Sangat sulit untuk tidak mengatakan negara telah takluk oleh kekerasan kendati berkali-kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berseru bahwa negara tidak boleh kalah oleh hal tersebut.

Contoh mutakhir terjadi dalam dua pekan terakhir. Pada Jumat (4/5) malam, polisi membubarkan diskusi buku yang menghadirkan aktivis Irshad Manji di Salihara, Jakarta, atas desakan kelompok yang menolak ide-ide feminis asal Kanada tersebut.

Peristiwa serupa terjadi saat penulis buku Allah, Liberty, and Love itu membedah buku karyanya di Kantor LKIS Yog yakarta pada Rabu (9/5) malam.
Massa yang mencapai sekitar 200 orang tiba-tiba menyerbu Kantor LKIS saat acara berlangsung dan memaksa agar diskusi tidak dilanjutkan.

Peristiwa ketiga terjadi di Dusun Lamuk, Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada Sabtu (12/5). Puluhan orang merusak panggung yang sedianya dipakai untuk tempat perayaan Waisak.

Terakhir, polisi menolak memberikan izin konser Lady Gaga dengan berbagai alasan, yang intinya tidak jauh dari aroma desakan kelompok tertentu.

Rentetan peristiwa kekerasan itu makin menegaskan negara memang absen mengatasi kekerasan. Temuan Setara Institute menunjukkan sepanjang 2011 terdapat 244 kasus pelanggaran terhadap kebebasan dan keyakinan beragama dalam bentuk 299 tindak kekerasan. Jumlah tersebut meningkat daripada jumlah kekerasan yang sama pada 2010 yang baru 117 kasus.

Data tersebut telah menunjukkan bagaimana peta ruang publik yang buram terus terjadi akibat kegamangan negara.
Padahal, negara telah memiliki alat yang cukup untuk menindak kelompok pelaku kekerasan itu.

KUHP kita sudah memberi ruang bagi aparat untuk menindak tegas pelaku kekerasan. Mereka pada hakikatnya adalah pelaku kriminal yang mengangkangi prinsip-prinsip tertib sosial dalam negara demokrasi.

Konstitusi kita memang menjamin kebebasan kepada publik untuk berserikat dan berhimpun. Namun, perkumpulan atau perserikatan itu haruslah berprinsip pada kaidah-kaidah universal, yakni menebarkan kedamaian dan menolak kekerasan.

Ketika kekerasan terus merajalela, ketika ruang publik diliputi kecemasan tanpa ada tindakan tegas, masih relevankah kita bertanya di manakah negara? Masih adakah pemerintah?
Negara punya kewajiban untuk menjawabnya dengan tindakan nyata, tidak peduli apakah pertanyaan itu relevan atau tidak.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/16/ArticleHtmls/EDITORIAL-Menonton-Kekerasan-16052012001036.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.