Kamis, 17 Mei 2012

[Koran-Digital] ARSWENDO : Lady Gaga dan Budaya Gagap

Lady Gaga dan Budaya Gagap PDF Print

Friday, 18 May 2012

Gagal atau tidaknya pentas Lady Gaga di Indonesia nanti, yang kini

"digagakan", sebenarnya tidak penting-penting amat kalau saja kasus ini

mendewasakan kita.





Baik masyarakat umum,dan terutama elite pimpinan pemegang kuasa yang

menentukan do (boleh), atau don't (tidak boleh).Tapi agaknya susah

terjadi karena situasi lebih berada dalam suam-suam kuku. Panas tidak,

dingin tidak. Sehingga selalu berada dalam tata krama yang tidak jelas

walau tindakannya tegas. Atau sebaliknya ketika tata krama atau aturan

jelas, pelaksanaan tidak tegas memihak ke mana.Kasus terakhir ini pada

penghentian diskusi atau bedah buku.



Jelas-Tegas



Adalah Lady Gaga, penyanyi dan entertainer yang dianggap nomor satu

dunia. Dia hanya seorang diri, namun teman-teman yang nomor dua sampai

seratus, bisa berulah sama. Kalau dia dianggap menyajikan erotisme yang

tak sesuai dengan budaya luhur kita, harus jelas ukuran ketidaksesuaian

itu. Jelas dalam pengertian diterima semua pihak yang berkepentingan.



Dengan demikian,rumusan itu berlaku untuk peraga yang lain, baik lokal,

nasional, regional, ataupun internasional. Rumusan yang sama berlaku

konsekuen untuk tampilan dalam tayangan di televisi, di media yang lain.

Karena, apalah artinya membatalkan konser yang berlangsung 2 atau 3 jam

dibandingkan dengan pembiaran ribuan jam sebelumnya dalam sajian yang

dinikmati secara aman.Apalah artinya kalau melarang Lady Gaga, tapi

memperbolehkan seperti Katty Perry—atau siapa pun namanya yang juga

semlohe, dalam lirik maupun busana panggung.



Dengan rumusan yang jelas,para promotor,para pemberi izin, termasuk

kepolisian mempunyai ukuran yang sama untuk melarang atau mengabulkan.

Ini yang harus dijabarkan dengan jelas, bukan berdasar tafsiran

individual atau komunitas.Pada masa lalu semua tata krama terperinci.

Misalnya tidak memperlihatkan pusar, tidak memperlihatkan payudara,

terutama puting, tidak melakukan adegan cium bibir ke bibir, atau

telanjang. Tanpa kejelasan, apalagi hanya mengandalkan tafsiran, semua

kemungkinan bisa terjadi. Akibatnya kita menjadi gagap, tertahan-tahan,

bingung menyatakan yang sebenarnya.



Tak jelas mengatakan mati atau mari,sembuh.Kalau ini sebagai jawaban

bagaimana keadaan yang sedang sakit, maknanya bisa berlawanan. Kasus

Lady Gaga membuktikan kegagapan budaya kita untuk berpikir jernih,hati

bersih, dan mengutarakan dalam bahasa yang fasih makin tersisih. Kita

bertindak berdasarkan tekanan, paksaan, desakan, yang berlaku sesaat

yang bisa menyesatkan semua kalau melihat dari keseluruhan secara total.



Jalan Budaya



Ini yang lebih mencemaskan karena dengan demikian kita semua masih

berada dalam situasi yang tidak benarbenar jelas sehingga ketegasan yang

dilakukan bisa membuat beringas atau telengas.Agaknya situasi seperti

ini yang terciptakan selama ini sehingga terjadi benturan-benturan dan

tak terselesaikan. Entah kenapa kita terseret dan tenggelam dalam

keberadaan yang tak pernah menuntaskan persoalan.



Sedemikian rupa serunya sehingga kita tak pernah belajar dari kasus yang

ada.Batal atau tidak batalnya pentas Lady Gaga tak mengajarkan kita, tak

memberi makna apa-apa, selain kegagapan atau kegalauan yang sama. Untuk

kasus lain yang serupa. Secara pribadi saya bukan fans Gaga. Saya lebih

suka tampilan Soimah, atau gaya singa panggung Nicky Astria, yang teriak

dan jingkraknya penuh semangat menggelora tanpa menimbulkan kecemasan

soal erotis. Namun merasa miris, persoalan ini berlarutlarut dan membuka

luka akan kebersamaan kita berbangsa dan bernegara.



Seakan apa yang terjadi memecah belah dan saling menghadapkan bukan demi

kepentingan bersama. Pada saat seperti itu, kita lupa bahwa negeri ini

mempunyai penyanyi, penata tari, pencipta lagu, penyelenggara

pertunjukan, juga penonton yang andal.Yang kesemuanya membutuhkan ruang,

membutuhkan suasana nyaman untuk berkembang,dengan beberapa

kemudahan.Kemudahan yang seharusnya diberikan oleh negara sehingga bisa

berkembang secara industrial. Hal yang sudah lama terstruktur bahkan di

negeri Amerika Serikat, atau sekarang menjadi contoh nyata, gelombang

budaya dari Korea Selatan.



Kita lupa bagaimana menempatkan para seniman dan pekerja seni, yang

selama ini telah berprestasi dan piawai oleh kekuatan mereka sendiri.

Padahal kalau kekuatan ekonomi kreatif ini—termasuk cabang seni lain

seperti seni lukis,seni komik,seni animasi, juga dangdut—diberi

kesempatan untuk memantapkan kedaulatan berbudaya,banyak hal bisa

terselesaikan. Selain keberadaan mereka menjadi eksis, sekaligus juga

membentengi dan menjadi filter penyaring masuknya tata nilai dan tata

krama yang tidak sesuai dengan keberadaan kita.



Budaya adalah jalan damai, jalan komunikasi atau dialog, dan bukan

kekerasan. Jalan Budaya adalah menang tanpa merendahkan atau meniadakan

yang lain. Jalan budaya bukan perilaku the winner take them all, yang

menang mengambil semua kebenaran, melainkan berjalan bersama dalam

kreativitas kompromi. Jalan budaya perlu dibangun dan dibangunkan

sebagai sikap menghadapi industrialisasi global.



Itu semua bisa dimulai dengan tidak menghabiskan waktu untuk bentrok dan

ngotot memaksakan satu kehendak di atas yang lain. Jalan budaya

mengandaikan ada tata krama yang jelas,yang menjadi ukuran kebersamaan,

dan memperlakukan secara tegas. Sori Ga kalau gue nggak (bisa) nonton lo.



ARSWENDO ATMOWILOTO

Budayawan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/495767/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.