Meluruskan Arah Reformasi PDF Print
Monday, 14 May 2012
Setelah 14 tahun berproses, reformasi Indonesia malah nyaris salah arah.
Reformasi politik cenderung membodohi rakyat. Reformasi hukum
berantakan,sementara reformasi ekonomi sama sekali tidak fokus pada
kepentingan nasional dan urgensi kemandirian.
Belum relevan untuk membahas atau mempertanyakan kapan bangsa ini bisa
menuntaskan semua agenda reformasi, kendati prosesnya sudah berlangsung
lebih dari satu dekade. Bagaimana pun, untuk membahas atau mengkaji
jadual merampungkan reformasi, harus dilihat dulu progresnya selama 14
tahun terakhir. Harus diakui bahwa persepsi publik tentang progres
reformasi terbelah dalam dua pandangan yang sangat kontradiktif atau
berlawanan.Mereka yang diuntungkan oleh kesemrawutan suasana sekarang
mengklaim bahwa reformasi Indonesia mencatat progres yang sangat signifikan.
Sementara kelompok- kelompok tidak memiliki daya untuk berkompetisi
menilai reformasi tidak menghadirkan nilai tambah apa pun.Satusatunya
nikmat dari reformasi yang dirasakan seluruh elemen masyarakat hanyalah
kebebasan, yakni kebebasan berbicara dan kebebasan berserikat. Namun,
manakala tema kajian atau pembahasan spesifik pada reformasi
politik,hukum dan reformasi ekonomi,mayoritas rakyat kecewa karena
reformasi tiga agenda itu tidak memiliki arah yang jelas.Alihalih
mengedukasi, reformasi politik malah lebih menonjolkan praktik membodohi
rakyat.
Benar bahwa hak politik dan kedaulatan rakyat telah dikembalikan kepada
setiap individu. Namun, dominasi politik uang di panggung politik
praktis saat ini harus dilihat sebagai faktor perusak reformasi
politik.Politik uang merampas hak dan mengeksploitasi ketidakberdayaan
sebagian besar rakyat, terutama masyarakat di lapisan terbawah. Pun,
sudah menjadi fakta terbuka bahwa rakyat sangat kecewa dengan praktik
penegakan hukum dalam tahun-tahun terakhir ini. Pisau hukum di negara
ini dirasakan aneh, karena hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Rakyat melihat dengan sangat jelas terjadinya praktik tebang pilih dalam
penegakan hukum.
Kalau negara sampai harus mendirikan institusi ad hoc seperti Komisi
Pemberantasan korupsi (KPK) atau Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, itu
bukti bahwa reformasi hukum terus dirundung masalah dan nyaris tanpa
progres. Kalau liberalisasi tanpa reserve dipilih sebagai menu utama
reformasi ekonomi, harus disadari bersama bahwa Indonesia saat ini
sedang berjudi dengan agenda ketahanan ekonomi dan kemandirian ekonomi.
Berbagai kebutuhan rakyat, dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan
sekunder, dipenuhi dengan produk impor.
Keran impor dibuka selebar- lebarnya, sementara potensi kekuatan ekonomi
rakyat yang dikelompokan dalam komunitas usaha mikro,kecil dan menengah
(UMKM) justru diabaikan. Padahal, pada komunitas UMKM itulah
sesungguhnya basis ketahanan ekonomi negara dan modal dasar untuk
mewujudkan kemandirian. Kesimpulannya, reformasi politik, reformasi
hukum dan reformasi ekonomi memperlihatkan kecenderungan salah arah.
Ekstremnya, tiga agenda reformasi itu belum berada di trek yang benar.
Reformasi Indonesia nyaris berantakan karena beberapa alasan. Paling
utama adalah negara tidak dipimpin oleh negarawan dengan visi kemandirian.
Sangat memprihatinkan karena para pemimpin dan para elite masyarakat
tidak tahu apa itu kepentingan nasional. Kedua, kepentingan jangka
pendek dan kepentingan sempit oknum oknum penyelenggara negara atau
penyelenggara pemerintahan. Ketiga, pemerintahan era reformasi sekarang
sangat akomodatif terhadap kepentingan asing dan tega mengorbankan
kepentingan rakyatnya sendiri. Akibatnya, disadari atau tidak, arah
reformasi Indonesia berbelok atau dibelokan ke arah yang serba tidak
jelas dan salah. Oleh karena itu, terlalu dini mempertanyakan kapan
ketiganya bisa dituntaskan. Sebab, yang harus dilakukan lebih dulu
adalah meluruskan arah tiga agenda reformasi itu.
Untuk itu,tidak diperlukan revolusi. Indonesia hanya harus memilih dan
menunjuk seorang pemimpin dengan kaliber negarawan. Jangan lagi memilih
sosok pemimpin yang mudah terbuai olehpuja-pujipemimpindanpebisnis
asing. Selama ini, pujian yang dialamatkan kepada Indonesia datang dari
pemimpin dan pebisnis asing yang telah mendapatkan keuntungan besar dari
Indonesia. Sangat memprihatinkan karena pemimpin kita tidak bisa
membedakan mana pujian yang tulus dan mana yang menjerumuskan.
Beban Reformasi
Upaya pelurusan proses reformasi memaksa rakyat Indonesia
berhadap-hadapan langsung dengan akumulasi kepentingan yang sangat
besar. Baik kepentingan sempit di bidang politik, kepentingan besar
komunitas koruptor dari sektor hukum dan kepentingan besar ekonomi asing
serta lokal yang diuntungkan oleh liberalisasi pasar dalam negeri.
Tantangan untuk meluruskan arah reformasi ekonomi terbilang kompleks.
Para ekonom independen pernah menyimpulkan, kondisi perekonomian
nasional jangka panjang kian merisaukan.Realisasi program yang tidak
maksimal akibat buruknya koordinasi antarkementerian dan lemahnya
kepemimpinan menyebabkan ruh pembangunan untuk rakyat hilang. Potret
buruk desain dan produktivitas ekonomi nasional bisa dibaca dari
penetrasi produk manufaktur impor ke pasar dalam negeri. Dari peralatan
dapur, mainan anak,alas kaki,TPT, telepon seluler hingga obatobatan.
Pemberian akses masuk tanpa batas untuk produk impor itu secara tidak
langsung menjadi senjata pembunuh UMKM di berbagai pelosok daerah.
Selain itu,ketergantungan pada bahan pangan impor sudah sangat tinggi.
Nilai impor bahan pangan per tahunnya rata-rata di atas Rp50 triliun.
Terkait reformasi hukum, sudah muncul kekhawatiran Indonesia sedang
bergerak mundur. Hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Mereka
yang di atas mengubah hukum menjadi sangat diskriminatif. Hukum kita
tidak berfungsi dengan tegas dan lugas terhadap sejumlah kasus besar,
seperti skandal Bank Century dan mafia pajak. Namun, saat merespons
kasus kecil,hukum begitu 'galak' dan tidak pandang bulu.Tersangka
pencuri cabai pun diinapkan di ruang tahanan polisi. Kecewa oleh hukum
yang diskriminatif itu,sebagian warga di akar rumput memilih caranya
sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang membelit mereka.
Bentrok berdarah dan aksi saling bunuh terjadi di sejumlah daerah,
termasuk di Jakarta. Itulah benih-benih kegagalan fungsi hukum. Kalau
ingin mengukur tantangan dalam meluruskan arah reformasi politik,
dinamika menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta bisa dijadikan indikator.
Terungkap cerita tentang seorang calon gubernur (cagub) yang coba
mendekati sebuah parpol untuk dijadikan kendaraan politiknya. Sang cagub
langsung mundur ketika parpol itu mengajukan angka besarnya cukup
fantastis. Lalu, berapa yang dibutuhkan untuk meraih kursi presiden?
Anda disarankan untuk menguasai dulu badan usaha milik negara (BUMN).
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/494517/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.