Minggu, 13 Mei 2012

[Koran-Digital] Budi Irawanto: Mimpi Buruk bagi Ruang Kebebasan Kita

Mimpi Buruk bagi Ruang Kebebasan Kita
Budi Irawanto, DOSEN PADA JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FISIPOL, UGM, TENGAH MENEMPUH STUDI DOKTORAL DI NATIONAL UNIVERSITY OF SINGAPORE.

Ancaman terhadap kebebasan sejatinya berakar pada ketakutan terhadap perbedaan serta syahwat memonopoli kebenaran.

Serangkaian aksi pembubaran paksa dan pelarangan disertai ancaman serta tindak kekerasan terhadap diskusi buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji merebak di sejumlah tempat. Bermula dari Teater Salihara di Jakarta, pembubaran dan pelarangan diskusi merembet hingga ke LKiS, kampus Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Sejumlah kalangan mengutuk aksi itu karena telah mencederai konstitusi. Tak kurang pula yang menyebut tindakan pelarangan itu mengembalikan langgam politik Orde Baru, yang sarat dengan pemasungan kebebasan. Pendeknya, tengah terjadi penyempitan kembali ruang kebebasan yang kita rebut lewat Reformasi 1998.

Aksi pelarangan itu juga menandai betapa praktek politik kini diwarnai oleh bahasa “moral”. Sebagaimana dinyatakan oleh Chantal Mouffe dalam On Political (2005), kini apa yang disebut politik ditandai oleh pembedaan antara “kami”dan “mereka”, namun bukan berdasarkan kategori politik, melainkan terminologi moral. Kini konflik antara kaum “kiri”dan “kanan”digantikan oleh konflik soal “benar”dan “salah”. Dengan kata lain, relasi antara “kami”dan “mereka”dibingkai dalam kategori “musuh” yang nyaris tak berbagi persamaan prinsip.

Simaklah argumen Front Pembela Islam (FPI) yang menyebut diskusi buku Irshad Manji itu mengajarkan percintaan sesama jenis dan mengandung ajaran sesat (Tempo.co, 4 Mei 2012). Begitu pula, massa Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) yang membubarkan diskusi di LKiS menilai propaganda kebebasan dan lesbianisme Irshad Manji merupakan penistaan dan penodaan terhadap Islam serta propaganda terselubung ateisme.

Maka, mereka yang memfasilitasi diskusi Irshad Manji adalah musuh Islam dan negara (Tempo.co, 9 Mei 2012). Semua argumen itu membingkai perbedaan pendapat di ruang publik sebagai perkara moral: antara yang “benar”dan yang “salah”.

Dalam pernyataannya yang dilansir media setelah pembubaran diskusi di LKiS, Manji memuji Indonesia sebagai model yang patut dicontoh negara muslim lainnya karena toleransi, keterbukaan, dan pluralismenya. Dan ini ia sebutkan dalam bukunya Allah, Liberty and Love. Setelah mengalami beberapa kali tindak kekerasan, Manji melihat Indonesia kini telah berubah. Namun ia tetap optimistis orangorang Indonesia bisa bersatu-padu dalam mempertahankan martabat kemanusiaan.

Ini ditunjukkan tatkala sejumlah orang melindungi Manji dari amukan massa yang membubarkan paksa diskusi bukunya.

Tindakan pembubaran dan pelarangan diskusi tak sekadar mencoreng citra Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar.

Tapi, yang lebih esensial, tindakan itu menggerogoti ruang kebebasan sebagai salah satu sendi demokrasi. Ruang kebebasan, kita tahu, merupakan tempat bertemu dan beradunya gagasan secara terbuka tanpa diliputi rasa takut atau bayang-bayang ancaman. Tanpa ruang kebebasan, demo

krasi merosot menjadi ilusi atau sekadar slogan kosong.

Dalam budaya demokrasi, perbedaan pendapat merupakan keniscayaan. Perbedaan bukan dimatikan, melainkan justru dirawat. Konflik dan ketegangan dikelola secara damai. Lewat adu pendapat, sesungguhnya bisa ditimbang mana gagasan yang jernih dan bernas serta mana gagasan yang ngawur.Yang tak kalah penting, jika tersedia saluran yang absah bagi suara yang berbeda (membangkang), ia tak akan memilih rute kekerasan.

Apa boleh buat, hidup dalam sistem yang demokratis memang terasa bising ketimbang di bawah sistem yang otoriter. Tapi ini pilihan yang tak bisa ditawar jika kita memang memuliakan perbedaan pendapat.
Juga adu pendapat secara bermartabat.
Dalam sistem yang demokratis, berkembang sensibilitas terhadap pluralitas yang senantiasa sarat dengan konflik. Dengan kata lain, mesti ada kesediaan dan kesabaran mendengar suara lain. Filsuf Prancis, Jaques Ranciere, dalam Disagreement: Politics and Philosophy (1999) pernah memberi ilustrasi yang menarik ihwal perbedaan pendapat: “Ketidaksetujuan (disagreement) bukanlah konflik antara mereka yang mengatakan putih dan mereka yang mengata kan hitam, melainkan konflik antara mereka yang mengatakan putih dan mereka yang juga mengatakan putih tapi tak memahami satu sama lain hal yang sama tentang hakikat putih (whiteness).” Maka, setiap ikhtiar memaksakan pendapat lewat ancaman dan kekerasan adalah bukti belum tumbuhnya kultur menghargai perbedaan. Pemaksaan pendapat adalah ladang persemaian benih-benih otoriterisme.

Peniadaan diskusi (perdebatan) mengekalkan hegemoni gagasan mereka yang berkuasa. Tak jarang pemberangusan hak untuk berbeda pendapat berarti pembungkaman terhadap kebenaran. Ini karena gagasan yang diperdebatkan kerap mendekatkan kita pada kebenaran sejati. Karena itu, pluralisasi gagasan bisa mencegah bertakhtanya kebenaran tunggal tanpa batas.

Mesti dicatat, perbedaan bukanlah demi perbedaan itu sendiri. Perbedaan sejatinya jalan bagi pencarian konsensus. Tapi bukan konsensus yang sudah dirancang sebelumnya. Ia bukan bentuk dari “mufakat”yang mendahului proses “musyawarah”ala Orde Baru dulu. Atau konsensus yang dipatok oleh mereka yang lebih berkuasa. Melainkan konsensus sebagai ujung dari serangkaian proses panjang beradu pendapat yang kerap kali melelahkan. Mungkin bukan konsensus yang sepenuhnya bulat.

Mungkin hanya konsensus sementara yang boleh ditimbang ulang. Inilah sebabnya, demokrasi kerap disebut sebagai proses yang terbuka dan senantiasa diwarnai oleh disrupsi (disruption) dan pembaruan terusmenerus (renewal). Dengan kata lain, demokrasi adalah proses yang menjadi.

Akan tetapi, ini berbeda dengan tradisi liberal yang meringkus demokrasi sekadar sebagai prosedur yang netral dan bersifat teknis. Pada saat yang sama, tradisi liberal cenderung mengingkari ketegangan (antagonisme) dalam masyarakat yang pluralistik. Perbedaan sekadar dirayakan, tapi ditampik implikasi politisnya. Akibatnya, prinsip keberbedaan tidak serta-merta diikuti prinsip kesetaraan. Politik tak menjadi perluasan bagi cakrawala kemungkinan dan ketidakmungkinan. Dalam tradisi liberal, perdebatan sekadar menjadi ritual atau prosedur demi menemukan solusi rasional dari setiap konflik.

Sementara itu, kebebasan, kita tahu, bukanlah hadiah cuma-cuma. Ia mesti diperjuangkan terus-menerus. Tak aneh jika ruang kebebasan bisa mekar atau menciut.

Ini bergantung pada sejauh mana komitmen untuk merawat keberbedaan. Ancaman terhadap kebebasan sejatinya berakar pada ketakutan terhadap perbedaan serta syahwat memonopoli kebenaran. Kebebasan senantiasa mengandaikan risiko, ketegangan, sekaligus tanggung jawab etis.

Pada akhirnya, tanpa niat yang kuat untuk merawat kebebasan dan memuliakan keberbedaan, diam-diam sesungguhnya kita membatalkan apa yang telah diperjuangkan lewat Reformasi 1998. Jika pembubaran dan pelarangan diskusi terus kita biarkan, bersiap-siaplah kembali menuju zaman pemberangusan kebebasan. Dan ini tak hanya menjadi mimpi buruk bagi ruang kebebasan, tapi sekaligus demokrasi kita.

http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/05/14/ArticleHtmls/Mimpi-Buruk-bagi-Ruang-Kebebasan-Kita-14052012012013.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.