Minggu, 13 Mei 2012

[Koran-Digital] Burhanuddin Muhtadi: Dilema Partai Demokrat dan Konvensi Capres 2014

Dilema Partai Demokrat dan Konvensi Capres 2014
Burhanuddin Muhtadi Pengajar FISIP UIN Jakarta dan peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Pasti banyak tokoh dari luar partai dan profesional yang tertarik untuk mengikuti konvensi. Selain kredibilitas dan popularitas para tokoh, mereka akan menginvestasikan sumber daya yang mereka punya, termasuk finansial, jaringan, dan pendukung mereka untuk memenangi konvensi.

Konvensi capres yang dilakukan secara terbuka, bebas money politics, dan transparan akan menjadi oase di tengah balada politik yang menghantam Demokrat akhir-akhir ini.“

SUDAH hampir setahun ini Partai Demokrat (PD) dihantam balada politik yang tak kunjung usai.
Kasus korupsi yang menjerat mantan bendahara umum partai mereka, Na zaruddin, terbukti punya andil besar dalam penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap partai yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Nazaruddin's effect tidak hanya menjatuhkan kredibilitas partai, tapi juga menurunkan elektabilitas Partai Demokrat hingga jauh di bawah angka elektoral mereka di Pemilu 2009.

Berdasarkan survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) Maret 2012, elektabilitas Demokrat hanya 13,4%. Memang tingkat keterpilihan Demokrat stagnan dalam tiga survei terakhir, 14% pada Desember 2011 dan 13,7% pada Februari 2012.
Namun, penurunan di bawah angka elektoral itu tak pernah terjadi sebelum kasus Nazaruddin meledak ke publik. Sejak Juni 2011, setelah kasus Nazaruddin meledak dan dia melarikan diri ke luar negeri, tren elektabilitas Demokrat terus merosot.

Nazaruddin juga mengirim `paket serangan politik' yang mendiskreditkan kolega-koleganya di Partai Demokrat, termasuk Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Mirwan Amir, dan Angelina Sondakh. Medan peperangan yang dihadapi elite partai bu kan hanya di bidang hukum.
Mereka juga `diadili' melalui medan perang opini. Opini publik memiliki logika dan premis sendiri.
s Kadang opini jauh lebih kejam k ketimbang fakta hukum itu sendiri.

Realitas berbicara bahwa elite-elite Demokrat yang dituduh Nazaruddin sudah telanjur divonis bersalah oleh opini publik, bahkan ketika KPK belum menetapkan seseorang menjadi tersangka. Akan tetapi, politik bukan hanya persoalan hukum formalistis. Politik adalah persepsi. Dalam politik, perception is much more important than fact. Politik ialah masalah kepercayaan dan legitimasi sosial di mata publik. Opini publik yang tidak ramah terhadap Anas dan kasus hukum yang menjerat Nazaruddin dan Angelina serta dampak baik politik maupun hukum yang menyertainya membuat kans Anas sebagai capres 2014 menjadi menurun drastis.
Dilema Demokrat Kondisi itulah yang mendorong sebagian elite Partai Demokrat seperti Ahmad Mubarok dan Max Sopacua menawarkan konvensi sebagai jalan keluar untuk menjaring calon presiden yang akan diusung pada Pemilu Presiden 2014. Usulan itu sangat realistis karena Demokrat belum memiliki putra atau putri mahkota yang akan diusung sebagai capres dalam pemilu mendatang. Di sisi lain, Demokrat sekarang juga se dang menghadapi dilema pelik untuk menghadapi pentas Pemilu 2014.

Pertama, munculnya Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2009 tidak bisa dilepaskan dari magnet elektoral Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kemenangan Demokrat lebih disebabkan personal appeal, bukan institutional appeal. Munculnya Demokrat sebagai kekuatan elektoral papan atas dalam pemilu lalu sangat bergantung pada popularitas SBY. Namun, SBY secara konstitusional tidak mungkin lagi dicalonkan sebagai presiden pada Pemilu 2014. Selain itu, partai yang terlalu bertumpu pada figur akan mudah sekali terhempas oleh gejala gelembung politik (politics bubble).

Pada saat yang sama, upaya Partai Demokrat untuk mentransformasikan kekuatan elektoral dan karisma personal SBY menjadi kekuatan organisasional partai belum sepenuhnya berhasil. Proses institusionalisasi dan modernisasi partai yang ditandai kerja-kerja penguatan infrastruktur dan manajemen partai, penguatan kinerja dan performa anggota DPR/DPRD, konsolidasi politik di tingkat pusat dan daerah, regenerasi politik dan kesuksesan elektoral baik di pemilu kada maupun pemilu 2014 bukanlah semudah dan secepat membalikkan telapak tangan. Kerja politik itulah yang memungkinkan Demokrat bertahan dalam segala musim.
Namun, hambatan pertama modernisasi partai justru terletak pada perilaku elektoral massa yang masih terperangkap pada ketokohan figur.

Dilema kedua ialah lebarnya kesenjangan elektoral (electoral gap) antara SBY dan tokoh-tokoh di internal Partai Demokrat.
Popularitas Anas Urbaningrum sebagai ketua umum memang meningkat, tapi Nazaruddin's effect membuat tingkat efisiensi awareness dan elektabilitasnya kurang kompetitif. Setali tiga uang dengan itu, populari tas Marzuki Alie, Syarif Hasan, dan lain-lain -meski tidak ter sandung ge tah Nazaruddin--masih jauh panggang daripada api.

Demikian pula dari lingkaran dalam keluarga besar Cikeas yang belum melahirkan tokoh yang memiliki magnet elektoral kuat. Hal itu terjadi karena psikologi publik Indonesia yang cenderung negatif terhadap politik dinasti karena dinilai berbau nepotisme.

Meski belum terlalu maksimal, SBY sebenarnya sudah melakukan pendekatan sentrifugal dengan berusaha memendarkan kekuatan elektoral yang awalnya berpusat ditubuhnya menjadi kekuatan institusi partai yang dia dirikan. Lebih jauh SBY juga mendorong tokohtokoh partai maupun nonpartai untuk bekerja keras agar dilirik sebagai calon presiden. Namun, sejauh ini belum muncul credible alternative yang pantas dilirik publik dalam perhelatan 2014 mendatang.
Pro-kontra konvensi Pada titik ini, usulan konvensi capres Partai Demokrat 2014 menemukan justifikasinya. Konvensi merupakan salah satu indikator utama demokratisasi internal partai. Dalam terminologi ilmu politik, proses seleksi calon pejabat publik, termasuk capres, dapat dipilah menjadi dua, yakni mekanisme pemilihan yang bersifat demokratis dan nondemokratis (Serra, 2006).
Model nondemokratis biasanya melalui negosiasi pintu tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled rooms, yakni hanya segelintir elite yang punya monopoli menentukan calon tanpa melibatkan ruang partisipasi dari kader, apalagi konstituen partai secara luas. Mekanisme demokratis melibatkan primary elections atau konvensi yang terbuka dan fair. Selain tujuan demokratisasi inter nal partai, konvensi berfungsi sebagai solusi pragma tis di tengah kesulitan Demokrat d a l a m mencari tokoh inter n a l yang layak diusung sebagai capres 2014. Konvensi terbuka capres bisa menjadi terobosan penting untuk mengembalikan citra partai yang terpuruk akibat kasus Nazaruddin. Melalui konvensi, Demokrat bisa melakukan `curi start' untuk memanaskan mesin partai jauh sebelum hari H pemilu dimulai. Kader-kader partai sampai pada tingkat terbawah diajak untuk bergerak.
Tokoh-tokoh yang mendaftar akan melakukan banyak kegiatan yang melibatkan infrastruktur partai jika ingin didukung kader Demokrat.

Konvensi menjadi the centre of universe sehingga memicu ketertarik an media nasional dan lokal untuk meliput dan memberitakan kegiatan tersebut. Perhatian publik bisa jadi teralihkan dari hiruk pikuk kasus Nazaruddin dan Angelina ke panggung konvensi yang disulap menjadi praktik demokratisasi internal dalam mencari calon presiden. Jika konvensi dilakukan Demokrat, itu bisa juga menjadi faktor diferensiasi yang membedakan dengan partaipartai lain. Selama ini nuansa nondemokratis masih sangat kental dalam penentuan calon presiden. Praktik oligarki politik yang tidak melibatkan kader di bawah, negosiasi tertutup di belakang layar, dan transaksional selalu mewarnai keputusan partai dalam menentukan capres.

Demokrat juga bisa mengharapkan tokoh-tokoh luar partai yang mendaftar dalam konvensi membawa gerbong dan konstituen mereka agar memilih Demokrat pada Pemilu Legislatif 2014. Sebagai partai pemenang pemilu yang belum memiliki capres definitif, pasti banyak tokoh dari luar partai dan profesional yang tertarik untuk mengikuti konvensi. Selain kredibilitas dan popularitas para tokoh, mereka akan menginvestasikan sumber daya yang mereka punya, termasuk finansial, jaringan, dan pendukung mereka untuk memenangi konvensi. Konvensi capres yang dilakukan secara terbuka, bebas money politics, dan transparan akan menjadi oase di tengah balada politik yang menghantam Demokrat akhir-akhir ini.

Masalahnya ialah usulan konvensi capres masih terlihat belum matang. Di samping mekanisme konvensi yang belum jelas, tawaran konvensi justru dimentahkan elite-elite Demokrat yang lain. Menurut kubu kontra, konvensi dinilai melanggar AD-ART karena kewenangan pe netapan capres Demokrat merupakan otoritas majelis tinggi.

Sebenarnya bisa saja konvensi dilakukan tanpa melabrak konstitusi partai. Misalnya, konvensi dimaknai sebagai salah satu konsiderans saja dalam memutuskan capres mana yang mendapatkan dukungan internal partai.
Kata putus siapa yang bakal ditetapkan sebagai capres tetap merupakan kaveling eksklusif yang dimiliki majelis tinggi. Hal itu persis dengan mekanisme survei yang selama ini menjadi salah satu masukan dan pertimbangan, tetapi keputusan final tetap merupakan kewenangan majelis tinggi.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/14/ArticleHtmls/Dilema-Partai-Demokrat-dan-Konvensi-Capres-2014-14052012014002.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.