Minggu, 20 Mei 2012

[Koran-Digital] CALAK EDU Ayah Hamid

TEUNGKU Abdul Hamid, atau yang dikenal sebagai Ayah Hamid, adalah tokoh

pembaru pendidikan di Aceh. Ayah Hamid merupakan orangtua Ahmad Humam

Hamid (Bang Humam) dan Farhan Hamid, yang sekarang menjadi salah satu

Wakil Ketua MPR. Menyebut Ayah Hamid sebagai salah satu tokoh pembaru

pendidikan di Aceh tentu bukan tanpa alasan. Di zamannya, Ayah Hamid

seorang ilmuwan yang memiliki pengaruh begitu kuat terhadap perjalanan

hidup tokoh Aceh lainnya, yaitu Daud Beureueh.



Dalam buku Pemberontakan Kaum Republik (1990), Nazaruddin Syamsuddin

menyebutkan bahwa Ayah Hamid merupakan salah seorang yang paling

berpengaruh terhadap pemikiran Daud Beureueh. Menurut Nazaruddin, "Ayah

Hamid ini yang membisiki Daud Beureueh untuk melakukan reformasi

pendidikan dari pesantren ke sistem kelas (madrasah)." Dari pelariannya

di Arab Saudi, Ayah Hamid mengirim tulisan dan pemikiran-pemikirannya

kepada Daud Beureuh. Surat dan pemikiran Ayah Hamid kepada Daud Beureueh

dimaknai seba



gai isyarat dan saran untuk mulai memodernisasi sistem pendidikan di

Aceh, yang bagi Daud Beureueh, hal itu kemudian menimbulkan inspirasi

untuk mendirikan Sekolah Adabiyah-setingkat SD--di Sigli, sekolah modern

pertama di Aceh.



Ketika cerita tentang Ayah Hamid ini saya sampaikan kepada salah seorang

utusan dari Autonomous Region of Moslem Mindanao (ARMM) minggu lalu yang

kebetulan bernama Abdul Hamid Ladjakahal, serta-merta dia begitu

semangat untuk mengetahui sejarah perjuangan rakyat Aceh hingga

menikmati kebebasannya saat ini. Beserta tiga rekannya, Abdul Hamid

sengaja melakukan kunjungan ke Sekolah Sukma Bangsa di Bireuen dan Pidie

dalam rangka memperoleh gambaran tentang peran penting pendidikan dalam

menjaga perdamaian di Aceh.



Secara struktural, Abdul Hamid Ladjakahal ialah seorang direktur di

Bureau of Secondary Education, Department of Education ARMM. Karena itu,

ketika memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Aceh, Abdul Hamid

memanfaatkan benar beragam cerita di balik berdi



rinya sekolah, termasuk lebih dekat memahami budaya Aceh melalui

interaksi dengan para siswa Sekolah Sukma Bangsa (SSB). Kesungguhan

itulah yang amat terlihat ketika terjadi dialog antara para siswa dengan

para tamu asal Mindanao. Dia terlihat begitu excited ketika berada di

sekolah, apalagi setelah mendengar bahwa di antara para siswa merupakan

korban konfl ik dan korban tsunami.



Pada salah satu dialog dengan para siswa di SSB Pidie, Hamid bertanya,

mengapa guru-guru di sana muda, cantik, dan ganteng? Dengan nada serius,

seorang siswa bernama Nailus Sa'adah menjawab bahwa itulah salah satu

kelebihan SSB, gurunya muda-muda. Bagi Nailus, jiwa muda para guru SSB

secara psikologis membawa dampak positif. Menurut pengalaman Nailus,

guru di sana sering bertindak sebagai teman, fasilitator, dan kakak

sekaligus. Hubungan mereka tak memiliki kendala



jarak usia, sehingga suasana belajar mengajar menjadi lebih cair dan

menyenangkan.



Setelah mendengar jawaban itu, kontan Abdul Hamid berdiri dan

menghampiri Nailus serta menyalaminya.



Ketika waktu asar tiba, seluruh siswa berkesempatan salat berjemaah

dengan para tamu dari Mindanao. Seusai salat, Prof Sattar, teman Abdul

Hamid, berjalan keliling sekolah serta melihat siswa dan guru yang

sedang memanen sawi hasil



kerja kebun sekolah mereka.



Di tengah jalan, Abdul Hamid bertemu lagi dengan Nailus Sa'adah, siswa

yang menjawab pertanyaannya tadi. Seketika terjadi dialog laksana ayah

dan anak, dan suasananya begitu mengharukan. Mengapa? Tibatiba saja

Abdul Hamid bertanya kepada Nailus, apakah dia termasuk korban konflik

atau korban tsunami sehingga bisa masuk ke SSB.



Nailus dengan datar menjawab dirinya salah satu korban tsunami. "Abi

(Ayah) Hamid," begitu Nailus menyapa, "buat Nailus, tsunami pertama yang

Nailus alami adalah ketika bapak dan ibu bercerai. Nailus sempat kabur

dari rumah mengajak adik, dan tinggal dengan nenek," begitu ceritanya.



"Tetapi ketika tsunami sungguhan terjadi, Nailus kehilangan ibu kandung

dan paman serta sepupu. Pedih rasanya. Tapi, akibat tsunami, masih lebih

mudah bebannya ketimbang



teman-teman Nailus yang menjadi korban konflik. Konflik lebih berbahaya

daripada tsunami." Di akhir dialog, kelihatan sekali Abdul Hamid terharu

dengan cerita Nailus dan menitikkan air mata, sambil memegangi dan

mengusap-usap kepala Nailus. Abdul Hamid seolah tak percaya, ketika di

akhir percakapan itu Nailus berkata, "Tsunami dan konfl ik adalah masa

lalu, dan Nailus tak ingin mengingatnya lagi. Masa depan Nailus sekarang

terbuka lebar, karena di Sekolah Sukma Bangsa, Nailus sadar bahwa nasib

suatu kaum hanya bisa ditentukan oleh mereka sendiri. Nailus ingin terus

belajar mengejar mimpi dan cita-cita yang lebih baik bagi Nailus sendiri

dan adik-adik." Di akhir percakapan, Hamid, yang begitu terkesan dengan

keteguhan dan ketabahan Nailus, sontak mengeluarkan dompet dan memberi

Nailus beberapa ratus ribu rupiah untuk membeli buku. Nailus malu,

mengucapkan terima kasih sambil mencium tangan Abdul Hamid, lalu berlari

kecil ke arah asramanya.



Cerita belum berhenti. Malam



harinya, Nailus membalas kebaikan `Ayah Hamid barunya' dengan sepucuk

surat dan selembar kain sarung milik bapak Nailus. Dalam suratnya,

Nailus menulis, `Ayah Hamid, sarung ini adalah satu dari tiga sarung

pemberian bapak Nailus sebagai bentuk perlindungan bapak terhadap

Nailus. Nailus harap Ayah Hamid memperoleh perlindungan dari Allah dalam

perjalanan pulang ke Mindanao dan berjuang menegakkan Mindanao yang

damai dan bermartabat.' Ketika acara makan malam dihelat sebelum

keesokan harinya kembali ke Mindanao, Abi Hamid Ladjakahal membuat saya

terkagum. Sambil bergetar dan menitikkan air mata, dia mengatakan,

"Dalam perjalanan karier saya sebagai pendidik selama 23 tahun,

kunjungan ke Aceh ialah momen terbaik yang pernah saya peroleh daripada

kunjungan ke negara-negara lain. Saya menyimpan hati saya untuk Aceh dan

masa depan Nailus dan teman-temannya di Sekolah Sukma. Saya berkeinginan

membuat prototyping Sekolah Sukma untuk masa depan anak-anak muslim

Mindanao."



http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/21/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Ayah-Hamid-21052012014021.shtml?Mode=1



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.