Minggu, 20 Mei 2012

[Koran-Digital] Mafia Pengadilan Ganjal Eksekusi Terpidana

Keputusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung diterima pihak beperkara pada hari itu juga.

Pertanyaannya, mengapa hal serupa tidak bisa diterapkan di Mahkamah Agung?

Kejaksaan Agung dan MA perlu membuat KEBIJAKAN KHUSUS di internal masing-masing atau surat keputusan bersama (SKB) untuk menyelesaikan PERSOALAN EKSEKUSI sebagai dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

KEJAKSAAN kerap lamban dalam mengek sekusi terpidana dengan alasan belum menerima salinan putusan secara lengkap dari pengadilan. Kelambanan itu diduga akibat permainan para mafia kasus sehingga salinan putusan tidak segera dikirim.

“Kejaksaan lamban mengeksekusi terpidana, alasannya karena belum menerima salinan putusan pengadilan. Ternyata salinan putusan masih mengendap di pengadilan negeri,“ ungkap Koordinator Bidang Monitoring Pengadilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Jumat (18/5).

Lambatnya proses penyerahan salinan putusan merupakan persoalan klasik akibat buruknya manajemen dan administrasi perkara di lingkungan pengadilan.

Dari pemantauan ICW, salinan lengkap putusan umumnya baru disampaikan pihak pengadilan kepada jaksa selaku eksekutor beberapa bulan bahkan lebih setahun setelah diputuskan. Padahal, regulasi jelas menyebutkan dalam jangka waktu 14 hari setelah diputuskan, salinan putusan harus segera diserahkan ke kejaksaan.

Salinan putusan yang mengendap itu, kata Emerson, ternyata bukan sekadar masalah manajemen perkara dan pengawasan. Indikasi adanya mafia peradilan juga diduga menjadi penyebab lambatnya proses salinan putusan diterima oleh kejaksaan sehingga sejumlah koruptor melarikan diri sebelum dieksekusi.
Informasi bocor Informasi soal vonis 2 tahun penjara terhadap Joko S Tjandra, terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali, diduga bocor sebelum vonis peninjuan kembali secara resmi diumumkan MA. “Kondisi itu lalu dimanfaatkan oleh Joko untuk melarikan diri ke luar negeri,“ ujarnya.

Kejadian yang sama juga dialami Samadikun Hartono, terpidana perkara korupsi BLBI yang diduga kabur seminggu sebelum penjatuhan vonis kasasi yang menghukumnya 4 tahun penjara.

Selain persoalan keterlambatan, lanjut Emerson, sikap pengadilan yang menerima permohonan PK yang diajukan para koruptor yang melarikan diri (DPO) juga patut dipertanyakan. Dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1988 yang ditandatangani almarhum Ali Said, Ketua MA (waktu itu) pada intinya meminta pengadilan menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali. Artinya, permohonan dan atau pemeriksaan di persidangan harus dilakukan sendiri oleh pemohon/terdakwa.

“Namun dalam beberapa perkara, tidak saja menerima pengajuan, tetapi pengadilan dan juga MA mengabulkan permohonan PK dengan membebaskan koruptor yang pernah kabur dan dihukum bersalah di tingkat kasasi.“

Misalnya, Lesmana Basuki, Presiden Direktur PT SBU yang menjadi terpidana perkara korupsi menjual surat-surat berharga berupa commercial paper (CP) sehingga negara dirugikan Rp209 miliar. Pada 25 Juli 2000, MA menjatuhkan vonis 2 tahun penjara, tetapi tidak bisa dieksekusi karena melarikan diri. Saat masuk DPO, terpidana mengajukan PK pada 2004 dan dibebaskan pada 2007.

Hal serupa juga dialami Obed Nego Depparinding, Bupati Kabupaten Mamasa nonaktif. Pada tingkat kasasi, Obed dinyatakan bersalah dan divonis 20 bulan penjara dalam perkara korupsi anggaran sekretariat DPRD Mamasa sekitar Rp1,2 miliar. Proses eksekusi tidak berjalan karena Obed diberitakan kabur dan sempat ditetapkan sebagai DPO. Kemudian secara mengejutkan PK yang diajukannya saat masuk DPO dikabulkan oleh MA dan akhirnya Obed dibebaskan bersama dengan 23 mantan anggota DPRD Mamasa lainnya.

Karena itu, Emerson meminta Kejaksaan Agung mempercepat eksekusi karena tak jarang terpidana justru bebas akibat kelambatan eksekusi. Ia bahkan sempat menyurati Jaksa Agung Basrief Arief agar segera menyikapi kelambanan eksekusi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Adapun alasan yang membuat vonis pengadilan lambat dieksekusi, antara lain kejaksaan mengaku belum menerima salinan putusan, menunggu putusan peninjauan kembali (PK), koordinasi dengan pihak internal dan eksternal, pertimbangan kemanusiaan, dan pertimbangan kondisi atau situasi politik dan keamanan di tingkat lokal.

Emerson menerangkan, pemantauan ICW terhadap pelaksanaan eksekusi koruptor di sejumlah daerah di Indonesia selama 10 tahun terakhir (2002-2012) hingga 26 Maret 2012 menemukan sedikitnya 49 terpidana korupsi belum di eksekusi atau diduga belum dieksekusi meskipun putusannya sudah inkracht.

Emerson meyakini kelambanan pelaksanaan eksekusi oleh kejaksaan itu terjadi karena interpretasi terhadap isi Pasal 270 KUHAP. Pihak kejaksaan cenderung beralasan bahwa eksekusi harus berpedoman pada salinan (lengkap) putusan.

Padahal, Pasal 270 berbunyi ‘Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya’.

Alasan-alasan tersebut jelas tidak sejalan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi

Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Dalam inpres tersebut, khususnya soal strategi bidang penindakan, disebutkan perlunya percepatan penanganan dan eksekusi tipikor dan penguatan koordinasi di antara lembaga penegak hukum, jelas Emerson.
Keberanian eksekutor Karena ada persoalan salinan putusan yang lambat diterima jaksa, Emerson meminta ada koordinasi yang menyeluruh antara Kejaksaan Agung dengan Mahkamah Agung (MA). Ia mengharapkan ada surat keputusan bersama untuk mempercepat proses eksekusi.

“Kejaksaan Agung dan MA perlu membuat kebijakan khusus di internal masing-masing atau surat keputusan bersama (SKB) untuk menyelesaikan persoalan eksekusi sebagai dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi,“ tegas Emerson.

Tak hanya koordinasi, Emerson juga mengharapkan adanya keberanian eksekutor agar tidak ada terpidana yang bebas maupun kabur karena telat dieksekusi. Ia mencontohkan KPK yang berani mengeksekusi dengan hanya mengandalkan petikan putusan, bukan salinan putusan lengkap.

“Bandingkan dengan pelaksanaan eksekusi dari KPK yang dilakukan dengan bermodalkan petikan resmi pengadilan. Dalam kasus korupsi yang melibatkan Eep Hidayat, Bupati Subang nonaktif, tampaknya kejaksaan sudah mulai melakukan proses eksekusi dengan berlandaskan petikan putusan pengadilan.
Kami memberikan apresiasi atas keberanian dan terobosan yang dilakukan oleh kejaksaan dan semoga ini bisa diterapkan pada koruptor yang lain,“ ucap Emerson.

Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh melihat maraknya putusan inkracht yang tidak dijalankan oleh kejaksaan disebabkan lemahnya sistem administrasi di MA. Alasan yang sering muncul saat KY menanyakan hal tersebut kepada hakim adalah lambatnya administrasi di panitera pengadilan.

“Saat kita tanyakan ke hakim, mereka selalu berkelit bahwa berkas telah selesai dan untuk selanjutnya merupakan tugas panitera. Berarti ada sistem administrasi yang berbelit dan harus diperbaiki. Kita harapkan MA membenahi sistem administrasinya,“ ungkap Imam.

Selama ini, kata dia, KY sering mendapat keluhan dari masyarakat mengenai masalah itu, baik secara lisan maupun tertulis. “Hampir setiap ada pertemuan KY dan MA selalu kita sampaikan masalah ini, namun hingga kini tidak ada perubahan,“ ujarnya.

Ia berharap MA di bawah pimpinan Hatta Ali yang muda dan aktif bisa melakukan terobosan terkait kelambanan eksekusi. Langkah ke arah itu bisa dimulai dengan pembenahan administrasi di panitera pengadilan, terutama di lingkungan MA sendiri.

Manajemen perkara di MA, khususnya penyelesaian putusan, jelas berbanding terbalik jika dibandingkan dengan proses serupa di Mahkamah Konstitusi (MK). Di MK, ketika putusan majelis hakim dibacakan, pada hari yang sama salinan putusan langsung dapat diperoleh para pihak dan dapat dilihat di website resmi MK. Kenapa MA tidak bisa seperti itu? (*/SW/P-3)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/21/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Ayah-Hamid-21052012014021.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.