Minggu, 13 Mei 2012

[Koran-Digital] Di Udara Kita, Siapa Berkuasa?

Kolom Andi Suruji

Di Udara Kita, Siapa Berkuasa?

Headline

ilustrasi

Oleh: Andi Suruji

nasional - Senin, 14 Mei 2012 | 09:08 WIB





SUATU kali, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal M Jusuf,

memerintahkan Pangkostranas Mayor Jenderal Himawan Soetanto untuk

menggelar latihan besar-besaran ABRI. Tidak tanggung-tanggung. Ia minta

diterjunkan 30.000 orang paratroop di Natuna.



Gila...! Mungkin begitu pikir Himawan, Panglima Komando Strategi

Nasional. Kepulauan yang sangatremotedi bibir Laut China Selatan dengan

pulau-pulau kecil, hampir tidak mungkin dijadikan lokasi pendaratan

atauairdroplebih dari dua atau tiga batalyon. Ini, Sang Jenderal maunya

30 batalyon.



Karena argumentasi Himawan yang pas, Jenderal Jusuf menurunkan idenya

dan memindahkan ke Batam? Maksudnya Pulau Bintan yang hanya berjarak

beberapa mil dari Batam.



Akhirnya latihan besar-besaran itu dilakukan dari Riau Daratan, Selat

Malaka, Kepulauan Riau, dan Laut China Selatan. Mengapa latihan gabungan

ABRI diadakan di wilayah itu, yang bertetangga dekat dengan Singapura?



"Ya, biar orang di Singapura ngeker-ngeker-lah!" kata Jusuf enteng,

sebagaimana ditulis wartawan senior Atmadji Sumarkidjo dalam buku

"Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit".



Begitulah para pejabat dulu berpikir secara strategis. Wilayah itu

adalah beranda depan Negara Kesatuan RI yang harus ditampakkan dan

dijaga ketat dari ancaman segala penjuru. Laut dan udara NKRI, amat

strategis di sana karena merupakan jalur lalu lintas laut dan udara yang

ramai.



Tetapi apa yang terjadi kini. Laut di sekitar kepulauan Riau bisa

dibilang lebih banyak "dikuasai" pihak asing. Udara pun dikontrol oleh

Singapura. Pesawat Indonesia yang mau mendarat dan terbang dari dan ke

bandara Hang Nadim di Batam, yang nota bene wilayah milik NKRI, lebih

dikontrol dan di-"manage" oleh Singapura melalui Bandara Changi.



Indonesia yang wilayahnya amat luas, mau tak mau harus memiliki sistem

pertahanan nasional yang andal. Sistem pertahanan secara militer maupun

sipil. Salah satunya adalah sektor udara. Lebih spesifik lagi,

sub-sektor angkutan udara untuk melayani kebutuhan mobilitas penduduk.



Dengan kondisi geografis yang berpulau-pulau, besar maupun kecil, dengan

jarak antarkota yang jauh-jauh, transportasi udara di Indonesia memang

harus kuat. Kalau diterjemahkan dalam bahasa agama, takdirnyalah orang

Indonesia selalu atau lebih banyak menggunakan sarana transportasi udara

untuk mobilitasnya.



Bayangkan saudara kita yang bermukim di Sabang, Aceh, ujung barat

Indonesia dan ada keperluan di Merauke, ujung timur Tanah Air, dia butuh

waktu sehari dalam penerbangan. Bisa dikalkulasi berapa hari yang harus

dibuang kalau naik kapal laut dengan menyinggahi berbagai pelabuhan.

Apalagi naik bus, rasanya baru bisa sampai Denpasar.



Dengan demikian, lebih efisien memang jika kita terbang menggunakan

pesawat udara. Apalagi, perekonomian Indonesia terus tumbuh, menggeliat

di tengah kondisi panas-dingin yang menyergap perekonomian global.

Pertumbuhan ekonomi dan bisnis meningkatkan daya beli masyarakat, bahkan

tumbuh jumlah orang kaya baru, kelas menengah tangguh dengan daya beli

kuat. Permintaan angkutan udara meningkat pesat.



Itulah yang membuat maskapai penerbangan baru bermunculan. Pasar pesawat

kian ramai. Perang harga menguat. Jika semula pasar pesawat udara

didominasi Boeing yang mengibarkan bendera Amerika Serikat, dan Inggris

(Eropa) diwakili Airbus, kini muncul petarung di kelas tengah China dan

Rusia dengan Sukhoi.



Pertarungan produsen pesawat terbang menggila. Kepala negara pun

terlibat, walau yang tampak hanya sekadar ikut menyaksikan

penandatanganan kontrak jual beli pesawat. Eh tak ketinggalan calo kelas

kakap bergentayangan. Maklum ini bisnis besar.



Sayangnya, ketika pertarungan di pasar pesawat menggila, dengan harapan

harga tertekan dan pelayanan meningkat, eh Sukhoi jatuh dalam terbang

promosi di kawasan Gunung Salak. Kita prihatin dengan banyaknya korban.

Namun, patut juga kita mengingatkan, kiranya peristiwa itu menyadarkan

dan menggugah bangsa ini. Udara Indonesia jangan dijadikan ruang

"pembantaian" lantaran perang dagang yang mengabaikan keselamatan nyawa

manusia.



http://nasional.inilah.com/read/detail/1860934/di-udara-kita-siapa-berkuasa



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.