Selasa, 08 Mei 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Beranda Kumuh

Tidak usah heran kalau ada anak bangsa ini yang kemudian lebih terpikat pada halaman depan tetangga yang rumputnya lebih hijau, lebih terawat.''

KAWASAN perbatasan sering kali dijuluki sebagai beranda terdepan negara. Akan tetapi, dalam kenyataannya, beranda itu jarang diurus, malah salah urus, sehingga menjadi tempat kumuh.

Salah urus karena terlalu lama pemerintah memandang perbatasan dari sisi keamanan. Setiap persoalan yang muncul di perbatasan selalu diselesaikan melalui pendekatan keamanan. Masyarakat perbatasan hanya dicekoki soal doktrin membela negara, sementara kesejahteraan warga diabaikan.

Pemerintah menyadari kesalahan itu dan mulai mengedepankan pendekatan kesejahteraan dalam membangun perbatasan. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) bisa dipandang sebagai momentum pendekatan kesejahteraan itu.

Pendekatan kesejahteraan untuk wilayah perbatasan didu kung sepenuhnya oleh politik anggaran negara. APBN 2012, misalnya, telah mengalokasikan dana yang tidak sedikit, mencapai Rp3,8 triliun.

Dana berlimpah itu ternyata tersebar di 18 kementerian dan lembaga negara lainnya. BNPP hanya mengantongi Rp450 miliar atau 8,4%. Dana yang semula sangat besar menjadi tinggal `secuil' di tangan BNPP.

Salah urus pun kembali terjadi karena anggaran yang tersebar di banyak instansi itu berpotensi menimbulkan duplikasi pembangunan.

Mestinya, BNPP yang diketuai menteri dalam negeri itu mampu memangkas birokrasi dan menjembatani ego sektoral sehingga dana yang tersebar tersebut dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran warga perbatasan.

Faktanya wilayah perbatasan tetaplah seperti anak tiri, bahkan anak yatim piatu. Warga perbatasan, seperti diberitakan harian ini, masih berkubang dalam kemiskinan sehingga mengancam pindah kewarganegaraan.

Ancaman pindah kewarganegaraan tidak boleh dianggap sebagai angin lalu. Sudah lama rakyat di perbatasan tidak merasakan kehadiran negara dalam penyediaan sarana dan prasana dasar, yaitu listrik, telekomunikasi, air bersih, dan transportasi. Tidak mengherankan jika orientasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga perbatasan lebih banyak ke negara tetangga.

Pembangunan kawasan perbatasan mestinya mampu menggelorakan kebanggaan menjadi orang Indonesia. Selain penyediaan sarana dan prasarana dasar, tidak perlu membangun yang muluk-muluk. Kalau masyarakatnya nelayan, bangunlah pabrik pengolahan ikan. Bila masyarakatnya bertani, bangunlah teknologi pengolahan pertanian. Singkat kata, pembangunan yang dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat perbatasan.

Tanggung jawab membangun perbatasan kini berada di atas pundak BNPP. Namun, pemerintah setengah hati memercayainya. Buktinya ia hanya kebagian secuil anggaran. Hal itu menimbulkan pertanyaan, untuk apa punya badan khusus jika tak berdaya? Mengapa tak dibubarkan saja?
Ibarat rumah, Republik ini mutlak menjadikan perbatasan sebagai halaman depan. Laiknya beranda, perbatasan harus superserius dijaga, didandani, dan dirawat. Jika tidak, perbatasan hanya menjadi beranda kumuh.

Tidak usah heran kalau ada anak bangsa ini yang kemudian lebih terpikat pada halaman depan tetangga yang rumputnya lebih hijau, lebih terawat. Setiap hari berhadapan dengan realitas seperti itu menyebabkan nasionalisme perlahan tapi pasti memudar

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/09/ArticleHtmls/EDITORIAL-Beranda-Kumuh-09052012001037.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.