Minggu, 20 Mei 2012

[Koran-Digital] EDITORIAL Pemberhentian Gubernur Nonaktif

Kita juga tidak ingin PTUN dicap sebagai tempat berlindung bagi para pejabat korup."

MENCOPOT kepala daerah yang terlibat kasus korupsi ternyata bukan perkara mudah. Gubernur/bupati/wali kota yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan tidak serta-merta dapat diberhentikan. Apalagi bila upaya itu dilakukan dengan cara serampangan.

Kasus gagalnya pemberhentian Gubernur nonaktif Bengkulu Agusrin M Najamuddin dan batalnya pelantikan Junaidi Hamsyah sebagai gubernur definitif, pekan lalu, merupakan contoh terbaru betapa tidak sederhananya persoalan itu.

Pekan lalu, pemerintah melalui Keppres No 40/P Tahun 2012 dan No 48/P Tahun 2012 bermaksud memberhentikan Gubernur nonaktif Bengkulu Agusrin M Najamuddin dan melantik wakilnya, Junaidi Hamsyah. Namun, keppres itu tidak dapat dieksekusi karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dalam putusan sela, memerintahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunda pemberhentian dan pelantikan itu.

Keppres tersebut, seperti dikemukakan penasihat hukum Agusrin, Yusril Ihza Mahendra, mengandung kesalahan serta bertentangan dengan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Penerbitan keppres yang membuat Presiden Yudhoyono harus menanggung malu itu dinilai berawal dari ketidakcermatan para ahli hukum tata negara di istana.

Agusrin telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung dengan hukuman empat tahun penjara. Karena tidak puas dengan putusan itu, ia banding dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Pengajuan PK itu menjadi bahan perdebatan apakah PK dapat menunda eksekusi pencopotan Agusrin dan pelantikan Junaidi sebagai gubernur definitif.

Para ahli hukum tata negara istana yang dimotori Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana melihat dari segi substansi bahwa PK tidak dapat menunda eksekusi atas pemberhentian Agusrin.

Sebaliknya, pihak Agusrin dengan pembela Yusril Ihza Mahendra, sebagai penasihat hukum, melihatnya dari aspek acara pidana dan justru menjadikan PK itu sebagai celah untuk melawan pencopotan. Faktanya PTUN berpihak kepada upaya hukum Agusrin dan memerintahkan penundaan atas eksekusi keppres itu.

Kasus Agusrin kembali memperlihatkan semangat pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah tidak diiringi kecermatan, kehati-hatian, dan kompetensi hukum dalam melakukannya.

Sebelum ini, PTUN juga pernah membatalkan surat keputusan menteri hukum dan HAM soal pengetatan remisi bagi koruptor. Karena itu, Presiden Yudhoyono harus mengevaluasi kinerja para pembantunya yang tidak kompeten dan memastikan hal itu tidak terulang kembali. Sanksi atas ketidakkompetenan itu sudah sepantasnya dijatuhkan.

Putusan sela PTUN juga harus dilihat secara kritis. Karena itu, rencana Komisi Yudisial untuk meneliti putusan PTUN itu pun harus didukung. Kita tidak berharap di PTUN terjadi peradilan yang tidak fair dalam kasus itu. Kita juga tidak ingin PTUN dicap sebagai tempat berlindung bagi para pejabat korup

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/21/ArticleHtmls/EDITORIAL-Pemberhentian-Gubernur-Nonaktif-21052012001035.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.