FPI vs JIL jadi pertarungan ideologi, Negara harus lindungi kepentingan
publik
Bagaimana jaminannya mereka bisa tertib di mata negara? "Inilah yang
harus diatur secara tegas dan terukur dalam UU yang baru. Jadi bisa ada
hak-hak kita melakukan aktivitas publik secara kolektif. Itu harus
dibatasi. Ada kewajiban. Makanya negara disitu punya kewenangan hak utk
melindungi kepentingan publik dalam rangka melindungi itu negara diberi
kewenangan sampai memaksa."
RUANG publik Indonesia akhir-akhir ini ramai dengan isu tentang
Indonesia Tanpa FPI versus Gerakan Indonesia Tanpa JIL. Antipati
tersebut erat kaitannya dengan kegiatan maupun aksi dari Front Pembela
Islam (FPI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang saling menuding
masing-masing telah meresahkan masyarakat.
Juru bicara FPI Munarman memandang gerakan tersebut sebagai bagian dari
pertarungan ideologi. Pasalnya, tanpa ideologi yang dibangun oleh
mayoritas bangsa ini maka Indonesia tidak akan pernah terlepas dari
pengaruh bangsa asing.
"Harusnya punya kesadaran ideologis, jangan hanya hal-hal yang sifatnya
pragmatis saja. Yang didorong oleh mereka itu adalah pragmatisme. Itu
maunya ideologi liberalisme. Para ideolognya itu yang bekerja mengambil
di level kebijakan negara sedangkan orang-orang hanya memenuhi
pragmatisme di masyarakat saja. Kita mendorong kesadaran bahwa sangat
penting memiliki ideologi menolak liberalisme," tambah Munarman yang
dihubungi di Jakarta, Selasa (15/5).
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengakui di
pascareformasi semua kelompok bisa melakukan aktivitas apa saja di ruang
publik mengatasnamakan organisasi.
"Ruang publik ini memang belum kita atur secara baik dengan label
organisasi keagamaan, suku adat atau kelompok intelektual. Bahkan kalau
kita lihat judul organisasi, judulnya itu seperti spanduk anti ini anti
itulah. Jadi dari judulnya saja sudah menimbulkan disharmoni," kata
Bachtiar, Kepala Subbidang Organisasi Masyarakat, Direktorat Jenderal
Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Kemendagri kepada gresnews.com di
sela diskusi publik bertajuk �Akuntabilitas Organisasi Civil Society
dalam Revisi UU Keormasan No 8/1985� di Jakarta, Selasa (15/5).
Bachtiar mengingatkan untuk merenungkan kembali apa kondisi carut-marut
seperti ini yang hendak dibangun Indonesia saat merdeka dari penjajahan
pada 17 Agustus 1945.
"Tentunya kita bangun siapa pun itu kelompok masyarakat harus menyadari
bahwa di ruang publik itu bukan anda sendiri, ada kelompok masyarakat
yang lain yang memiliki hak," ungkapnya lagi.
Negara mengatur
Rencana revisi UU Ormas, juru bicara FPI Munarman menyatakan langkah itu
dinilainya ngawur.
"Itulah ngawurnya revisi UU itu. Orang kebebasan berorganisasi kok
diatur-atur. Yang pokok saja yang perlu diatur dan itu di dalam UU yang
lama sudah cukup kok,"
ungkap Munarman.
Dia menuding, ada agenda politik agen-agen liberal di Indonesia terutama
di DPR. Upayanya adalah menginginkan pembubaran Ormas yang dianggap
tidak sesuai dengan paham liberalisme.
"Jadi paham liberalisme yang ingin diterapkan di sini. DPR dan
pemerintah dimasukkan agenda liberalisme dan yang paling tepat adalah
asas bebas saja. Tidak perlu diatur asas tunggal," tambahnya lagi.
Tidak perlu asas terkait agama tertentu? "Pilihannya masing-masing.
Semuanya dibebaskan saja."
Bagaimana jaminannya mereka bisa tertib di mata negara? "Inilah yang
harus diatur secara tegas dan terukur dalam UU yang baru. Jadi bisa ada
hak-hak kita melakukan aktivitas publik secara kolektif. Itu harus
dibatasi. Ada kewajiban. Makanya negara disitu punya kewenangan untuk
melindungi kepentingan publik, dalam rangka melindungi itu negara diberi
kewenangan sampai memaksa," ungkap Bachtiar.
Menurutnya, negara satu-satunya alat yang sah. Pengaturan tersebut harus
diatur dalam undang-undang.
Dia mengakui UU 8 tahun 1985 tentang Ormas memang belum mengatur secara
rinci. Karenanya, kata Bachtiar, pemerintah berharap betul di UU yang
baru ini pengaturan itu menjadi lebih baik. Negara tidak boleh diberikan
cek kosong utk melakukan apa saja. Tapi bukan juga tidak bisa melakukan
apa-apa.
"Tentunya ruang publik ini harus ditata terutama terkait aktivitas
organisasi kemasyarakatan. Nanti harus ada pembatasan. Kan itu juga
diamanatkan di UUD 1945 Pasal 28 J bahwa prinsipnya hak berserikat
berkumpul itu bisa dibatasi melalui UU dengan pertimbangan moral hukum,
agama, demokrasi dan seterusnya," tambah Bachtiar.
Revisi UU Keormasan
Direktur Eksekutif Institute For Strategic and Development Studies M
Aminuddin mendukung pemerintah dan DPR dalam melakukan amandemen UU
Organisasi Masyarakat (Ormas) Nomor Nomor 8/1985. Tetap harus
memperhatikan spirit reformasi civil society dengan mendorong
kemandirian LSM dan Ormas dengan jalan mengurangi birokratisasi dalam
perizinan maupun pembinaan ormas/LSM.
"Meminta UU hasil revisi UU 8/1985 memasukan adanya klausul komisi
negara independen yang mengurus organisasi masyarakat/LSM dan
pemerintah," ungkap Aminuddin pada diskusi yang sama.
Dia mengimbau kepada DPR dan pemerintah dalam menyusun revisi UU
Keormasan bisa memilah persyartan pendirian LSM (seperti yayasan,
lembaga, perhimpunan) dan ormas.
"Karena LSM non-ormas biasanya tidak hirarkis hingga ke daerah-daerah,
sehingga perijinan harus lebih mudah dan ringkas. Karena LSM lebih
organisasi bersifat profesional dan fungsional yang hampir dipastikan
tidak berujuan memobilisasi massa seperti Ormas," ungkapnya lagi.
Sementara Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, Didik J Rachbini menyatakan
demokrasi Indonesia tidak akan terwujud tanpa aktualisasi melalui
organisasi masyarakat (Ormas).
"Kalau sudah saling berhadapan itu ada yang disebut dengan asimetrik
information atau tidak satu level informasinya. Rakyat tidak tahu
hak-hak dia di publik, sementara pemrintah punya akses sepenuhnya,"
ungkap Didik yang juga Calon Wakil Gubernur DKI berpasangan dengan
Hidayat Nur Wahid dalam Pemilukada DKI pada Juli mendatang.
Apa akibatnya? "Kalau pemerintah tahu banyak informasi, rakyat tidak
tahu, ya (pemerintah) seenaknya saja. Akhirnya tidak demokratis."
http://gresnews.com/berita/politik/2034155-fpi-vs-jil-jadi-pertarungan-ideologi-negara-harus-lindungi-kepentingan-publik
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.