Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] FPI vs JIL jadi pertarungan ideologi, Negara harus lindungi kepentingan publik

FPI vs JIL jadi pertarungan ideologi, Negara harus lindungi kepentingan

publik



Bagaimana jaminannya mereka bisa tertib di mata negara? "Inilah yang

harus diatur secara tegas dan terukur dalam UU yang baru. Jadi bisa ada

hak-hak kita melakukan aktivitas publik secara kolektif. Itu harus

dibatasi. Ada kewajiban. Makanya negara disitu punya kewenangan hak utk

melindungi kepentingan publik dalam rangka melindungi itu negara diberi

kewenangan sampai memaksa."





RUANG publik Indonesia akhir-akhir ini ramai dengan isu tentang

Indonesia Tanpa FPI versus Gerakan Indonesia Tanpa JIL. Antipati

tersebut erat kaitannya dengan kegiatan maupun aksi dari Front Pembela

Islam (FPI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang saling menuding

masing-masing telah meresahkan masyarakat.



Juru bicara FPI Munarman memandang gerakan tersebut sebagai bagian dari

pertarungan ideologi. Pasalnya, tanpa ideologi yang dibangun oleh

mayoritas bangsa ini maka Indonesia tidak akan pernah terlepas dari

pengaruh bangsa asing.



"Harusnya punya kesadaran ideologis, jangan hanya hal-hal yang sifatnya

pragmatis saja. Yang didorong oleh mereka itu adalah pragmatisme. Itu

maunya ideologi liberalisme. Para ideolognya itu yang bekerja mengambil

di level kebijakan negara sedangkan orang-orang hanya memenuhi

pragmatisme di masyarakat saja. Kita mendorong kesadaran bahwa sangat

penting memiliki ideologi menolak liberalisme," tambah Munarman yang

dihubungi di Jakarta, Selasa (15/5).



Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengakui di

pascareformasi semua kelompok bisa melakukan aktivitas apa saja di ruang

publik mengatasnamakan organisasi.



"Ruang publik ini memang belum kita atur secara baik dengan label

organisasi keagamaan, suku adat atau kelompok intelektual. Bahkan kalau

kita lihat judul organisasi, judulnya itu seperti spanduk anti ini anti

itulah. Jadi dari judulnya saja sudah menimbulkan disharmoni," kata

Bachtiar, Kepala Subbidang Organisasi Masyarakat, Direktorat Jenderal

Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Kemendagri kepada gresnews.com di

sela diskusi publik bertajuk �Akuntabilitas Organisasi Civil Society

dalam Revisi UU Keormasan No 8/1985� di Jakarta, Selasa (15/5).



Bachtiar mengingatkan untuk merenungkan kembali apa kondisi carut-marut

seperti ini yang hendak dibangun Indonesia saat merdeka dari penjajahan

pada 17 Agustus 1945.



"Tentunya kita bangun siapa pun itu kelompok masyarakat harus menyadari

bahwa di ruang publik itu bukan anda sendiri, ada kelompok masyarakat

yang lain yang memiliki hak," ungkapnya lagi.



Negara mengatur

Rencana revisi UU Ormas, juru bicara FPI Munarman menyatakan langkah itu

dinilainya ngawur.



"Itulah ngawurnya revisi UU itu. Orang kebebasan berorganisasi kok

diatur-atur. Yang pokok saja yang perlu diatur dan itu di dalam UU yang

lama sudah cukup kok,"

ungkap Munarman.



Dia menuding, ada agenda politik agen-agen liberal di Indonesia terutama

di DPR. Upayanya adalah menginginkan pembubaran Ormas yang dianggap

tidak sesuai dengan paham liberalisme.



"Jadi paham liberalisme yang ingin diterapkan di sini. DPR dan

pemerintah dimasukkan agenda liberalisme dan yang paling tepat adalah

asas bebas saja. Tidak perlu diatur asas tunggal," tambahnya lagi.



Tidak perlu asas terkait agama tertentu? "Pilihannya masing-masing.

Semuanya dibebaskan saja."



Bagaimana jaminannya mereka bisa tertib di mata negara? "Inilah yang

harus diatur secara tegas dan terukur dalam UU yang baru. Jadi bisa ada

hak-hak kita melakukan aktivitas publik secara kolektif. Itu harus

dibatasi. Ada kewajiban. Makanya negara disitu punya kewenangan untuk

melindungi kepentingan publik, dalam rangka melindungi itu negara diberi

kewenangan sampai memaksa," ungkap Bachtiar.



Menurutnya, negara satu-satunya alat yang sah. Pengaturan tersebut harus

diatur dalam undang-undang.



Dia mengakui UU 8 tahun 1985 tentang Ormas memang belum mengatur secara

rinci. Karenanya, kata Bachtiar, pemerintah berharap betul di UU yang

baru ini pengaturan itu menjadi lebih baik. Negara tidak boleh diberikan

cek kosong utk melakukan apa saja. Tapi bukan juga tidak bisa melakukan

apa-apa.



"Tentunya ruang publik ini harus ditata terutama terkait aktivitas

organisasi kemasyarakatan. Nanti harus ada pembatasan. Kan itu juga

diamanatkan di UUD 1945 Pasal 28 J bahwa prinsipnya hak berserikat

berkumpul itu bisa dibatasi melalui UU dengan pertimbangan moral hukum,

agama, demokrasi dan seterusnya," tambah Bachtiar.



Revisi UU Keormasan

Direktur Eksekutif Institute For Strategic and Development Studies M

Aminuddin mendukung pemerintah dan DPR dalam melakukan amandemen UU

Organisasi Masyarakat (Ormas) Nomor Nomor 8/1985. Tetap harus

memperhatikan spirit reformasi civil society dengan mendorong

kemandirian LSM dan Ormas dengan jalan mengurangi birokratisasi dalam

perizinan maupun pembinaan ormas/LSM.



"Meminta UU hasil revisi UU 8/1985 memasukan adanya klausul komisi

negara independen yang mengurus organisasi masyarakat/LSM dan

pemerintah," ungkap Aminuddin pada diskusi yang sama.



Dia mengimbau kepada DPR dan pemerintah dalam menyusun revisi UU

Keormasan bisa memilah persyartan pendirian LSM (seperti yayasan,

lembaga, perhimpunan) dan ormas.



"Karena LSM non-ormas biasanya tidak hirarkis hingga ke daerah-daerah,

sehingga perijinan harus lebih mudah dan ringkas. Karena LSM lebih

organisasi bersifat profesional dan fungsional yang hampir dipastikan

tidak berujuan memobilisasi massa seperti Ormas," ungkapnya lagi.



Sementara Ketua Yayasan Wakaf Paramadina, Didik J Rachbini menyatakan

demokrasi Indonesia tidak akan terwujud tanpa aktualisasi melalui

organisasi masyarakat (Ormas).



"Kalau sudah saling berhadapan itu ada yang disebut dengan asimetrik

information atau tidak satu level informasinya. Rakyat tidak tahu

hak-hak dia di publik, sementara pemrintah punya akses sepenuhnya,"

ungkap Didik yang juga Calon Wakil Gubernur DKI berpasangan dengan

Hidayat Nur Wahid dalam Pemilukada DKI pada Juli mendatang.



Apa akibatnya? "Kalau pemerintah tahu banyak informasi, rakyat tidak

tahu, ya (pemerintah) seenaknya saja. Akhirnya tidak demokratis."





http://gresnews.com/berita/politik/2034155-fpi-vs-jil-jadi-pertarungan-ideologi-negara-harus-lindungi-kepentingan-publik



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.