Selasa, 08 Mei 2012

[Koran-Digital] GUN GUN HERYANTO: Antara Puan dan Mega

Antara Puan dan Mega PDF Print

Wednesday, 09 May 2012

Hingga saat ini sejumlah nama kandidat calon presiden (capres) yang

muncul masih berkutat di nama-nama lama. Megawati Soekarnoputri,Wiranto,

Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, dan sejumlah nama pejabat tinggi negara

yang kerap disebut media.



Satu hal menarik dalam konteks ini adalah arah politik Mega dalam

pencapresan dirinya kembali oleh PDIP. Akankah Mega kembali bertarung

pada 2014? Ataukah Mega legawa mengubah perannya dari aktor menjadi king

maker bagi siapa pun yang akan diusung sebagai capres PDIP.



Faktor Mega



Faktor Mega dalam kekhasan politik PDIP bisa menjadi potensi kekuatan

sekaligus kelemahan. Politik yang memapankantrahdanideologifigurbiasanya

membentuk basis tradisional yang loyal pada elite utamanya. Secara

faktual,PDIP masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Mega. Upaya

berbagai pihak baik internal maupun eksternal partai menarik PDIP ke

dalam kekuasaan saat ini, terbukti dipatahkan oleh pilihan sikap politik

Mega.



Kelemahannya, PDIP kerap terjebak pada sistem kepartaian yang feodal,

terutama jika tak mampu mentrans formasikan kekuatan politik figur

tersebut pada bangunan sistem dan kader organisasi. Keinginan banyak

pihak di internal PDIP untuk tetap mencalonkan Mega sebagai presiden

menjadi penanda bahwa putri Bung Karno ini memiliki posisi sangat dominan.



Bahkan bisa dikatakan, PDIP sangat identik dengan sosok Mega dan sulit

menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan alternatif di luar sosok Mega.

Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan referen (referent power)

dari Soekarno. Karena itu, Mega kerap diposisikan tak hanya sekadar

ketua umum dalam pengertian formal organisasional,tapi juga representasi

basis ideologis Soekarnoisme bagi para pendukungnya.



Karena itu, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini

maupun ke depan,terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai

figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini. Faktor

historisitas berjenjang PDIP menempatkan Mega di puncak hierarki otoritas.



Mega sukses menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto dan simpul

utama politik PDIP pascareformasi yang rentan dengan perpecahan karena

kepentingan politik elite di pusat maupun daerah. Bertahannya Mega di

kursi PDIP-1 sejak Orde Baru hingga sekarang menjadi penanda bahwa Mega

memiliki sumber daya otoritatif (authoritativeresources) lebih dibanding

figur lain.



Ada dua kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala ketergantungan

PDIP pada Mega.Pertama,faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling

identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat

kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas terhadap

Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat menjadi perekat agar

kelompok tetap utuh.



Namun, kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan

keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan

afiliatif (affiliative constraints). Menurut Dennis Gouran dalam

tulisannya, The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric

Constraints(1998)batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih

memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak.

Kedua,faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial (lack

of impartial leadership).



Dalam tradisi politik di PDIP,ketaatan kader terhadap Mega tak cukup

memberi ruang bagi munculnya pemimpinan alternatif. Nyaris tidak ada

figur di luar Mega yang mampu memerankan diri sebagai pengontrol dan

dapat mengembangkan dialektika serta kritisisme di internal organisasi.

Situasi ini dengan sendirinya memandatkan banyak prosedur pengambilan

keputusan pada Mega atau orang terdekat Mega sehingga PDIP tumbuh

bergantung pada sosok Mega dan cukup kerepotan menemukan formula alih

generasi setelahnya.



Potensi Puan



Pemilu 2014 sesungguhnya bisa menjadi momentum alih generasi di PDIP.Ada

sosok potensial yang masih muda, mewarisi kekuatan politik Mega dan

cukup bisa diterima oleh banyak kalangan di internal PDIP. Sosok itu

adalah Puan Maharani.Penulis sependapat dengan Taufiq Kiemas, sudah

saatnya Mega memosisikan diri sebagai king maker pada Pemilu 2014.



Ada beberapa keuntungan jika PDIP mencalonkan Puan. Pertama, ia akan

menarik simpati publik dan pemilih. Memunculkan sosok Puan akan

mengesankan terjadi proses regenerasi kepemimpinan di tubuh PDIP. Hal

ini tentu dibutuhkan oleh PDIP karena selama ini terkesan muncul gejala

"group think" yang menyebabkan minimnya alternatif-alternatif pemimpin

di luar Mega. Kedua, pencalonan Puan juga penting untuk menjaga reputasi

Mega.



Sebagaimana diketahui, Mega sudah dua kali kalah telak dalam pemilihan

presiden secara langsung.Brand Mega sebagai figur kandidat akan

mengalami titik jenuh pada Pilpres 2014.Tentu akan sangat riskan jika

Mega tetap maju karena jika kalah lagi untuk ketiga kalinya dalam

pilpres langsung tentu akan mencoreng "current image" Megawati dalam

konstelasi politik nasional. Grafik persentase perolehan suara PDIP pun

dari pemilu ke pemilu kian menurun.



Data menunjukkan, pada Pemilu 1999 PDIP tampil sebagai pemenang.

Perolehan suara PDIP merosot pada Pemilu 2004 yakni hanya 20% dan kian

memburuk pada Pemilu 2009 dengan perolehan 14% suara. Data ini

seharusnya menjadi bahan evaluasi bahwa PDIP perlu berbenah termasuk

mempertimbangkan pemimpin alternatif di luar Mega yang bisa menumbuhkan

impresi dan energi baru guna menggerakkan elektabilitas partai pada

Pemilu 2014.



Ketiga, pencalonan Puan juga akan menjadi investasi politik sangat bagus

bagi PDIP. Kalaupun Puan kalah pada 2014, dari sudut "political

branding",Puan dan PDIP tetap dapat untung yakni popularitas Puan karena

akan menjadi figur harapan di pilpres mendatang. Selain itu, Puan juga

akan mulai terbiasa beririsan dengan segala kompleksitas pencapresan

dirinya di tengah kompetitor lain.



Ini tentu akan menyumbang pengalaman berharga bagi kiprah Puan di

kemudian hari. Jika Mega tetap melaju sementara ada tren titik jenuh

pada pemilih pada Pemilu 2014, upaya apa pun yang dilakukannya akan

berujung pada kegagalan.Tidak ada salahnya Mega mulai mencoba peran baru

sebagai king maker daripada terus memaksakan diri sebagai petarung! ●



GUN GUN HERYANTO

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan

Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/493339/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.