Senin, 14 Mei 2012

[Koran-Digital] JANEDJRI M GAFFAR: MK dan Hukum Progresif

MK dan Hukum Progresif PDF Print

Tuesday, 15 May 2012

Di tengah kondisi hukum masa reformasi yang hingga saat ini masih

mengundang keprihatinan banyak pihak, dunia hukum Indonesia telah

menghadirkan paradigma hukum progresif, yang digagas oleh almarhum Prof

Satjipto Raharjo.



Hukum tidak hanya dilihat secara parsial sebagai ketentuan normatif

dalam aturan tertulis,namun juga dilihat secara komprehensif hingga

aspek realitas berhukum yang harus setia terhadap keadilan dan

kemanusiaan sebagai orientasi utama keberadaan dan bekerjanya hukum.

Pada dasarnya, hukum progresif memiliki dua asumsi dasar. Pertama, hukum

adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Oleh karena itu, tujuan

hukum yang utama adalah membahagiakan manusia sehingga hukum harus

didasarkan pada hati nurani. Kedua, hukum merupakan institusi yang terus

berproses.



Hukum bukan hanya berupa bunyi pasal-pasal yang final, melainkan harus

diadaptasikan dengan konteks sosial yang dinamis. Kedua asumsi dasar

tersebut melahirkan ide bahwa hukum harus prorakyat, prokeadilan,

bersifat responsif, dijalankan dengan kecerdasan spiritual,dan bersifat

membebaskan.



Peran Hakim



Paradigma hukum progresif tentunya dapat diterapkan di semua tahap

kehidupan berhukum, mulai pembentukan hingga penegakan hukum. Karena

itu, semua profesi hukum dapat menjadikannya sebagai kerangka kerja

dalam memaknai dan menjalankan profesi hukum. Sesuai dengan ide-ide

dalam hukum progresif,lembaga peradilan memiliki peran besar dilihat

dari dua aspek. Pertama, lembaga peradilan merupakan pusat bekerja dan

berprosesnya hukum. Putusan pengadilan menentukan bagaimana hukum

dimaknai dan dikembangkan.



Putusan pengadilanlah yang menentukan apakah hukum hanya dilihat dari

bunyi pasal-pasal beku atau dikontekstualisasikan sehingga senantiasa

berproses sesuai dengan dinamika masyarakat. Kedua, putusan pengadilan

menentukan bagaimana wujud nyata hukum yang dirasakan oleh manusia dan

masyarakat. Putusan pengadilan mentransform a s i k a n hukum dalam arti

nilai dan norma menjadi realitas yang harus dihadapi dan dialami oleh

seseorang.



Di sinilah dapat diamati dan dirasakan secara konkret apakah hukum itu

membahagiakan atau menyengsarakan, adil atau sewenang- wenang, responsif

atau represif, serta prorakyat atau digunakan untuk melanggengkan

kekuasaan belaka. Dalam konteks demikian, hakim memiliki peran kunci

yang menentukan ke mana hukum hendak diarahkan.Melalui putusan yang

didasari hati nurani dan menggunakan kecerdasan spiritual, hakim dapat

membendung dan membongkar dominasi paradigma positivistik tekstual.

Bahkan, dengan paradigma hukum progresif, hakim memiliki jalan untuk

menata pertarungan kepentingan di balik norma hukum agar tidak

bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri.



Peran MK



Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu lembaga peradilan pelaku

kekuasaan kehakiman, dinilai telah menggunakan pendekatan hukum

progresif yang dapat dilihat dari berbagai putusan yang mengedepankan

keadilan substantif.Pendekatan hukum progresif oleh MK merupakan suatu

hal yang tidak dapat dihindari, dengan mengingat pada fungsi dan

wewenang yang diemban MK dihadapkan pada realitas hukum saat ini.



Sebagai the guardian of the constitution,para hakim konstitusi dituntut

menegakkan supremasi konstitusi dengan j a l a n menjadikan konstitusi

sebagai ukuran dan pertimbangan utama dalam memutus suatu

perkara.Konstitusi merupakan hukum dasar yang tidak dapat hanya dibaca

dan dimaknai sebagaimana terumuskan dalam pasal-pasal. Konstitusi harus

ditafsirkan dengan mengedepankan nilai-nilai dasar yang dianut serta

senapas dengan spirit konstitusionalisme yang menjadi sukma dari dokumen

konstitusi.



Bahkan,saat konstitusi dimaknai sebagai hasil persetujuan bersama

seluruh rakyat (general agreement), hakim dituntut untuk selalu

mempertimbangkan dinamika masyarakat dalam memaknai teks konstitusi.

Sebagaimana hukum yang selalu berproses, perjanjian sosial juga

senantiasa berproses, tidak berhenti saat konstitusi telah dirumuskan.

Dinamika masyarakat harus dimaknai sebagai bagian dari proses perjanjian

sosial berkelanjutan yang memberikan konteks atas teks konstitusi.



Di sisi lain, dalam menjalankan wewenangnya, MK juga dihadapkan pada

realitas hukum berupa kompleksitas norma hukum yang dibuat dalam

konfigurasi politik dan paradigma hukum yang berbeda- beda.MK dituntut

untuk mereviu berbagai undangundang yang telah mapan dan telah lama

digunakan sebagai instrumen untuk merekayasa masyarakat dan

melanggengkan kekuasaan. Untuk dapat memecah kebekuan tatanan hukum dan

mendinamisasi hukum, agar seiring dengan nilai dan spirit konstitusi

yang telah mengalami perubahan diperlukan pendekatan nonpositivistik,

yaitu paradigma hukum progresif.



Hukum progresif senyatanya telah dianut dalam berbagai putusan MK,

khususnya dalam perkara pengujian undang-undang dan perselisihan hasil

pemilu.Setidaknya sampai saat ini ada beberapa putusan MK yang dapat

diidentifikasi bersifat progresif, yaitu putusan yang membatalkan Pasal

50 UU MK terkait pembatasan UU yang dapat diujikan ke MK hanya UU yang

disahkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945, putusan yang merehabilitasi

hak pilih mantan dan keturunan anggota PKI, putusan terkait calon

independen dalam pemilukada, putusan terkait dengan penentuan calon

terpilih dengan suara terbanyak, putusan yang membolehkan penggunaan KTP

dan paspor untuk memilih dalam pemilu,serta putusan yang memerintahkan

pemungutan dan penghitungan suara ulang dalam Pemilukada Jawa Timur,

serta banyak putusan lainnya.



Namun demikian, tidak semua putusan MK harus menjadi rule breaking atau

mengesampingkan aturan hukum yang ada. Paradigma hukum progresif tentu

tidak boleh dimaknai secara dangkal, dengan melihat bahwa semua norma

hukum yang ada tidak dapat diterapkan karena tidak berorientasi pada

kemanusiaan dan keadilan. Bagaimanapun, norma hukum telah dibuat dan

dilaksanakan oleh lembaga yang representatif dan memiliki legitimasi. MK

tidak akan mengubah negara hukum (rechtsstaat) menjadi negara hakim

(rechterstaat).



JANEDJRI M GAFFAR

Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Kandidat Doktor Ilmu Hukum

pada Universitas Diponegoro





http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/494903/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.