SUATU malam, sehabis isya, sayupsayup suara lantunan gamelan Nyi Laras
Kendeng terdengar di sebuah joglo bernama Omah Kendeng yang berada di
tikungan ujung Dusun Ledok, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah.
Sepintas tidak terlihat sebuah perhelatan tengah berlangsung, karena tak
ada penerangan yang me ncolok. Hanya lampu-lampu yang memang sudah
terpasang di beberapa bagian sudut Omah Kendeng.
Satu per satu orang-orang mulai berdatangan. Ada yang berjalan kaki,
naik motor, atau secara rombongan dengan mengendarai mobil bak terbuka.
Mereka bersalaman lalu masuk ke joglo.
Dari dalam joglo, suara lirih nan pa rau seorang lelaki terdengar
mendengungkan lagu Gugur Gunung, sebuah tembang yang menceritakan
semangat gotong royong dengan tidak memandang status sosial dan agama
untuk bahu-membahu menyelesaikan persoalan atau pekerjaan.
Sejurus kemudian, suara lagu itu menjadi ramai, mirip paduan sua ra yang
merdu. 'Ayo kancakan ca ngayahi karyaning praja.
Kene, kene, gugur gunung tandang gawe. Sayuk rukun bebarengan ro
kancane. Lila lan legawa kanggo mulyaning Negara. Siji (loro) telu
(papat) maju papat papat. Diulungulungake mesthi enggal rampunge.
Holobis kuntul baris, holobis kuntul baris', begitulah lirik dari lagu
Gugur Gunung.
Di dalam Omah Kendeng yang ber ukuran kurang lebih 10x10 meter, sudah
banyak orang yang duduk melingkar. Dengan wajah lugu, mereka
bercengkerama satu sama lain. Laiknya orang dusun, tak akan dijumpai
pakaian jas dan dasi.
Hanya kain sarung dan pakaian sehari-hari yang mereka kenakan.
Pun sebagian lainnya ada yang memakai pakaian serbahitam, khas komunitas
Sedulur Sikep.
Ternyata di malam itu (8/5), Selasa Pahing malam Rabu Pon (penanggalan
Jawa), sedang berlangsung sebuah tradisi Wungon Rebo Pon, yang diadakan
para tokoh masyarakat Pati. Salah satu pesertanya ialah Gunretno, tokoh
pemuda komunitas Sedulur Sikep atau masyarakat Samin.
Ungkapkan dengan seni Satu per satu masyarakat mengungkapkan perasaan
mereka dengan geguritan atau puisi dalam bahasa Jawa. Aziz Wisanggeni,
35, dan Lena, 22, seniman dari Lembaga Seniman Budayawan Mus limin
Indonesia (Lesbumi) Pati, meng ungkapkan perasaan mereka tentang
lingkungan melalui geguritan berjudul Sedekah Bumi.
Aziz dan Lena ingin memprotes kesewenang-wenangan para pengua sa yang
dengan kekuasaan itu melakukan apa saja tanpa memedulikan ekosistem
lingkungan, sehingga fungsi alam menjadi ru sak, hutan gundul, air habis
di eksploitasi, dan sawah menjadi areal pembangunan pabrik-pabrik yang
tidak berpihak terhadap rak yat kecil.
"Ya, dengan seni, warga mencoba mengolah rasa dan mengungkapkan perasaan
mereka tentang ke kacauan yang sedang mereka ala mi, bahkan hiruk
pikuknya kondisi negara." Masyarakat resah, tambah Gunretno, dan mereka
mencoba mencari solusi melalui kearifan lokal untuk menyelesaikan
situasi krisis multidimensi yang terjadi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah sudah tidak berpihak kepada rakyat kecil
dan sering mengeksploitasi lingkungan. Masyarakat sudah ter lalu hidup
sulit, bertahan dari te kanan pemerintahan yang tak kun jung usai.
Menurut Gunretno, Wungon Rebo Pon diharapkan bisa memberikan kesadaran
konstruktif dalam konsep Tri Hita Kirana, yang artinya hubungan manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Tak hanya orang dewasa, malam itu anak-anak dusun juga turut serta
ngudoroso atau mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi dengan
konstruksi pikir dan olah rasa.
Mereka juga membawakan sebuah tembang gambuh. Mereka ingin menceritakan
kehidupan me reka yang merasa cukup dengan apa yang mereka dapatkan.
'Urip neng gunung saben dino ma ngan sego jagung. Badan saras, ayem
tenterem', sepenggal lirik tem bang gambuh yang dibawakan anak-anak dusun.
Markaban, seorang seniman ludruk, juga tak mau ketinggalan. Ia ikut
andil dalam tradisi komunitas Sedulur Sikep, Wungon Rebo Pon.
Melalui uro-uro atau menyanyi untuk menghibur diri sendiri, Markaban
mengutarakan isi hatinya bah wa dalam bekerja janganlah se rakah,
berbagilah dengan yang lain, dan jangan saling menyalahkan karena sebuah
perbedaan.
Se bab, perbedaan itu indah.
Bagi Markaban, melestarikan lingkungan dan alam semesta, seperti
melestarikan Gunung Kendeng, ada kalanya memakai media seni, karena
hidup tanpa seni tidaklah indah. (FU/M-1)
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/12/ArticleHtmls/Kidung-Samin-untuk-Indonesia-12052012024014.shtml?Mode=1
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.