Jumat, 11 Mei 2012

[Koran-Digital] Kidung Samin untuk Indonesia

SUATU malam, sehabis isya, sayupsayup suara lantunan gamelan Nyi Laras

Kendeng terdengar di sebuah joglo bernama Omah Kendeng yang berada di

tikungan ujung Dusun Ledok, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa

Tengah.



Sepintas tidak terlihat sebuah perhelatan tengah berlangsung, karena tak

ada penerangan yang me ncolok. Hanya lampu-lampu yang memang sudah

terpasang di beberapa bagian sudut Omah Kendeng.



Satu per satu orang-orang mulai berdatangan. Ada yang berjalan kaki,

naik motor, atau secara rombongan dengan mengendarai mobil bak terbuka.

Mereka bersalaman lalu masuk ke joglo.



Dari dalam joglo, suara lirih nan pa rau seorang lelaki terdengar

mendengungkan lagu Gugur Gunung, sebuah tembang yang menceritakan

semangat gotong royong dengan tidak memandang status sosial dan agama

untuk bahu-membahu menyelesaikan persoalan atau pekerjaan.



Sejurus kemudian, suara lagu itu menjadi ramai, mirip paduan sua ra yang

merdu. 'Ayo kancakan ca ngayahi karyaning praja.

Kene, kene, gugur gunung tandang gawe. Sayuk rukun bebarengan ro

kancane. Lila lan legawa kanggo mulyaning Negara. Siji (loro) telu

(papat) maju papat papat. Diulungulungake mesthi enggal rampunge.

Holobis kuntul baris, holobis kuntul baris', begitulah lirik dari lagu

Gugur Gunung.



Di dalam Omah Kendeng yang ber ukuran kurang lebih 10x10 meter, sudah

banyak orang yang duduk melingkar. Dengan wajah lugu, mereka

bercengkerama satu sama lain. Laiknya orang dusun, tak akan dijumpai

pakaian jas dan dasi.

Hanya kain sarung dan pakaian sehari-hari yang mereka kenakan.

Pun sebagian lainnya ada yang memakai pakaian serbahitam, khas komunitas

Sedulur Sikep.



Ternyata di malam itu (8/5), Selasa Pahing malam Rabu Pon (penanggalan

Jawa), sedang berlangsung sebuah tradisi Wungon Rebo Pon, yang diadakan

para tokoh masyarakat Pati. Salah satu pesertanya ialah Gunretno, tokoh

pemuda komunitas Sedulur Sikep atau masyarakat Samin.

Ungkapkan dengan seni Satu per satu masyarakat mengungkapkan perasaan

mereka dengan geguritan atau puisi dalam bahasa Jawa. Aziz Wisanggeni,

35, dan Lena, 22, seniman dari Lembaga Seniman Budayawan Mus limin

Indonesia (Lesbumi) Pati, meng ungkapkan perasaan mereka tentang

lingkungan melalui geguritan berjudul Sedekah Bumi.



Aziz dan Lena ingin memprotes kesewenang-wenangan para pengua sa yang

dengan kekuasaan itu melakukan apa saja tanpa memedulikan ekosistem

lingkungan, sehingga fungsi alam menjadi ru sak, hutan gundul, air habis

di eksploitasi, dan sawah menjadi areal pembangunan pabrik-pabrik yang

tidak berpihak terhadap rak yat kecil.



"Ya, dengan seni, warga mencoba mengolah rasa dan mengungkapkan perasaan

mereka tentang ke kacauan yang sedang mereka ala mi, bahkan hiruk

pikuknya kondisi negara." Masyarakat resah, tambah Gunretno, dan mereka

mencoba mencari solusi melalui kearifan lokal untuk menyelesaikan

situasi krisis multidimensi yang terjadi.



Kebijakan-kebijakan pemerintah sudah tidak berpihak kepada rakyat kecil

dan sering mengeksploitasi lingkungan. Masyarakat sudah ter lalu hidup

sulit, bertahan dari te kanan pemerintahan yang tak kun jung usai.

Menurut Gunretno, Wungon Rebo Pon diharapkan bisa memberikan kesadaran

konstruktif dalam konsep Tri Hita Kirana, yang artinya hubungan manusia

dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.



Tak hanya orang dewasa, malam itu anak-anak dusun juga turut serta

ngudoroso atau mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi dengan

konstruksi pikir dan olah rasa.



Mereka juga membawakan sebuah tembang gambuh. Mereka ingin menceritakan

kehidupan me reka yang merasa cukup dengan apa yang mereka dapatkan.



'Urip neng gunung saben dino ma ngan sego jagung. Badan saras, ayem

tenterem', sepenggal lirik tem bang gambuh yang dibawakan anak-anak dusun.



Markaban, seorang seniman ludruk, juga tak mau ketinggalan. Ia ikut

andil dalam tradisi komunitas Sedulur Sikep, Wungon Rebo Pon.



Melalui uro-uro atau menyanyi untuk menghibur diri sendiri, Markaban

mengutarakan isi hatinya bah wa dalam bekerja janganlah se rakah,

berbagilah dengan yang lain, dan jangan saling menyalahkan karena sebuah

perbedaan.



Se bab, perbedaan itu indah.



Bagi Markaban, melestarikan lingkungan dan alam semesta, seperti

melestarikan Gunung Kendeng, ada kalanya memakai media seni, karena

hidup tanpa seni tidaklah indah. (FU/M-1)



http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/12/ArticleHtmls/Kidung-Samin-untuk-Indonesia-12052012024014.shtml?Mode=1



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.