Jumat, 11 Mei 2012

[Koran-Digital] Srawung dalam Komunitas Sedulur Sikep

Pembangunan kesadaran kesejatian diri dari yang batin dan lahir untuk kelestarian lingkungan bisa diwujudkan dalam tradisi srawung. Kekuatan, atau dalam istilah Sedulur Sikep dikenal dengan ajining kuasane dewe, adalah sebentuk KEMAMPUAN yang bisa dijadikan bekal untuk melestarikan lingkungan, pertanian, dan membangun desa.

SRAWUNG adalah sebuah istilah Jawa yang me ngandung arti kumpul atau pertemuan yang dilakukan lebih dari satu orang atau kelompok.

Dalam tradisi komunitas Sedulur Sikep atau masyarakat Samin, tentunya istilah srawung sudah karib di telinga mereka, karena hal itu merupakan media untuk saling bercerita tentang realitas kehidupan.

Srawung tidak hanya dimaknai sebuah perjumpaan.
Dari srawung itulah ada sebentuk rasa yang muncul, yakni belajar. Maka itu, srawung merupakan bagian dari tatanan nilai yang melekat secara khas, dalam khazanah kesadaran di kalangan masyarakat Sedulur Sikep.

Menurut Gunretno, tokoh di kalangan komunitas Sedulur Sikep, dalam srawung, masyarakat bisa saling ngudoroso atau menyampaikan realitas yang terjadi di sekitarnya. Tidak hanya apa yang ada dalam pikiran, apa yang ada dalam perasaan mereka pun semua bisa diungkapkan.

Srawung juga merupakan pengalaman-pengalaman batin yang kadang sulit dibahasakan, tapi terasa di hati.
Maka, dengan adanya srawung inilah semua permasalahan dalam realitas kehidupan mampu diselesaikan secara bersama.

Komunitas Sedulur Sikep juga mengenal banyak sekali khazanah kebudayaan yang bisa digunakan untuk melakukan srawung. Seperti `lek-lekan bayen' atau semalaman tidak tidur ketika ada tetangga yang melahirkan dengan maksud ikut berbahagia dan menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu, ada pula `leklekan manten', atau `lek-lekan' lainnya. Tak kalah penting, media srawung yang oleh Sedulur Sikep disebut wungon.
Wungon Wungon adalah sebuah media untuk mengumpulkan masyarakat di tengah situasi krisis multidimensi, yang beberapa hari lalu (8/5) dilakukan di Omah Kendeng, Dusun Ledok, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Bangkitkan kesadaran wungon mengandung makna bangun dari tidur atau dalam kondisi terjaga maupun sadar. Adapun Rebo Pon adalah weton atau penanggalan dalam kalender Jawa. Jadi secara harfiah, Wungon Rebo Pon adalah sebuah acara lek-lekan yang dilakukan pada malam Rabu Pon.

“Anggugah poro sedulur seng podo sare,“ ujar Gunretno dalam bahasa Jawa, yang artinya membangunkan masyarakat yang tertidur.

Menyadarkan orang yang tidur, bagi Sedulur Sikep, bukanlah membangunkan orang yang tidur dengan mata tertutup, melainkan mengingatkan orang yang lupa atau tidak sadar. Tidur yang dalam bahasa Jawa `sare', menurut Gunretno, adalah di saat orang hilang ingatan, dan sama sekali tidak ingat.

“Mongko wong seng lali kudu diwungonke dan dielingke,“ kata Gunretno, yang artinya, `maka orang yang lupa harus dibangunkan dan diingatkan'. Karena itu, diadakanlah acara wungon yang jatuh pada malam Rabu Pon, sehingga acara tersebut disebut Wungon Rebo Pon.

Ada yang unik dalam Wungon Rebo Pon, karena pendekatan yang digunakan ialah melalui media seni, seperti dengan iringan musik gamelan, kidung-kidung Jawa, geguritan (puisi dalam bahasa Jawa), atau dengan uro-uro (menyanyi untuk diri sendiri dalam bahasa Jawa).

Wungon Rebo Pon merupakan bentuk kearifan lokal yang sampai sekarang masih terus dipertahankan oleh komunitas Sedulur Sikep sebagai media untuk ngudoroso atau srawung antara satu dan lainnya.

Memaknai Wungon Rebo Pon sebagai bentuk srawung atau sebuah modal budaya merupakan usaha memahami kepekaan-kepekaan yang dimiliki masyarakat Sedulur Sikep itu sendiri, sehingga mereka bisa mengorganisasi komunitasnya bahkan sampai kepada warga lainnya.

Dengan ngudoroso, atau mengeluarkan semua gundah gu lana yang dialami warga, baik yang batin maupun fisik, diharapkan tradisi Wungon Re bo Pon bisa menjadi media Re bo Pon bisa menjadi media penghubung yang menyadarkan seluruh manusia akan hubungan transendental, yang oleh komunitas Sedulur Sikep dikenal dengan istilah sangkan paran ning dumadi, `dari mana asal manusia, dan akan ke manakah manusia pada nantinya'.
Ajining kuasane dewe Setiap manusia memiliki kekuatan.
Itulah yang dipahami komunitas Sedulur Sikep. Melalui Wungon Rebo Pon, kesadaran akan kekuatan itu dibangkitkan sehingga bisa digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia.

Gunretno mengakui pembangunan kesadaran Sedulur Sikep dan masyarakat umum memerlukan proses yang panjang. Perlu ketelatenan untuk menyinergikan antara pengalaman batin dan lahir.

“Namun, kita harus tetap membangunkan mereka semua, mengingatkan bahwa setiap manusia itu memiliki kekuatan,“ kata Gunretno.

Kekuatan, atau dalam istilah Se dulur Sikep dikenal dengan aji ning kuasane dewe, adalah se bentuk kemampuan yang bisa dijadikan bekal untuk melestarikan lingkungan, per tanian, dan membangun desa.

Geguritan, uro-uro, dan kidung Jawa yang menjadi khazanah budaya masyarakat desa adalah sebuah alat yang ampuh untuk membangunkan kesadaran masyarakatnya. Dengan begitu, dalam mengungkapkan realitas yang terjadi, mereka menggunakan media tersebut sebagai penghantar.

“Karena dengan begitu, poro sedulur bisa lebih mudah memahami dan mengungkapkan permasalahan mereka dengan perasaan, ketimbang dengan cara yang formal dan dengan hasil yang tidak maksimal,“ ujar Gunretno.

Tindakan srawung Wungon Rebo Pon, dalam rangka mendorong masyarakat secara umum untuk sadar dalam tingkah laku dan memperlakukan bumi seperti ibu yang harus dihormati dan dijaga alam lingkungannya, merupakan kewajiban setiap manusia. (M-1)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/12/ArticleHtmls/Srawung-dalam-Komunitas-Sedulur-Sikep-12052012024021.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.