Jumat, 11 Mei 2012

[Koran-Digital] Yaddy Supriyadi : Ancaman dalam Penerbangan

Ancaman dalam Penerbangan

Yaddy Supriyadi Ketua Ikatan Dosen dan Instruktur Penerbangan Curug



ICAO membagi tahapan dekade keselamatan pe nerbangan dalam tiga tahapan,

yaitu fragile system (1920-1970), safe system (1970-1990), dan ultrasafe

system (1990 ke depan). Dalam tahapan fragile system upayaupaya

peningkatan keselamatan penerbangan diarahkan kepada manajemen risiko

individual dengan mengedepankan pelatihan-pelatihan yang intensif.



Pendekatan itu digabungkan dengan mengambil pembelajaran dari

hasil-hasil investigasi kecelakaan pesawat. Pada kurun waktu ini terjadi

satu kecelakaan setiap seratus kegiatan penerbangan.



Dalam tahapan safe system peningkatan keselamatan penerbangan dilakukan

melalui pendekatan teknologi dan regulasi, yaitu teknologi penerbangan

yang makin canggih dan regulasi yang semakin ketat. Dalam periode itu

pembelajaran diambil dari hasil-hasil investigasi insiden di samping

investigasi kecelakaan. Target kecelakaan ialah satu kecelakaan setiap

sepuluh ribu penerbangan.



Dalam tahapan ultrasafe system pendekatan yang dilakukan ialah

peningkatan keselamatan dengan pola manajemen bisnis (safety management

system). Pembelajaran bukan hanya dari hasil-hasil investigasi

kecelakaan dan insiden, melainkan juga dari hasil-hasil observasi terha

dap operasi normal penerbangan sehari-hari. Dalam kurun waktu itu

diharapkan kecelakaan fatal hanya ter jadi satu kali dalam sejuta

penerbangan.

Ultra = safe system Sungguh sangat tragis, di celah program ultrasafe

system ICAO, dengan ban dar udara dan ATC serta maskapai penerbangan

harus secara bertahap melaksanakan SMS (safety management system) kita

dihadapkan pada realitas tragis pesawat angkut komersial Sukhoi Superjet

100 (SSJ100) yang sedang mempromosikan diri. Dalam dunia penerbangan

kita tidak boleh bertanya siapa yang salah.



Pertanyaan siapa yang salah ialah pertanyaan pidana yang sangat tidak

efektif dalam upaya peningkatan keselamatan penerbangan. Pertanyaan yang

benar ialah apa yang salah? Ketika ada indikasi human error dalam suatu

kecelakaan, investigasi justru baru dimulai, yaitu apa yang salah dalam

sistem penerbangan? Human error merupakan konsekuensi sistem yang kurang

baik dan sistem memang tidak pernah sempurna karena di dalamnya terdapat

berbagai konflik dan kontradiksi.



Dalam tahapan safe system ICAO dikatakan bahwa pada bahwa pada kurun

waktu 1970-1990 pendekatan yang dilakukan ialah investigasi insiden.

Pendekatan itu berdasarkan pada teori yang mengatakan dari 600 insiden

bisa terjadi satu kecelakaan fatal.



Negara kita telah mencantumkan kewajiban melaporkan setiap insiden dalam

Undang-Undang Penerbangan No 1 Tahun 2009. Pelaksanaan wajib lapor dan

analisisnya bukan pekerjaan mudah. Negara kita sangat luas dengan

ratusan bandar udara dan kemungkinan ribuan insiden per tahun.

Pelaksanaan investigasi insiden memerlukan kuantitas dan kualitas sumber

daya manusia dan perubahan struktur organisasi.



Pelaksanaan investigasi insiden juga sangat berkaitan erat dengan

budaya. ICAO membagi negara dalam tiga tahapan budaya penerbangan, yaitu

patologis, birokrasi, dan generatif. P e SENO laksanaan wajib lapor dan

investigasi insiden tidak dapat dilaksanakan di negara yang masih dalam

tataran patologis dan birokrasi.

Di negara patologis laporan insiden selalu disembunyikan dan kegagalan

(failures) ditutupi. Di negara birokrasi laporan insiden diabaikan dan

kegagalan dimaafkan tanpa penelitian. Di negara generatif laporan

insiden selalu dicari dan kegagalan diteliti dengan cermat untuk

kemudian diperbaiki.

Situational awareness Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam

penerbangan ialah situational awareness, yaitu faktor-faktor yang

merupakan ancaman (threat) yang harus menjadi perhatian penerbang. ICAO

telah mengungkapkan beberapa faktor tersebut, yaitu passengers, terrain,

ATC, call sign, time pressure, flight diversion, system malfunction,

missed approach, automation, airport, heavy traffic, ground crew,

maintenance, weather, cabin crew, dan distraction.



Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan penerbang, konsekuensi dan

risikonya dikalkulasi, dan diambil tindakan-tindakan yang diperlukan

sehingga faktor-faktor tersebut tidak membentuk human er ror. Pengelo

laan an caman (threat manage ment) yang tidak benar akan menumbuhkan

human error dan pengelolaan kesalahan manusia (human error management)

yang tidak benar akan menumbuhkan gerakan pesawat yang tidak dikehendaki

(undesired state of aircraft). Pengelolaan yang tidak benar terhadap

gerakan pesawat yang salah itu akan menumbuhkan kecelakaan atau insiden.



Dalam penerbangan SSJ100, ancaman yang harus diwaspadai penerbang ialah

terrain (gunung, bukit yang tidak diketahui dengan baik oleh penerbang),

heavy traffic (lalu lintas udara yang padat di Jakarta Control Area dan

Jakarta Control Zone), time pressure (tekanan untuk melakukan demo

berkali-kali), weather (cuaca di sekitar Jakarta yang masih musim hujan,

banyak pembentukan awan), dan system malfunction (sistem peringatan dini

atau ground proximity warning system/GPWS ketika terbang terlalu rendah

yang mungkin tidak berfungsi).



Tidak mengenal terrain (bukit, gunung) dengan baik akan menumbuhkan

human error, yaitu minta turun ke ketinggian 6.000 kaki. Bila human

error ini tidak dikelola dengan baik (tidak dikoreksi teman sejawat),

jadilah gerakan pesawat yang tidak benar, yaitu turun ke ketinggian

6.000 kaki. Bila gerakan tidak benar itu tidak dikoreksi dengan baik

melalui GPWS, jadilah tragedi menabrak gunung.



Dalam dokumen Human Factors ICAO tentang Organisasi dan Manajemen

diungkapkan tentang kasus DC-10 yang menabrak Gunung Erebus di Kutub

Selatan. Pesawat tersebut dalam penerbangan wisata (joy flight) membawa

penumpang yang ingin melihat gunung di Kutub selatan. Dalam hasil

investigasi diungkapkan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi dalam

kecelakaan ialah keputusan manajemen yang memasang kapten pilot dan

kopilot yang sama-sama belum pernah terbang ke daerah tersebut sehingga

ketika terjebak fenomena white-out, pilot tidak menyadari pesawatnya

menuju dan kemudian menabrak gunung.



Mengapa SSJ100 menabrak gunung? KNKT tentunya nanti yang akan memberikan

jawaban. Semoga kecelakaan itu bisa menjadi bahan pembelajaran di masa

depan.



http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/12/ArticleHtmls/Ancaman-dalam-Penerbangan-12052012025003.shtml?Mode=1



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.