Selasa, 08 Mei 2012

[Koran-Digital] MAKMUR KELIAT: Ekonomi Politik Pembatasan BBM Bersubsidi

Ekonomi Politik Pembatasan BBM Bersubsidi PDF Print

Wednesday, 09 May 2012

Keputusan pemerintah yang berencana memberlakukan hari tanpa BBM

bersubsidi pada bulan Mei ini adalah keputusan baik. Keputusan itu

menyiratkan adanya komitmen untuk melakukan disiplin fiskal.



Pembatasan diharapkan akan mengurangi subsidi BBM yang kini telah

mencapai angka Rp225 triliun. Dengan keputusan ini pembuat kebijakan

mengharapkan rasio defisit anggaran terhadap PDB akan tetap dapat

terjaga,yaitu tetap di bawah angka normatif kesepakatan Maastricht

(Maastricht Treaty): sebaiknya tidak boleh melebihi tiga persen.Namun

keputusan ini tidak akan memecahkan dua masalah serius yang telah

mewarnai struktur fiskal dan kebijakan energi Indonesia.Tulisan ini

mencoba mengidentifikasi dan menguraikan dua masalah tersebut.



Pajak



Pertama, wacana tentang subsidi BBM adalah sepihak (one-sided view).

Disebut pandangan sepihak karena tidak melihat sisi pendapatan negara.

Sebagai misal, penghilangan subsidi—yang angkanya kini berada di sekitar

14,53% dari total anggaran belanja negara—tentu saja akan meringankan

beban APBN.Namun besaran persentase subsidi ini dilakukan karena tidak

mengubah struktur penerimaan negara dari sektor pajak.



Catatan yang ada pada penulis menunjukkan bahwa persentase pajak dalam

penerimaan APBN adalah sebesar Rp1.016,2 triliun atau sekitar 65,63%

dari total APBN.Angka penerimaan pajak ini kira-kira setara dengan

11,87% dari PDB Indonesia.Besaran rasio pajak terhadap PDB seperti ini

tentu saja sangat kecil dan tidak wajar jika dibandingkan dengan

persentase penerimaan pajak di negara-negara berkembang lain.



Studi yang dilakukan IMF, misalnya (lihat IMF Country Report No.11/310

October 2011), menunjukkan bahwa China yang memiliki pertumbuhan ekonomi

yang tinggi mencapai angka rasio pajak terhadap PDB sebesar 18,5%.

Sedangkan Malaysia mencapai angka 15,7%. Karena itu persentase subsidi

akan menjadi kecil seandainya penerimaan pajak dapat diperbesar.



Sebagai misal, jika rasio penerimaan pajak terhadap PDB dapat

ditingkatkan menjadi 20%,simulasi sederhana yang penulis lakukan

menunjukkan jumlah penerimaan pajak di APBN tentu saja akan meningkat

menjadi sekitar Rp1.900 triliun.Pada gilirannya persentase subsidi pasti

akan menjadi turun di bawah sepuluh persen dari APBN. Bahkan banyak

persoalan infrastruktur di tingkat sektoral akan dapat diselesaikan.



Namun, wacana tentang subsidi BBM sepertinya tidak pernah menyentuh

sudut pandang seperti ini. Dari perspektif ekonomi politik ada dua

argumen utama mengapa kapasitas negara dalam penerimaan pajak ini tampak

begitu rendah. Argumen pertama, adanya pandangan bahwa pajak yang besar

akan membuat Indonesia tidak menarik bagi para pemilik modal.



Pandangan seperti ini sebenarnya secara empirik tidak memiliki pijakan

yang kuat, dan juga tidak, mencerminkan pandangan ideologis dominan yang

dianut oleh lembaga keuangan internasional (IMF). Secara empirik—seperti

yang sudah dipaparkan oleh laporan IMF—China ternyata mampu melakukan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi rata-rata 10% walaupun rasio pajak

terhadap PDB berada pada angka 18,5%.



Secara ideologis— jika pemerintah memang diinspirasikan oleh semangat

Konsensus Washington- IMF—tidak pula perlu untuk terlalu mencemaskan

dampak dari peningkatan besaran rasio pajak terhadap PDB itu.

Salahsaturekomendasiyang diberikan Konsensus Washington- IMF sebenarnya

adalah memperkuat kapasitas negara dalam pemungutan pajak.



Reformasi pajak berarti akan memperkuat ideologicalcredentialdari

pembuat kebijakan dalam pengelolaan ekonomi makro Indonesia di mata

lembaga keuangan internasional itu. Argumen kedua, fenomena kapasitas

negara yang lemah dalam perolehan pajak secara politik menyampaikan

pesan adanya "negara dalam negara".



Pesan politik seperti ini berangkat dari adanya spekulasi yang merebak

bahwa sebenarnya tanpa perlu mengubah UU Pajak yang ada, tapi lebih

mengedepankan pemberantasan mafia koruptor di sektor pajak, terdapat

potensi besar untuk meningkatkan persentase ini hingga mencapai angka

20% itu. Spekulasi ini semakin menguat karena menurut undangundang tidak

dimungkinkan lembaga negara apa pun di negeri ini melakukan audit

terhadap penerimaan pajak negara.



Dengan kata lain, terdapat masalah yang sangat serius dalam transparansi

pajak di Indonesia. Jika spekulasi angka 20% ini benar adanya, maka

terdapat penguapan potensi penerimaan pajak di Indonesia sekitar 8-9%.

Dari sisi politik, angka 8-9% ini menyampaikan sinyal yang sangat

serius. Ia tidak hanya menyampaikan pesan bahwa ketidakmampuan

administratif dari aparat pajak.



Lebih dari itu, penguapan itu juga mungkin menyampaikan pesan tidak

adanya monopoli negara dalam pemungutan pajak. Ini berarti pula ada

"kekuasaan besar",seperti negara dalam negara,yang berseliweran

menguasai ekonomi politik negeri ini. Kekuasaan besar itu, menurut

dugaan penulis, kemungkinan besar telah muncul dalam suatu jaringan

lintas institusi yang menembus eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.



Dalam sosok penampakan fisik jaringan itu dapat dianalogikan dengan

suatu hewan octopussy raksasa yang bersaing dengan negara dalam

pemungutan pajak. Jaringan inilah yang kemungkinan besar telah

menggiring wacana subsidi di APBN hanya dipahami dalam sisi pengeluaran

dan tidak menyentuh sisi pendapatan.



Keganjilan



Kedua,wacana tentang pembatasan subsidi BBM tidak menyentuh sejumlah

keganjilan (peculiarities) yang terjadi dalam kebijakan

energi.Keganjilan pertama adalah investasi di sektor migas meningkat

setelah UU Nomor 22/2001 tentang Migas diberlakukan. Pada tahun 2001

investasi adalah sebesar USD1.076 juta dan melonjak tiga kali lipat

menjadi USD3.764 juta pada tahun 2009.



Namun mengapa produksi minyak menunjukkan penurunan.Untuk kurun waktu

yang sama, tercatat angka sebesar 1.252.000 barel pada 2002 dan menurun

menjadi 979.0000 barel pada 2009.Bagaimana kita bisa menjelaskan

keganjilan penurunan ini. Apakah peningkatan ini karena investasi

terbanyak dilakukan di sektor gas dan bukan minyak? Keganjilan kedua

terkait dengan biaya produksi.



Catatan yang penulis peroleh menunjukkan peningkatan biaya produksi juga

meningkat tajam. Jika pada tahun 2002, biaya produksi migas yang

tercatat adalah sebesar USD1.676 juta, maka pada tahun 2009 meningkat

menjadi USD6.353 juta.Peningkatan hampir mencapai enam kali lipat.

Peningkatan ini sebenarnya akan menjadi steril terhadap isu politik

dengan dua "jika".



Yang pertama, jika bisa dibuktikan bahwa hal ini tidak terkait dengan

isu manipulasi dalam ketentuan cost-recovery dalam sistem kontrak bagi

hasil yang ada saat ini.Yang kedua, jika bisa dibuktikan bahwa

peningkatan biaya produksi adalah karena memang eksplorasi dan

eksploitasi yang wajar.Namun dua jika ini hanya terpenuhi jika audit

untuk transparansi dalam penerimaan pajak negara dapat dilakukan.



Keganjilan ketiga, peran dari negara dalam produksi minyak tampak

terpinggirkan. Andil Pertamina dalam produksi minyak yang sekitar angka

900 ribu barel itu hanyalah sekitar 120.000 barel. Hal ini merupakan

konsekuensi dari kuatnya peran swasta—baik asing maupun nasional—dalam

produksi minyak Indonesia. Catatan yang penulis peroleh menunjukkan

pertamina hanya menguasai sekitar 15%.



Sisanya dihasilkan oleh pihak swasta. Dalam situasi seperti ini tidak

mengherankan jika kebijakanenergi (energypolicy), khususnya

terkaitdenganBBM, hanya ditempatkan sebagai variabel independen dari

kebijakan anggaran( budgetpolicy). Alasannya sangat sederhana. Tangan

negara yang 15% itu terlalu kecil untuk mendikte 85% itu.



Pertanyaan yang tertinggal, apakah terdapat baku kait antara sebab

pertama (ketidakmpuan negara memonopoli pajak) dengan sebab kedua

(keganjilan dalam kebijakan energi) merupakan sesuatu yang menarik untuk

dicermati.Namun yang pasti adalah dua sebab yang diidentifikasikan ini

menunjukkan kebijakan pembatasan penggunaanBBMbersubsidisangat myopic

atau tidak berorientasi jangka panjang.●



MAKMUR KELIAT

Pengajar Ilmu Hubungan Internasional,

FISIP, Universitas Indonesia



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/493335/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.