Ekonomi Politik Pembatasan BBM Bersubsidi PDF Print
Wednesday, 09 May 2012
Keputusan pemerintah yang berencana memberlakukan hari tanpa BBM
bersubsidi pada bulan Mei ini adalah keputusan baik. Keputusan itu
menyiratkan adanya komitmen untuk melakukan disiplin fiskal.
Pembatasan diharapkan akan mengurangi subsidi BBM yang kini telah
mencapai angka Rp225 triliun. Dengan keputusan ini pembuat kebijakan
mengharapkan rasio defisit anggaran terhadap PDB akan tetap dapat
terjaga,yaitu tetap di bawah angka normatif kesepakatan Maastricht
(Maastricht Treaty): sebaiknya tidak boleh melebihi tiga persen.Namun
keputusan ini tidak akan memecahkan dua masalah serius yang telah
mewarnai struktur fiskal dan kebijakan energi Indonesia.Tulisan ini
mencoba mengidentifikasi dan menguraikan dua masalah tersebut.
Pajak
Pertama, wacana tentang subsidi BBM adalah sepihak (one-sided view).
Disebut pandangan sepihak karena tidak melihat sisi pendapatan negara.
Sebagai misal, penghilangan subsidi—yang angkanya kini berada di sekitar
14,53% dari total anggaran belanja negara—tentu saja akan meringankan
beban APBN.Namun besaran persentase subsidi ini dilakukan karena tidak
mengubah struktur penerimaan negara dari sektor pajak.
Catatan yang ada pada penulis menunjukkan bahwa persentase pajak dalam
penerimaan APBN adalah sebesar Rp1.016,2 triliun atau sekitar 65,63%
dari total APBN.Angka penerimaan pajak ini kira-kira setara dengan
11,87% dari PDB Indonesia.Besaran rasio pajak terhadap PDB seperti ini
tentu saja sangat kecil dan tidak wajar jika dibandingkan dengan
persentase penerimaan pajak di negara-negara berkembang lain.
Studi yang dilakukan IMF, misalnya (lihat IMF Country Report No.11/310
October 2011), menunjukkan bahwa China yang memiliki pertumbuhan ekonomi
yang tinggi mencapai angka rasio pajak terhadap PDB sebesar 18,5%.
Sedangkan Malaysia mencapai angka 15,7%. Karena itu persentase subsidi
akan menjadi kecil seandainya penerimaan pajak dapat diperbesar.
Sebagai misal, jika rasio penerimaan pajak terhadap PDB dapat
ditingkatkan menjadi 20%,simulasi sederhana yang penulis lakukan
menunjukkan jumlah penerimaan pajak di APBN tentu saja akan meningkat
menjadi sekitar Rp1.900 triliun.Pada gilirannya persentase subsidi pasti
akan menjadi turun di bawah sepuluh persen dari APBN. Bahkan banyak
persoalan infrastruktur di tingkat sektoral akan dapat diselesaikan.
Namun, wacana tentang subsidi BBM sepertinya tidak pernah menyentuh
sudut pandang seperti ini. Dari perspektif ekonomi politik ada dua
argumen utama mengapa kapasitas negara dalam penerimaan pajak ini tampak
begitu rendah. Argumen pertama, adanya pandangan bahwa pajak yang besar
akan membuat Indonesia tidak menarik bagi para pemilik modal.
Pandangan seperti ini sebenarnya secara empirik tidak memiliki pijakan
yang kuat, dan juga tidak, mencerminkan pandangan ideologis dominan yang
dianut oleh lembaga keuangan internasional (IMF). Secara empirik—seperti
yang sudah dipaparkan oleh laporan IMF—China ternyata mampu melakukan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi rata-rata 10% walaupun rasio pajak
terhadap PDB berada pada angka 18,5%.
Secara ideologis— jika pemerintah memang diinspirasikan oleh semangat
Konsensus Washington- IMF—tidak pula perlu untuk terlalu mencemaskan
dampak dari peningkatan besaran rasio pajak terhadap PDB itu.
Salahsaturekomendasiyang diberikan Konsensus Washington- IMF sebenarnya
adalah memperkuat kapasitas negara dalam pemungutan pajak.
Reformasi pajak berarti akan memperkuat ideologicalcredentialdari
pembuat kebijakan dalam pengelolaan ekonomi makro Indonesia di mata
lembaga keuangan internasional itu. Argumen kedua, fenomena kapasitas
negara yang lemah dalam perolehan pajak secara politik menyampaikan
pesan adanya "negara dalam negara".
Pesan politik seperti ini berangkat dari adanya spekulasi yang merebak
bahwa sebenarnya tanpa perlu mengubah UU Pajak yang ada, tapi lebih
mengedepankan pemberantasan mafia koruptor di sektor pajak, terdapat
potensi besar untuk meningkatkan persentase ini hingga mencapai angka
20% itu. Spekulasi ini semakin menguat karena menurut undangundang tidak
dimungkinkan lembaga negara apa pun di negeri ini melakukan audit
terhadap penerimaan pajak negara.
Dengan kata lain, terdapat masalah yang sangat serius dalam transparansi
pajak di Indonesia. Jika spekulasi angka 20% ini benar adanya, maka
terdapat penguapan potensi penerimaan pajak di Indonesia sekitar 8-9%.
Dari sisi politik, angka 8-9% ini menyampaikan sinyal yang sangat
serius. Ia tidak hanya menyampaikan pesan bahwa ketidakmampuan
administratif dari aparat pajak.
Lebih dari itu, penguapan itu juga mungkin menyampaikan pesan tidak
adanya monopoli negara dalam pemungutan pajak. Ini berarti pula ada
"kekuasaan besar",seperti negara dalam negara,yang berseliweran
menguasai ekonomi politik negeri ini. Kekuasaan besar itu, menurut
dugaan penulis, kemungkinan besar telah muncul dalam suatu jaringan
lintas institusi yang menembus eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.
Dalam sosok penampakan fisik jaringan itu dapat dianalogikan dengan
suatu hewan octopussy raksasa yang bersaing dengan negara dalam
pemungutan pajak. Jaringan inilah yang kemungkinan besar telah
menggiring wacana subsidi di APBN hanya dipahami dalam sisi pengeluaran
dan tidak menyentuh sisi pendapatan.
Keganjilan
Kedua,wacana tentang pembatasan subsidi BBM tidak menyentuh sejumlah
keganjilan (peculiarities) yang terjadi dalam kebijakan
energi.Keganjilan pertama adalah investasi di sektor migas meningkat
setelah UU Nomor 22/2001 tentang Migas diberlakukan. Pada tahun 2001
investasi adalah sebesar USD1.076 juta dan melonjak tiga kali lipat
menjadi USD3.764 juta pada tahun 2009.
Namun mengapa produksi minyak menunjukkan penurunan.Untuk kurun waktu
yang sama, tercatat angka sebesar 1.252.000 barel pada 2002 dan menurun
menjadi 979.0000 barel pada 2009.Bagaimana kita bisa menjelaskan
keganjilan penurunan ini. Apakah peningkatan ini karena investasi
terbanyak dilakukan di sektor gas dan bukan minyak? Keganjilan kedua
terkait dengan biaya produksi.
Catatan yang penulis peroleh menunjukkan peningkatan biaya produksi juga
meningkat tajam. Jika pada tahun 2002, biaya produksi migas yang
tercatat adalah sebesar USD1.676 juta, maka pada tahun 2009 meningkat
menjadi USD6.353 juta.Peningkatan hampir mencapai enam kali lipat.
Peningkatan ini sebenarnya akan menjadi steril terhadap isu politik
dengan dua "jika".
Yang pertama, jika bisa dibuktikan bahwa hal ini tidak terkait dengan
isu manipulasi dalam ketentuan cost-recovery dalam sistem kontrak bagi
hasil yang ada saat ini.Yang kedua, jika bisa dibuktikan bahwa
peningkatan biaya produksi adalah karena memang eksplorasi dan
eksploitasi yang wajar.Namun dua jika ini hanya terpenuhi jika audit
untuk transparansi dalam penerimaan pajak negara dapat dilakukan.
Keganjilan ketiga, peran dari negara dalam produksi minyak tampak
terpinggirkan. Andil Pertamina dalam produksi minyak yang sekitar angka
900 ribu barel itu hanyalah sekitar 120.000 barel. Hal ini merupakan
konsekuensi dari kuatnya peran swasta—baik asing maupun nasional—dalam
produksi minyak Indonesia. Catatan yang penulis peroleh menunjukkan
pertamina hanya menguasai sekitar 15%.
Sisanya dihasilkan oleh pihak swasta. Dalam situasi seperti ini tidak
mengherankan jika kebijakanenergi (energypolicy), khususnya
terkaitdenganBBM, hanya ditempatkan sebagai variabel independen dari
kebijakan anggaran( budgetpolicy). Alasannya sangat sederhana. Tangan
negara yang 15% itu terlalu kecil untuk mendikte 85% itu.
Pertanyaan yang tertinggal, apakah terdapat baku kait antara sebab
pertama (ketidakmpuan negara memonopoli pajak) dengan sebab kedua
(keganjilan dalam kebijakan energi) merupakan sesuatu yang menarik untuk
dicermati.Namun yang pasti adalah dua sebab yang diidentifikasikan ini
menunjukkan kebijakan pembatasan penggunaanBBMbersubsidisangat myopic
atau tidak berorientasi jangka panjang.●
MAKMUR KELIAT
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional,
FISIP, Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/493335/
--
"One Touch In BOX"
To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com
"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.