Kamis, 10 Mei 2012

[Koran-Digital] SAHARUDDIN DAMING: Peluang dan Tantangan Justice Collaborator

Peluang dan Tantangan Justice Collaborator PDF Print

Friday, 11 May 2012

Setelah menuai badai cercaan publik yang menetapkanAngelina Sondakh

(Angie) dan Miranda Goeltom sebagai tersangka tindak pidana korupsi

(TPK) tanpa diikuti dengan penahanan, kini Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) kembali memperoleh apresiasi dari berbagai kalangan lantaran

berani menahan mantan Putri Indonesia tersebut tanpa kompromi.



KPK dan berbagai kalangan mendesak agar Angie bersikap koperatif dan

jujur untuk membantu KPK mengungkap tabir skandal TPK dalam proyek Wisma

Atlet Hambalang dan lain-lain.Sejak itu,istilah justice collaborator

menjadi populer dalam wacana publik.Istilah ini mula-mula muncul pada

kasus pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia yang melibatkan Agus

Condro yang berani membongkar keterlibatan dirinya bersama sejumlah

anggota DPR yanglainmenerimacekpelawat dari Nunun Nurbaeti untuk

memenangkan Miranda Goeltom.



Hal serupa juga melekat pada Susno Duadji (mantan Kabareskrim Polri)

yang mengungkap secara vulgar keterlibatan koleganya dalam berbagai

skandal TPK di tubuh Polri. Anehnya karena meski berjasa membongkar

keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus korupsi yang menjeratnya,Wa Ode

Nurhayati tidak pernah dikategorikan secara formal sebagai justice

collaborator.



Padahal secara teknis yuridis, sikap koperatif Wa Ode tersebut memenuhi

sarat sebagai justice collaborator sesuai dengan Surat Edaran MA (SEMA)

No 4/2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice

Collaborator.Dalam SEMA tersebut, justice collaborator dimaknai sebagai

seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang

mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan

secara jujur dan transparan.



Konsep Dasar



Formulasi justice collaborator sebagaimana dikemukakan di atas makin

memperoleh tempat dengan lahirnya SKB antara LPSK,Kejagung,Polri, KPK

dan MA tertanggal 19 Juli 2011. Berdasarkan ketentuan tersebut,ada tiga

kriteria justice collaborator. Pertama,ia adalah salah satu pelaku

tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan

pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan

sebagai saksi di dalam proses peradilan.



Kedua,jaksa penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang

bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat

signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap

tindak pidana yang dimaksud secara efektif. Ketiga,atas jasa-jasanya

menjadi justice collaborator, hakim dalam menentukan pidana yang akan

dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai

berikut: menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau

menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara

terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud.



Dalam hal ini, seorang yang mengemban fungsi sebagai justice

collaborator oleh hukum diberi penghargaan dalam bentuk insentif dan

kompensasi peringanan hukuman.Namun dalam pemberian perlakuan khusus

dalam bentuk keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa

keadilan masyarakat.Karena jika tidak berhati-hati, pemberian insentif

dan kompensasi berpotensi melahirkan ketidakadilan baru.



Bahkan dapat menimbulkan implikasi luas yang bermuara pada terjadinya

kekacauan penegakan hukum dan pemberantasan TPK. Karena itu,

pemberlakuan justice collaborator harus tetap mengacu pada konsep

dasarnya sebagai upaya bersama untuk mencari kebenaran dalam rangka

mengungkap keadilan yang akan diabdikan kepada publik. Dalam hal ini

stressing point-nya tertuju pada target mengungkap keadilan.



Informasi yang diungkap justice collaborator kepada penegak hukum

haruslah konkret dan valid serta berkorelasi secara signifikan dengan

proses tindak lanjut. Seseorang yang mengemban peran sebagai justice

collaborator dalam kasus korupsi secara tidak langsung menerima

konsekuensi untuk disebut sebagai salah satu aktor dalam kasus tersebut

meski bukan sebagai aktor utama.



Jika justice collaborator koperatif mengembalikan semua aset yang

diperoleh dari hasil korupsi, penegak hukum setidak- tidaknya telah

memperoleh bukti tambahan berupa sejumlah aset maupun dokumen lain yang

terkait dengan korupsi tersebut.Upaya seperti ini bukanlah perkara

mudah. Selain karena masih kuatnya mafia dan intervensi terhadap proses

penegakan hukum, khususnya TPK yang dominan melibatkan figur elite,



juga karena kultur hukum kita sendiri masih sangat lekat dengan

mentalitas nonprofesional dari aparat penegak hukum di hampir semua

sektor.Adapun dari sisi substansi hukum juga menyumbang persoalan

krusial di mana sistem hukum kita belum atau tidak memberlakukan secara

konsisten asas hukum seperti asas pembuktian terbalik (shifting burden

of proof) dalam pemberantasan korupsi.



Motif Justice Collaborator



Jika KPK membutuhkan justice collaborator untuk mengungkap kasus,ia

pertama-tama haruslah melakukan pencermatan secara intensif dan

komprehensif terhadap niat seorang pelaku korupsi menjadi justice

collaborator. Dalam hal ini, formulasi pelacakan bermuara pada aspek

normatif (das sollen). Jika intensi tersebut hanyalah untuk memenuhi

target pragmatisme yang dikemas dengan bahasa apologi dan hipokrit,



KPK dapat tersandera permainan justice collaborator dengan konfigurasi

agent of road mapdari suatu lintas perspektif das seindalam law

enforcement. Selanjutnya jika kemauan untuk menjadi justice collaborator

semata-mata karena menargetkan agent of justice collaborator seorang

tersangka, ia sebenarnya mengincar keringanan hukuman dengan membangun

alibi bahwa dirinya tak lebih hanyalah korban (the victim of illegal

system due to political assessment).



Karena itu jika seorang tersangka menjadi justice collaborator dengan

dasar kewajiban umum untuk membantu membongkar kasus,KPK sangat

berpeluang untuk mencapai target. Tapi jika intensi tersangka menjadi

justice collaborator sekadar untuk meringankanhukumanatauuntuk "balas

dendam" terhadap pihak lainnya yang turut terlibat meski dengan eskalasi

yang sangat kecil, KPK berisiko terseret dalam pusaran kasus yang

diskenariokan kepentingan sang justice collaborator.●



DR SAHARUDDIN DAMING, SH, MH

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/493825/



--

"One Touch In BOX"



To post : koran-digital@googlegroups.com

Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com



"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus



Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun

- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu

- Hindari ONE-LINER

- POTONG EKOR EMAIL

- DILARANG SARA

- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau

Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.