Selasa, 15 Mei 2012

[Koran-Digital] Welas Asih dan tidak Pernah Serik

TEMA Waisak 2556/2012 yang baru lalu ialah meningkatkan metta (cinta kasih) dan karuna (welas asih). Menurut Koordinator Dewan Sangha Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) Biksu Tadisa Paramita Mahasthavira, tanpa cinta kasih dan welas asih kehidupan akan buruk.

Tampaknya tema itu diangkat akibat semakin kering dan gersangnya kehidupan sosial kita saat ini. Betapa hidup ini seolah hanya dikemas dengan paradigma untung-rugi. Ketenteraman sebagai hakiki tujuan hidup pun akhirnya kian menjauh.

Ada contoh menarik dari dunia wayang akan sosok yang cinta kasih dan welas asihnya tulen dan tulus. Dia adalah Puntadewa, putra sulung Raja Astina, Prabu Pandudewanata.

Sejak anak-anak hingga menjadi raja di Indraprastha, ia secara total

berbakti dengan watak mulia itu.

Berbagai ujian hidup yang menerpa dirinya dan keluarga Pandawa tidak pernah meluruhkan bobot welas asihnya.

Ujian itu, misalnya, dari drama penipuan dadu (Pandawa Dhadhu) yang mengakibatkan Pandawa kehilangan Indraprastha, hingga upaya pembasmian Pandawa lewat pembakaran penginapan mereka (Bale Sigalagala).

Puntadewa sangat tahu rekayasa kejam dalam dua lakon itu diotaki Sengkuni, paman sekaligus botoh Kurawa. Namun demikian, tidak sedikit pun ada kebencian atau dendam Puntadewa terhadap mereka.

Ia juga selalu menasihati adikadiknya--Bratasena, Arjuna, Nakula, dan Sadewa--agar tidak membenci Sengkuni dan Kurawa.

Wejangan wingitnya, tidak ada dasarnya berbuat tidak baik kepada seseorang meskipun mereka menjahatinya. Sepahit dan sekejam apa pun perbuatan orang pada dirinya, semestinya tetap direspons dengan welas asih.
Samiaji Budi luhurnya itu bukan hanya ia buktikan kepada sesama.
Puntadewa juga berwelas asih terhadap titah lainnya. Misalnya dalam lakon Babat Wanamarta, Bratasena membabat hutan semena-mena.

Ia meminta Bratasena bijak dan berwawasan lingkungan.

Ia juga memberikan contoh bagaimana menyingkirkan binatang buas tanpa harus membunuh.
Dengan welas asihnya, seluruh hewan di Wanamarta, akhirnya menurut dengan apa yang dikehendakinya.

Bahkan, jin penghuni hutan itu pun menyerahkan kekuasaannya kepada Puntadewa.

Dengan kepribadian yang demikian itu, Puntadewa pun menjadi satria dan raja yang sangat dikagumi semua titah marcapada. Bahkan, para dewa pun, merasa jatuh derajatnya di depan Puntadewa.

Atas kemuliaan sikapnya itu, banyak dalang menyebut Puntadewa berdarah putih. Itu simbol bahwa ia makhluk suci.

Dikatakan pula, kaki Puntadewa tidak menyentuh tanah kala berjalan. Itu fi losofi pula, bahwa Puntadewa telah melepaskan urusan atau kenikmatan jagat reget (duniawi).

Sebagai raja, Puntadewa selalu menghindari penyelesaian setiap masalah dengan konfrontasi. Malah ia akan memilih menyerahan semua yang dimilikinya kepada siapa saja yang menghendaki daripada harus berperang untuk mempertahankannya.

Bahkan, untuk istri dan nyawanya sekali pun.

Karena itulah, Puntadewa juga disebut Ajatasatru, yang artinya tidak memiliki musuh. Ia juga memiliki nama Yudistira, yang berarti pandai memerangi nafsu pribadi. Ia juga bernama Samiaji, makhluk yang menghormati orang lain seperti dirinya sendiri.

Jadi jika dipandang dari akal umum, Pantadewa dinilai sebagai titah yang aneh dan misterius.
Karena memang ia hanya bisa dibaca oleh mereka yang sudah sampai pada tataran sufi.

Pertanyaannya kini, bisakah kita meningkatkan welas asih?
Kodratnya kita memiliki watak itu.
Karenanya, itu tergantung niat.

Semua anggota tim Search and Rescue (SAR) yang saat ini sedang berjuang mengevakuasi korban tragedi pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, merupakan bentuk darma welas asih tersebut.
(Ono Sarwono/H-1)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2012/05/16/ArticleHtmls/Welas-Asih-dan-tidak-Pernah-Serik-16052012015021.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.